Oleh: Herymanto Mau*
Akhir-akhir ini setelah merebaknya konflik terkait pengembangan dan perluasan Jaringan PLTP Ulumbu di Poco Leok, publik disajikan beragam informasi dan berita yang secara tendensius memojokkan pribadi yang bekerja di Komisi JPIC SVD Ruteng dan eksistensi lembaga ini.
Penulis menurunkan judul dan isi tulisan ini untuk sekedar membuka cakrawala berpikir dari semua pihak terkait kiprah Komisi JPIC SVD Ruteng di bumi Congka Sae tercinta melalui perspektif, fakta, dan konteks yang berbeda.
Tentunya diskursus seputar keterlibatan Komisi JPIC SVD Ruteng mendampingi warga Poco Leok, Kecamatan Satarmese yang kontra terhadap pengembangan dan perluasan PLTP Ulumbu dengan kapasitas 2×20 MW memiliki landasan historis-ekologis. Meski demikian, publik bahkan beberapa media secara sepihak men-judge dan memvonis Komisi JPIC SVD Ruteng dengan pelbagai tuduhan sepihak. Begitu banyak pihak yang menarasikan posisi Komisi JPIC SVD Ruteng secara vulgar tanpa mengetahui jejak advokasi Komisi JPIC SVD Ruteng di Poco Leok dan wilayah Manggarai Raya pada umumnya.
Untuk itu, penulis mengajak semua pihak secara jeli, jernih, dan kritis merenungkan entitas dan karya misi Komisi JPIC SVD Ruteng sebagai lembaga Gereja dan lembaga advokasi.
Kiprah Komisi JPIC SVD Ruteng
Komisi JPIC (Justice, Peace, and Integrity of Creation) SVD Ruteng adalah sebuah Komisi Religius dari Kongregasi Serikat Sabda Allah/Societas Verbi Divini (SVD) yang bekerja di dalam wilayah pelayanan Provinsi SVD Ruteng.
JPIC SVD Ruteng sebagai bagian integral dari SVD mempunyai tanggung jawab pelayanan khusus untuk mempromosikan, mengembangkan, dan memperjuangkan Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan menurut nilai-nilai Injili dan Konstitusi SVD (Konstitusi SVD No.112).
Komisi JPIC SVD Ruteng berkarya di bawah visi “Manusia merdeka dan utuh dalam persatuannya dengan Allah Tritunggal yang mencintai, menghidupkan, dan membebaskan dengan seluruh ciptaan sebagai perwujudan tahun Rahmat Tuhan”.
Visi Komisi JPIC SVD Ruteng menjadi arah dan corong karya-karya misi di tengah umat, khususnya di wilayah Provinsi SVD Ruteng (Manggarai Raya, Sumba, dan Bima). Karya misi ini merupakan amanat ultim dari Ensiklik Pacem in Terris (Damai Bagi Dunia) yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XXIII. Gereja mengundang semua manusia yang berkehendak baik untuk bekerja sama menumbuhkan damai. Bukan oleh konflik, tetapi lewat pertemuan satu dengan yang lain, lewat kerja sama dan sikap solider terhadap manusia.
Karya-karya JPIC SVD Ruteng khususnya di wilayah Poco Leok bercermin pada beberapa prinsip keterlibatan sosial Gereja dewasa ini, yakni pertama, solidaritas. Keterlibatan JPIC SVD Ruteng merupakan satu keterlibatan yang solider dengan situasi dan keadaan korban ketidakadilan. Keterlibatan ini semata-mata demi penegakkan keadilan, kesejahteraan bersama masyarakat kecil dan kaum marginal.
Kedua, subsidiaritas. Perjuangan melawan ketidakadilan adalah perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia. Prinsip ini menekankan penghargaan (to promote) dan perlindungan (to protect) terhadap hak-hak masyarakat kecil. Ketimpangan terjadi ketika hak-hak masyarakat kecil dipasung, aspirasi dibungkam dan paling parah ketika otoritas pemerintah dan aparat penegak hukum membiarkan itu menimpa masyarakatnya sendiri (by ommission). Berhadapan dengan kenyataan ini, JPIC SVD Ruteng berjuang menata kembali mosaik-mosaik kehidupan masyarakat kecil dan korban ketidakadilan yang sempat pecah dan terbengkelai oleh tembok ketidakadilan.
Ketiga, solidaritas compassion. Keberpihakan pada masyarakat marginal adalah suatu sikap dan tindakan secara kelembagaan dan individual yang mengutamakan pembelaan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang mengalami marginalisasi baik secara ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, ekologi, dan hukum.
Keempat, bonum communae. Seluruh rangkaian karya JPIC SVD Ruteng bermuara pada penegakan keadilan, terciptanya perdamaian, dan tercapainya kesejahteraan bersama. Prinsip ini menjadi jawaban akhir dari segala perjuangan yang digalakkan JPIC SVD Ruteng.
Posisi Komisi JPIC SVD Ruteng dalam Konflik Rencana PLTP Poco Leok
Dalam beberapa waktu terakhir, kasus penolakan rencana pengembangan dan perluasan PLTP Ulumbu di Poco Leok, diberitakan di media mainstream, dan beberapa media secara khusus menurunkan berita yang Penulis duga sebagai “narasi titipan” untuk memojokkan Komisi JPIC SVD Ruteng dalam balutan berbagai tuduhan, persepsi miring, dan semacam gugatan atas eksistensi lembaga ini.
Penulis secara moral dan sosial berkewajiban untuk menyampaikan kepada publik bahwa kehadiran komisi JPIC SVD Ruteng mendampingi warga Poco Leok yang kontra terhadap rencana perluasan PLTP Ulumbu telah dimandatkan oleh warga masyarakat adat 10 Gendang di wilayah Poco Leok yakni Lungar, Mocok, Tere, Jong, Nderu, Rebak, Mucu, Mori, Mano, Cako dan tertuang dalam dokumen kesepakatan tertanggal 28 Januari 2023. Dasar utama penolakan 10 Gendang di atas adalah demi mempertahankan ‘ruang hidup’ mereka yang termaktub dalam filosofi budaya Manggarai: gendang one, lingko peang, natas labar, wae teku, compang takung.
Oleh karena itu, kehadiran karya misi komisi JPIC SVD Ruteng semata-mata untuk memperjuangkan hak-hak dari ke-sepuluh gendang dan warga masyarakat adat yang hidup di dalamnya serta segala entitas yang melekat, dan juga untuk memastikan segala prosedural yang dilakukan pemerintah dan perusahaan betul-betul transparan, berkeadilan dan puritan. Sebab berdasarkan asesmen tim JPIC SVD Ruteng dan dalam rilisnya, Komisi JPIC SVD Ruteng menduga bahwa telah terjadi rusaknya prosedur dalam berbagai tahapan di mana masyarakat lokal tidak dilibatkan secara langsung serta terkesan/diduga adanya intrik politisasi penguasa dan aparat penegak hukum dalam memuluskan proyek pengembangan ini.
Dengan kata lain, Komisi JPIC SVD Ruteng sedang membaca adanya indikasi conflict of interest dan motif devide et impera yakni perang antara kepentingan oknum versus nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Ironinya, yang selalu menang adalah kepentingan oknum, kepentingan kekayaan, kepentingan jabatan, dan kepentingan kroni-rente.
Situasi inilah yang ingin dilawan oleh Komisi JPIC SVD Ruteng demi terciptanya sebuah ruang hidup yang rasional, aman, beradab, bebas represi, dan damai. Komisi JPIC SVD Ruteng sudah hadir di tengah kehidupan masyarakat Poco Leok jauh sebelum rencana pengembangan PLTP Ulumbu di Poco Leok dan sebelum rezim pemerintahan saat ini berkuasa, bahkan sebelum wilayah Poco Leok menjadi terang dari sengatan arus listrik.
Sejak 2008 hingga 2013, Komisi JPIC SVD Ruteng telah menganimasi kelompok masyarakat di wilayah Poco Leok, memberdayakan masyarakat lewat pendidikan dan pelatihan serta memacu etos kerja masyarakat Poco Leok untuk bekerja tani dan mengelola lahan tidur menjadi lahan produktif. Bahkan komisi JPIC SVD Ruteng turut memfasilitasi Pemerintah Desa Lungar menerbitkan produk Peraturan Desa pada 2018.
Sejak tahun 2016 hingga saat ini, komisi JPIC SVD Ruteng bekerja sama dengan Pemerintah Desa Lungar, Pemerintah Daerah Manggarai dan Bank Indonesia mendukung program pertanian hortikultura bagi warga Poco Leok pada umumnya. Pemerintah dan Komisi JPIC SVD Ruteng sedang membangun kedaulatan pangan bagi masyarakat Poco Leok.
Masyarakat secara mandiri mengelola, memanen dan mendistribusikan hasil pertaniannya. Hasil panen digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga dan terutama kebutuhan pendidikan anak sekolah.
Selain itu, melalui jamahan dan sentuhan Kopdit Soverdia, hampir seluruh kampung di wilayah Poco Leok sudah bergabung dan menjadi produktif melalui layanan Kopdit Soverdia. Soverdia yang adalah milik seluruh anggota telah membantu modal usaha dan modal kesejahteraan serta turut mencerdaskan masyarakat Poco Leok. Sehingga tidak benar dan tidak berdasar kalau ada oknum atau media yang mengatakan bahwa Soverdia milik satu orang.
Membaca dan mencermati situasi dan tuduhan yang semakin jauh dari ‘isi kepala’ para penuduh terhadap komisi JPIC SVD Ruteng, maka Penulis merasa perlu memberikan beberapa tanggapan pencerahan sebagai berikut.
Pertama, Pendampingan Non Litigasi JPIC SVD Ruteng terhadap warga Poco Leok yang menjadi korban kekerasan atas nama pembangunan adalah sebuah panggilan moral (otorisasi iman). Masyarakat Poco Leok yang ditipu, diintimidasi dan dipaksa dengan ketaatan buta pada dasarnya membutuhkan perlindungan dan pendampingan dari semua pihak, namun sebagian besar pihak lebih merasa nyaman dengan penguasa dan pengusaha. Penulis menduga bahwa ada upaya secara sistematis dan massif untuk merampas hak-hak masyarakat Poco Leok.
Untuk itu tidak salah jika Komisi JPIC SVD Ruteng hadir untuk sama-sama memperjuangkan apa yang menjadi hak masyarakat Poco Leok yang terus berpotensi menjadi korban sekaligus memberikan peneguhan di saat mereka mengalami kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan berhadapan dengan pengerahan aparat untuk mengamankan investasi.
Kedua, Penulis ingin meluruskan bahwa dalam mendampingi masyarakat Poco Leok tidak sedang menjadi kandidat Calon Legislatif dari salah satu partai yang disebutkan dalam beberapa media atau laman Facebook. Keterlibatan Penulis untuk mendampingi dan berbela rasa dengan warga Poco Leok yang AA menjadi korban adalah murni panggilan hati dan pure dari kepentingan apapun.
Demikianpun dalam tataran etik-moral, Komisi JPIC SVD Ruteng secara lembaga (kode etik) tidak terikat pada partai politik manapun atau berafiliasi dengan calon/kandidat kepala daerah tertentu.
Ketiga, Penulis memahami JPIC SVD Ruteng sebagai salah satu perangkat dalam karya pastoral Gereja sekaligus merupakan perwujudan dari hakekat Gereja yang sebenarnya. Gereja pada hakekatnya persekutuan umat Allah dengan segala dimensinya. Persekutuan umat Allah dalam segala dimensinya yang mencakup dimensi rohaniah maupun dimensi lahiriah. Dalam konteks hakekat Gereja seperti ini maka karya pastoral Gereja tidak hanya berkaitan dengan pewartaan dan atau pelayanan sakramental tetapi juga terpanggil untuk pelayanan-pelayanan di bidang sosial termasuk melakukan peneguhan dan pendampingan Non Litigasi bagi para korban berkaitan dengan hak-hak dasarnya.
Keempat, Penulis juga memaknai JPIC SVD Ruteng sebagai salah satu perangkat Gereja yang mengemban banyak tugas. Salah satu tugasnya adalah advokasi. Advokasi JPIC SVD Ruteng bukan advokasi serabutan dan tidak sistematis. Advokasi JPIC SVD Ruteng selalu diletakkan pada korban yang membutuhkan bantuan.
Mayoritas masyarakat Poco Leok meminta bantuan pendampingan Non Litigasi kepada JPIC berkaitan dengan dugaan pelanggaran hak-hak dasarnya yang tidak dihargai dan sangat mengganggu rasa keadilan korban.
Kelima, opini dan ide serta tuduhan in se memiliki daya kritis dan berbobot jika sanggup melihat dan menarasikan hal-hal yang tidak dilihat banyak orang/tidak populer dengan ditunjang bukti dan fakta yang valid. Jika tidak demikian, maka dalam isi kepala para penuduh hanya kumpulan sampah yang perlu didaur ulang.Para penuduh bisa membuat investigasi objektif seperti yang sudah dibuat oleh Komisi JPIC SVD Ruteng selama ini lalu memutuskan keberpihakannya.
Akhirnya, penulis memberikan apresiasi dan support bagi karya pelayanan Komisi JPIC SVD Ruteng dan semua orang yang berkehendak baik yang menempatkan Advokasi kasus Poco Leok sebagai panggilan moral dan implementasi dari spirit solidaritas compassio.
Advokasi komisi JPIC SVD Ruteng bukan soal harta, takhta, dan tanah, tetapi lebih kepada komitmen Komisi JPIC SVD Ruteng untuk berjuang menegakkan hak-hak warga yang menjadi korban ketidakadilan.
Sekali lagi, perjuangan Komisi JPIC SVD Ruteng adalah perjuangan nilai-nilai kemanusiaan murni untuk warga di Poco Leok.*
*Kepala Divisi Advokasi JPIC SVD Ruteng