Mbay, Ekorantt.com – Persatuan Dokter Mata Indonesia (Perdami) Cabang Jakarta mengirim seperangkat alat periksa mata dan obat-obatan ke Flores pada tahun 1998.
Hal itu dilakukan atas permintaan dr. Eduarda Yayik Pawitra Gati, salah satu anggota organisasi yang ditugaskan ke daerah pelosok Flores pada masa orde baru.
Dokter Yayik bertugas sebagai dokter spesialis mata di Kabupaten Ende kala itu.
“Seingat saya sekitar dua bulan menganggur. Tidak bisa periksa, tidak punya peralatan padahal ada banyak pasien,” ujar Yayik Pawitra kepada Ekora NTT awal Juni 2023 lalu.
Menjelang runtuhnya rezim Presiden Soeharto, Yayik tak dapat berbuat banyak hal. Kekurangan peralatan medis dan obat-obatan menjadi permasalahan utama.
Di sisi lain, pasien penyakit mata menaruh harapan pada Yayik. Ia adalah satu-satunya dokter mata di Flores.
Yayik adalah perempuan kelahiran Probolinggo tahun 1961. Ia mengenyam pendidikan dan tamat dari sekolah kedokteran UGM pada tahun 1988.
Ia kemudian bertugas di RSU Bajawa hingga 1993. Selanjutnya, ia menjalankan studi dokter spesialis mata di Universitas Indonesia hingga 1998.
“Waktu pelantikan sebagai dokter spesialis mata, saya tidak menggunakan atribut yang seharusnya. Saya dari rumah pakai pakaian biasa, sampai di RCM hanya pakai jas dokter. Pelantikan sederhana karena waktu itu situasi sedang tidak kondusif di Jakarta,” kenang dia.
Yayik memilih bertugas di Ende-Flores karena menikah dengan dr Johanes Don Bosco Do, Bupati Nagekeo saat ini. Mereka menikah pada 1983 dan dikarunia tiga anak.
Saat bertugas di Ende, pasangan suami istri ini berjasa untuk kemajuan RSUD Ende. Tangan dingin Yayik berhasil menyembuhkan banyak pasien.
“Waktu itu saya masih fokus bekerja di RSUD Ende,” ujar dia.
Nama dokter Yayik pun kian dikenal. Banyak pasien penyakit mata datang dari berbagai daerah. Mereka ingin mendapatkan pengobatan dari tangannya.
Ia mengabarkan kondisi itu ke Perdami di Jakarta. Pihak organisasi mempertimbangkan beban biaya pasien sejak krisis moneter, keterbatasan akses transportasi di Flores, waktu, dan hal teknis lainnya.
Perdami kemudian mengambil langkah dengan menugaskan Yayik untuk melayani secara rutin pasien di 12 kabupaten di NTT pada 1998-2012.
Pasien tidak lagi datang ke Ende. Yayik mengunjungi pasien di setiap kabupaten.
Ia menerapkan sistem pelayanan yang humanis. Pengobatan pun diberikan secara gratis.
“Saya ditugaskan untuk keliling NTT operasi baksos darmais, operasi katarak. Saya dikirim peralatan dan obat,” ujarnya.
Ia merekrut tenaga perawat untuk membantu pelayanannya. Operasi mata dilakukan selama tiga hari di setiap kabupaten.
“Bawa dos obat-obatan, peralatan operasi seperti mikroskop, alat sterilnya kami bawa semua karena pasien di setiap kabupaten mencapai ratusan. Penyakit macam-macam, bukan katarak saja.”
Pelayanan keliling kabupaten mulai menurun saat dokter Yayik merangkap jabatan di pemerintahan. Di saat yang bersamaan, dokter mata sudah semakin bertambah di NTT.
Hadiah Keliling Dunia
Inovasi-inovasi yang diciptakan Yayik membuahkan hasil. Banyak pasien yang sembuh. Mereka senang karena kondisi mata kembali normal seperti sedia kala.
Hal itu membuat dokter Yayik menggondol sejumlah prestasi. Ia mendapatkan penghargaan Humanitarian Award Perdami atas jasanya dalam karya pelayanan sosial.
“Saya diberi kesempatan ke Amerika pada 2004 selama satu minggu,” ucap dia.
Kemudian pulang, ia bekerja kembali seperti biasa. Yayik mendapatkan lagi kesempatan pelatihan Short Term Manual SICS Training Programme di Aravind Eye Hospital, Pondicherry 2009 di India. Di sana, ia belajar teknik operasi mata katarak selama satu bulan.
Pada 2011, ia meraih penghargaan Outstanding Service in Prevention of Blindness Award setingkat Asia Pasifik. Prestasi itu diterima di Sidney-Australia
“Saya juga pernah ikut kongres baik di dalam maupun di luar negeri,” ujar Yayik.
Sosok Humanis
Paulus Wuli Mada (72), warga Boawae-Nagekeo, masih ingat betul jasa dokter Yayik selama memberi pelayanan pengobatan kepadanya.
Bagi dia, Yayik adalah sosok dokter yang humanis, ramah, berjiwa sosial, dan dianggap dekat dengan semua pasien tanpa sekat.
“Dokter Yayik lebih mementingkan kesehatan dan keselamatan pasien daripada biaya berobatnya,” kata Paulus.
Ia masih ingat pada awal November tahun 2002, saat dokter Yayik memberi pengobatan di RSU Bajawa dengan penampilan sederhana dan bersahaja.
“Dia (Yayik) lebih melihat soal kemanusiaan, bukan material. Dan ini cerita dari mulut ke mulut atas jasa dokter Yayik selama waktu itu,” ujar Paulus.