Ruteng, Ekorantt.com – Di bawah terik matahari yang menyengat, Basilius Banggut (63), seorang petani asal Cara-Cancar, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT, tengah menanam jagung dan wortel di lahan kecil miliknya, Senin, 16 Oktober 2023.
Lahan dengan luas sekitar 10×12 meter persegi itu terletak di Lingko Molo, Kelurahan Wae Belang. Jaraknya sekitar 800 meter dari rumah Basilius.
Ia menanam jagung dan wortel berkat hujan yang baru tiba kemarin Minggu, 15 September 2023. Sebab, hujan yang hanya turun sekali tidak mengubah produksi padinya yang bakal terancam gagal panen.
Sawah milik Basilius memang tidak begitu luas. Letaknya di antara lahan yang ditanami jagung dan wortel. Namun, di beberapa petak sawahnya terdapat pemandangan yang memilukan.
Padi yang awalnya terlihat hijau, namun belakangan tampak kerdil dan menguning. Tanahnya pun berbentuk lubang retak akibat kekeringan yang berkepanjangan.
“Kami hanya tunggu air hujan. Di sekitar ini tidak ada irigasi,” ucapnya saat berbincang dengan Ekora NTT.
Selama mengalami kekeringan, tidak sedikit petani enggan lagi ke lahan mereka. Hanya beberapa petani lain yang masih beraktivitas di sawah.
Misalkan, Basilius sendiri hanya pergi menanam jagung dan wortel jika dirinya ke sawah. Sedangkan sawah di sekitarnya yang mengalami hal yang sama tidak terlihat pemiliknya. Petani seakan pasrah.
Petani Rugi
Selama menggarap sawahnya, Basilius mengalami kerugian mencapai jutaan rupiah. Jumlah itu ia gunakan biaya traktor saat membajak, pupuk, dan membayar buru tani yang menanam padi.
“Kami rasa rugi,” ujar pria yang biasa disapa Lius itu dengan nada lirih.
Lius sangat tergantung dengan penghasilan sawah itu untuk menopang kehidupan keluarganya. Meskipun hanya hidup dengan kedua buah hatinya, Lius menghabiskan beras 50kg per bulan.
Jika dilihat dari penghasilan padinya, Lius hanya memanen tiga karung yang berisi 100 kg. Ia hanya mendapat 150 kg ketika biji padinya digiling menjadi beras.
“Kami lebih banyak belinya. Apalagi sekarang terancam gagal panen,” katanya.
Pil pahit yang dialami Lius sejak ia memulai menanam padi tersebut pada Juli 2023. Sekitar tiga minggu setelah tanam, hujan tak lagi tiba hingga sekarang. Lius dan petani lain mulai cemas.
Mereka melihat, terlambatnya pertumbuhan padi maupun tanah yang mengalami keretakan dan padi yang mati membuat dirinya dan petani lain waswas. Hal itu tidak lain, disebabkan oleh ketiadaan air.
“Tidak hanya kekeringan, hama walangsangit juga menyerang padi kami,” sebutnya.
Tak hanya Lius, sawah di sekitar lahannya juga dilanda kekeringan. Ada yang gagal panen. Ada juga yang tidak menggarap sawahnya sama sekali.
“Kami tunggu genangan air saja,” ungkap pria kelahiran 1960 itu.
Nasib malang yang dialami Lius dan petani lain diharapkan pemerintah segera membuka mata. Petani membutuhkan pasokan air untuk menyelamatkan lahan dan keberlangsungan hidup warga di daerah yang mengalami krisis air.
“Bila perlu menyiapkan irigasi,” terangnya.
Secara terpisah, Kepala Stasiun Meteorologi Frans Sales Lega, Manggarai, Decky Irmawan mengatakan, kondisi saat ini memasuki masa transisi dari musim kemarau menuju musim hujan.
Kata Decky, puncak musim hujan diprediksi akan berlangsung pada bulan Desember hingga Februari 2024 mendatang.
“Saat ini masuk masa transisi sepanjang Oktober,” ucap Dicky kepada wartawan Sabtu, 13 Oktober 2023 di Ruteng.
Sejauh pengetahuan Dicky, lambatnya musim hujan tahun ini disebabkan dampak El Nino.
El Nino merupakan fenomena iklim yang dapat memengaruhi pola cuaca di berbagai wilayah, menyebabkan kemarau yang panjang dan cuaca ekstrem.
November tahun ini, kata dia, memasuki curah hujan sedang yang akan terjadi di Manggarai bagian tengah dan selatan. Sedangkan Manggarai bagian utara agak lambat.
Perubahan Iklim Berdampak pada Ketahanan Pangan
Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Ayo Indonesia, Tarsisius Hurmali, mengatakan dampak perubahan iklim kini mulai terasa terutama terkait ketahanan pangan.
“Ancaman yang kini mulai dirasakan adalah dalam konteks ketahanan pangan,” ujar Tarsi kepada Ekora NTT, Senin, 16 Oktober 2023.
Ketahanan pangan ini, kata Tarsi, bisa saja dipengaruhi oleh cuaca ekstrem seperti hujan lebat dan kekeringan. Hal ini memengaruhi proses tanam dan hasil pertanian.
Tarsi mengakui bahwa di kalangan pemerintah, isu perubahan iklim kini menjadi salah satu isu pembangunan yang urgen. Hal tersebut menandakan bahwa pemerintah memberikan perhatian terhadap isu perubahan iklim.
Sebab itu, lanjut dia, Yayasan Ayo Indonesia juga turut berkontribusi dalam mengemas informasi tentang perubahan iklim. Sehingga isu ini menjadi kosa kata setiap hari bagi masyarakat.
“Sekarang, misalnya, bagaimana menjadikan isu perubahan iklim sebagai isu yang memasyarakat atau menarik perhatian lebih dari pengambil kebijakan politik,” katanya.
Tarsi mengemukakan bahwa pihaknya mengambil strategi bekerja sama dengan orang muda. Orang-orang muda ini melakukan advokasi maupun jadi corong informasi tentang perubahan iklim ke tengah masyarakat.
“Kenapa orang muda? Kami yakin orang muda itu suatu potensi untuk menyebarkan informasi, karena di mana media cepat bergerak orang-orang muda ini yang lebih cepat,” tandasnya.
“Kita berharap, orang-orang muda ini akan menjadi duta-duta di mana bicara tentang seriusnya masalah-masalah buruk terkait dengan perubahan iklim,” tambahnya.
Tarsi pun mengajak semua pihak untuk mengambil bagian dalam isu perubahan iklim.
“Kami bukan hanya mau berkolaborasi tapi mau mengajak sebanyak mungkin pihak. Kami mau buat itu dalam kosa kata penting dalam kehidupan kita sehari-hari,” pungkasnya.