Mbay, Ekorantt.com – Ruang kelas 1 SDI Wudu, Kelurahan Rega, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo tertata rapi. Anak-anak dibagi dalam beberapa kelompok saat Tim Pemantau Bersama Komite Pengarah Nasional Inovasi Fase 2 berkunjung ke sekolah itu pada Kamis, 9 Februari 2023 lalu.
Viktoria Moghang membuka pelajaran dalam bahasa Nage. Ia mengucapkan salam kepada peserta didik.
“Poa ana-ana (selamat pagi anak-anak),” ucap Viktoria. “Poa ibu guru,” anak-anak antusias menjawab.
“Bhila ba, negha siap kita mo’o dheko les leza nge’e? (Bagaimana, sudah siap ikut les hari ini?). Pertanyaan Viktoria langsung ditimpali siswa. “Siap ibu guru.”
Viktoria sudah lebih dari 10 tahun mengajar siswa kelas 1 SDI Wudu menggunakan bahasa Nage.
Berbahasa daerah di lingkungan sekolah sudah menjadi kebiasaan di Nagekeo, jauh sebelum kurikulum merdeka berlaku.
Namun, penggunaan bahasa daerah dalam sistem pembelajaran sebagai model pendekatan transisi bahasa ibu mulai masif, setelah program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) berjalan di Nagekeo.
Viktoria memperkenalkan huruf dengan alat peraga. Media peraga bertuliskan nama alat dan buah dalam bahasa daerah kemudian dibagikan ke kelompok siswa.
Masing-masing kelompok mendapatkan satu alat peraga. Viktoria memimpin para siswa untuk mengeja huruf satu per satu.
Selanjutnya, ia memilih huruf secara acak, meminta seorang siswa untuk melafalkannya. Siswa lain mendengarkan, untuk kemudian dilafalkan secara bersama-sama. Proses tersebut dilakukan terus menerus dari satu kelompok ke kelompok lain.
Selama proses pengenalan huruf dengan bahasa Nage, siswa di masing-masing kelompok tampak berpartisipasi aktif. Bahkan, mereka lebih antusias mengikuti pelajaran.
Viktoria berkata, pengenalan huruf kepada siswa kelas rendah dikemas dalam bentuk permainan. Tujuannya, agar suasana pembelajaran lebih fleksibel dan siswa mudah mengetahui letak huruf dalam kata, serta enteng melafalkannya.
“Misalnya, kata mude (jeruk). Saya tanya siswa huruf e di urutan ke berapa. Kemudian huruf e tadi bunyinya seperti apa,” kata dia.
Penggunaan bahasa Nage sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran mengacu pada buku Ramah Cerna Kata (RCK) tahap 1 hingga 12 dan buku berjenjang tingkat yang disusun Yayasan Sulinama.
Yayasan tersebut juga bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Nagekeo untuk mengimplementasi literasi dasar kelas awal.
Peningkatan literasi dasar melalui penggunaan bahasa ibu sebagai transisi ke bahasa Indonesia juga berlaku di TK Santa Clara Wudu.
Maria Theresia Nena, guru TK Santa Clara Wudu menuturkan, bahasa Nage digunakan di semester pertama. Penggunaannya selama 30 menit setiap jam pelajaran.
Sedangkan penggunaan bahasa daerah sebagai transisi bahasa ibu ke bahasa Indonesia berlangsung saat masuk semester kedua.
Bahasa Nage digunakan untuk menghitung atau menjelaskan materi tentang sampah dan kebersihan lingkungan, kata Maria.
“Menghitung esa (satu), zua (dua), telu (tiga) diganti dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kalau anak yang belum memahami, kami tuntun perlahan,” ujar ibu yang sudah 28 tahun mengajar di TK itu.
Kehilangan Penutur
Penggunaan bahasa Nage dalam pembelajaran PAUD dan SD kelas awal merupakan upaya merawat atau melestarikan bahasa daerah.
Bupati Nagekeo, dr. Johannes Don Bosco Do menjelaskan, bahasa daerah Nagekeo mulai terancam kehilangan penutur akibat perkembangan zaman.
Padahal, menurutnya, bahasa daerah menyimpan filosofi dan kearifan lokal yang dapat diwariskan kepada generasi muda.
“Bayangkan saja kalau bahasa daerah hilang maka budaya atau suku bakal hilang,” ujar Bupati Don.
Ia mengatakan, ada kesadaran bersama untuk menuntun orang kembali ke bahasa daerah, termasuk di bidang pendidikan. Karena itu ia meminta lembaga sekolah menempatkan guru-guru terbaik yang cekat menguasai bahasa daerah di kelas 1-3.
“Dengan cara penutur bahasa daerah yang baik dan benar sebagai bahasa transisi, maka materi pembelajaran di kelas awal bisa terserap oleh anak,” kata Bupati Don.
Kantor Bahasa NTT telah melakukan upaya revitalisasi bahasa daerah. Kepala Kantor Bahasa NTT, Elis Setiati mengatakan bahwa revitalisasi bahasa diakomodir dalam lima Program Pelindungan Bahasa dan Sastra Daerah.
Pertama, pemetaan bahasa daerah, dengan cara melakukan kajian bahasa dan sastra daerah disertai pemetaan wilayah persebarannya serta kekerabatannya.
Kedua, kajian vitalitas, dengan cara pengkajian vitalitas atau daya hidup bahasa dan sastra untuk menentukan status sebuah bahasa dan sastra berdasarkan kategorinya.
Ketiga, konservasi bahasa dan sastra dengan menyusun sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan aksara/ortografisnya. Selanjutnya, konservasi sastra lisan, sastra cetak, dan manuskrip.
Keempat, revitalisasi bahasa dan sastra, dengan cara pembelajaran klasikal dan permodelan, penyusunan bahan ajar, penyediaan bahan Mulok kebahasaan dan kesastraan, festival kebahasaan dan kesastraan, dan bengkel sastra.
Kelima, peta dan registrasi bahasa dan sastra daring yaitu aplikasi untuk registrasi hasil pemetaan, kajian vitalitas, konservasi, revitalisasi, serta hasil kajian bahasa (berdasarkan wilayah, ruang lingkup, dan status/kategori) dan kajian sastra (berdasarkan wilayah, jenis, genre, periode, dan status kategori).
“Nah, dari penjelasan ini, cara guru mentransisikan bahasa daerah ke bahasa Indonesia sudah masuk dalam upaya merevitalisasi bahasa. Para guru sebenarnya sudah menyiapkan muatan lokal bahasa daerah melalui penuturan,” kata Elis.
Literasi Dasar
Bahasa daerah sangat membantu guru dalam penerapan pembelajaran, terutama sekolah di daerah terpencil demi kemajuan pendidikan di tanah air.
Untuk mewujudkannya, Pemerintah Kabupaten Nagekeo telah menjadi mitra Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), sebuah program kerja sama Australia-Indonesia sejak 2019. Di dalamnya, literasi dasar berbasis bahasa daerah menjadi fokus bersama di bidang pendidikan.
Dalam analisis situasi awal pembelajaran di tingkat SD tahun 2020, ditemukan bahwa sebagian siswa tidak memahami pelajaran karena penggunaan bahasa pengantar dalam bahasa Indonesia.
Beberapa siswa masih menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi sehingga mereka kesulitan mengikuti pelajaran.
Terdapat 42 persen responden siswa menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. Sementara 94 persen guru menggunakan bahasa Indonesia dalam mengajar, memberi pekerjaan rumah, ulangan, dan kegiatan lainnya.
Berangkat dari hasil tersebut, Pemkab Nagekeo bersama INOVASI menjalankan program literasi dasar berbasis bahasa Nage. Tujuannya, meningkatkan kemampuan guru PAUD dan guru kelas awal SD dengan metode pembelajaran bertahap (scaffolding) yakni pengetahuan tentang fonem dan abjad, kelancaran membaca, dan pemahaman membaca.
Selanjutnya, program literasi berbasis bahasa daerah bertujuan untuk mengembangkan kapasitas siswa kelas awal dalam membaca dan menulis menggunakan buku bacaan berjenjang yang dapat diuraikan dalam bahasa ibu atau bahasa lokal di Nagekeo.
Pada periode Juli 2021-Mei 2022, literasi dasar bahasa menunjukkan adanya peningkatan. Dari 251 siswa di 10 PAUD terjadi peningkatan literasi dasar bahasa Nage mencapai 99 persen. Sedangkan di jenjang SD, dari 768 sekolah, terjadi peningkatan literasi dasar mencapai 94 persen.
Bupati Don mengatakan, penggunaan bahasa daerah punya peran penting saat anak-anak pertama kali masuk sekolah. Guru mesti cerdas dan adaptif dengan situasi demikian.
“Anak-anak punya otak bakal bekerja ekstra karena pemaksaan memahami kata baru bahasa Indonesia. Karena konsep bentuk anak-anak dalam bahasa daerah,” kata Don.
Tugas guru di sini adalah menerjemahkan bahasa ibu dalam pembelajaran sebagai literasi dasar, karena buku paket sekolah menggunakan bahasa Indonesia. Tugas guru mentransfer pelajaran ke dalam bahasa daerah, kata Don.
Untuk perkuat literasi dasar, Bupati Don meminta pihak sekolah menempatkan guru terbaik di kelas 1-3. Kepala sekolah diharapkan dapat menyeleksi para guru terbaik dan menugaskannya di kelas rendah. Dengan begitu, siswa kelas rendah bisa membaca, menulis, dan menghitung.
Keberpihakan Anggaran
Penggunaan bahasa Nage sebagai pengantar di jenjang PAUD dan kelas awal SD telah berhasil meningkatkan keterampilan literasi dasar secara signifikan. Kemampuan membaca siswa kelas awal SD meningkat di setiap kategori hingga 100 persen. Pendekatan yang sama berhasil membawa hampir 70 persen siswa mampu menulis.
Diakui bahwa Pemkab Nagekeo komit untuk mendorong kemajuan literasi dasar anak yang didukung dengan anggaran. Pada akhir 2022 lalu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nagekeo menyebarluaskan program tersebut ke tingkat PAUD dengan total anggaran Rp70 juta dan SD dengan total anggaran Rp297 juta.
Pada tahun 2023, dinas pendidikan setempat telah mengalokasikan anggaran untuk PAUD sebesar 424 juta.
Kepala Bidang Sekolah Dasar, Yustinus Mosa, menerangkan pemerintah mengalokasikan anggaran untuk menindaklanjuti program kerja sama Pemkab Nagekeo dan INOVASI. Pemkab juga bekerja sama dengan Yayasan Sulinama untuk mengimplementasi program tersebut.
“Literasi dasar menggunakan bahasa daerah yang kita bekerja sama dengan Yayasan Sulinama. Selain itu, untuk penyediaan buku-buku kita bekerja sama dengan Taman Baca Pelangi,” kata Yustinus.
Pemkab Nagekeo dan INOVASI juga bekerja sama untuk pengembangan Kurikulum Merdeka Belajar (KMB). Tahun 2022, kedua belah pihak mendorong penguatan literasi dasar yang berakhir pada Juni mendatang. Selanjutnya akan beralih pada program numerasi.
“Nah, program selanjutnya kita berupaya lebih fokus. Para kepala sekolah yang adalah guru penggerak diharapkan bisa menjadi promotor di tingkat sekolah,” katanya.
Penguatan SDM Guru
Direktur Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah dan Tenaga Kependidikan, Praptono menuturkan, hasil evaluasi Kemendikbud Ristek menemukan guru-guru usia di atas 50 tahun sangat rentan untuk mengikuti transformasi pendidikan. Ini menjadi sebuah tantangan yang mesti disikapi secara bijak.
Kurikulum merdeka belajar, kata Praptono, mendorong guru untuk mengembangkan kemampuan secara mandiri. Dalam komunitas belajar, guru bisa belajar bersama.
“Kita butuh guru untuk berkomitmen mengimplementasi kurikulum merdeka. Komitmen guru mau bertanya ke guru senior, mau belajar berkomunitas dan mau mencari tahu perkembangan sistem belajar,” katanya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Nunuk Suryani meminta para guru penggerak keluar dari zona nyaman. Guru penggerak diharapkan lebih cekat dalam mewujudkan kurikulum merdeka.
“Kami ingin program INOVASI diperluas ke sekolah lain karena ini selaras dengan kurikulum merdeka. Kami tugaskan kepada Balai Guru Penggerak untuk mendampingi, mengintervensi agar selaras dengan yang seharusnya,” kata Suryani.
INOVASI pun bermitra dengan Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STIKP) Citra Bakti Ngada demi penguatan kapasitas guru. Kedua belah pihak mengadakan workshop pengembangan kurikulum program studi PG-PAUD dan PGSD agar memasukkan bahasa ibu dalam pembelajaran di kelas.
“Kami berharap mahasiswa kami lebih siap dan mampu mengajar anak usia dini dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu,” kata Ketua STKIP Citra Bakti Dek Ngurah Laba Laksana.
Laksana bilang, kurikulum dirancang untuk mengajarkan mahasiswa tentang cara mengajar anak-anak usia dini dan siswa kelas rendah menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar.
Disiapkan juga modul ajar yang berfokus pada cara mengembangkan kemampuan bahasa anak-anak, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa ibu.