Kupang, Ekorantt.com – Ratusan pelajar dari beberapa sekolah di kota Kupang antusias mengikuti kegiatan sosialisasi pentingnya kesehatan jiwa di Aula Hotel Kristal Kupang, Jumat (11/8/2023).
“Risiko gangguan jiwa ringan hingga berat ini dapat disebabkan karena adanya beberapa faktor mulai dari faktor biologis, psikologis, dan juga faktor sosial,” ujar Ketua Tim Promosi Kesehatan Jiwa dan Kemitraan Direktorat Kesehatan Jiwa Kemenkes RI, Dr. Lucia Maya Savitri.
Ia menjelaskan, 16 persen dari jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah remaja usia produktif.
Lucia menerangkan tantangan yang dihadapi bangsa saat ini adalah masalah kesehatan jiwa pada remaja. Hal ini berdampak pada situasi remaja mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Berdasarkan data dari riset kesehatan dasar tahun 2018, 10 persen penduduk Indonesia usia 15 sampai 24 tahun mengalami gangguan mental emosional.
Sedangkan 16,2 persen mengalami depresi dan 10,6 persen kematian akibat bunuh diri pada terjadi pada usia 10 sampai 20 tahun.
Masalah kesehatan jiwa di Indonesia, Lucia melanjutkan, merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang harus mendapat perhatian dari seluruh pihak.
“Remaja tidak saja harus sehat secara fisik. Tetapi harus sehat secara jiwanya juga secara sosialnya. Sehingga berkontribusi untuk komunitas dan masyarakat di sekitarnya,” ungkap Lucia.
Ia menambahkan sosialisasi tersebut memberikan peluang kepada Indonesia untuk menjadi negara maju. Karena itu, harus mempersiapkan atau mencetak SDM generasi-generasi unggul dan berkualitas.
Untuk diketahui, kegiatan itu merupakan program intervensi penguatan kesehatan jiwa bagi remaja usia transisi. Hal itu sebagai upaya promotif dan preventif sejak dini.
Kepala Dinas Kesehatan dan Kependudukan Sipil Provinsi NTT, Ruth Laiskodat, mengatakan remaja usia transisi rentan mengalami masalah kesehatan jiwa.
Ia menjelaskan bahwa 50 sampai 75 persen masalah kesehatan jiwa pada remaja rentan terjadi pada umur 14 sampai 24 tahun.
Pada usia ini terjadi perubahan biologis, psikologis, dan lingkungan yang menyebabkan stres sehingga remaja perlu beradaptasi.
“Jadi kalau 50 sampai 75 dari 10 anak, 5 sampai 75 anak mengalami masalah kejiwaan,” kata Ruth.
Untuk masalah kejiwaan khususnya remaja di usia transisi, kata Ruth, harus disertai dengan kemampuan mengatasi akan berdampak pada saat dewasa yakni rentan mengalami gangguan jiwa.
Menurutnya, pemahaman remaja akan kesehatan jiwa menjadi sangat penting agar masalah dapat diidentifikasikan sejak dini sehingga dapat berdampak pada pembangunan sosial dan ekonomi.
“Karena ada 50 sampai 75 remaja mengalami gangguan jiwa, kedepannya tidak dilakukan screening, diberikan solusi, dicari jalan keluar, maka pada saat melanjutkan kuliah maka akademis akan jelek,” ungkapnya.
Dirinya berharap, apa yang diterima dan diperoleh dari kegiatan ini para pelajar mampu menjadi agen perubahan bagi teman-teman mereka di sekolahnya masing-masing.
Ia juga berpesan kepada para siswa untuk tidak melakukan bullying kepada teman-temannya yang memiliki kekurangan akan tetapi harus membantu.
“Jadi mulai hilangkan kebiasaan menyampaikan fisik. Contoh, keriting lu jalan sudah! Itu tidak boleh. Karena itu akan mempengaruhi jiwa teman-teman kita,” kata Ruth menandaskan.