Jakarta, Ekorantt.com– Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) yang tergabung dalam aliansi Voices for Just Climate Action (Suara untuk Aksi Iklim yang Berkeadilan) menyatakan suara lokal untuk aksi iklim berkeadilan masih minim.
Keterlibatan aktif dari kelompok rentan yang paling terdampak krisis iklim pun masih minim, terutama dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim berkeadilan di forum nasional, regional, dan global.
Kelompok rentan yang dimaksud seperti komunitas akar rumput, petani, nelayan, masyarakat adat, kelompok orang muda, dan kelompok perempuan.
“Menuju Conference of Parties ke-28 (COP 28) yang sebentar lagi akan dilaksanakan pada tanggal 30 November-12 Desember 2023, kita akan melihat perbincangan penting seputar apa yang disebut dengan global stocktake (GST) yang pertama setelah Perjanjian Paris, di mana negara-negara akan mengevaluasi diri mereka sendiri dan kemajuan kolektif terhadap tujuan yang telah mereka tetapkan,” kata Country Engagement Manager Yayasan Humanis (afiliasi Hivos), Arti Indallah, dalam rilis yang diterima Ekora NTT, Rabu, 22 November 2023.
Indallah mengatakan, proses GST akan menjadi titik penting untuk refleksi dan mengambil tindakan akselerasi signifikan terkait aksi iklim berkeadilan, baik di tingkat global maupun di Indonesia.
Berdasarkan laporan sintesis GST yang dikeluarkan pada September 2023, komunitas global menyadari implementasi dari Perjanjian Paris sangat jauh dari target dan menunjukkan kurangnya kemajuan negara-negara dalam mengurangi tingkat level emisi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Sehingga menurut Indallah, momen COP-28 dan setelah itu perlu digunakan untuk menerjemahkan hasil teknis GST di regional. Kemudian, konteks spesifik negara dalam adaptasi dan pembangunan ketahanan iklim melalui pemutakhiran dan peningkatan Nationally Determined Contributions (NDC) dan kebijakan terkait iklim lainnya dengan proses yang partisipatif.
“Sehingga aliansi menyoroti beberapa hal untuk komunitas global dan pemerintah Indonesia menuju COP-28. Dengarkan dan libatkan komunitas rentan yang berada di garis depan krisis iklim,” ujar Indallah.
Terdapat beberapa inisiatif dari presidensi COP-28 untuk lebih banyak melibatkan kelompok rentan dalam forum seperti The International Youth Climate Delegate Program yang mensponsori 100 orang muda untuk mengikuti forum COP-28.
Namun, aliansi menyoroti suara untuk aksi iklim yang dipimpin secara lokal belum didengar dan masih banyak tantangan untuk mendorong keterlibatan bermakna dari kelompok rentan.
Indallah mencontohkan hanya 35% partisipasi dari perempuan dalam delegasi pada COP-27.
Selain itu, masih terbatas juga keterlibatan perwakilan kelompok rentan terutama yang tidak terwakili dalam kelompok konstituensi/kaukus seperti kelompok disabilitas dalam proses negosiasi iklim UN.
Selain itu, menurut Indallah, dari waktu ke waktu biaya yang harus dikeluarkan untuk menghadiri konferensi seperti forum regional maupun COP semakin meningkat dan menjadi tidak dapat dicapai oleh CSO.
Hal ini secara signifikan juga berkontribusi terhadap tersingkirnya keterlibatan CSO dan kelompok rentan yang berada di garis depan perubahan iklim untuk dapat berpartisipasi aktif dalam ruang pengambilan keputusan.
Selain itu juga terbatasnya akses/badge COP-28 yang dapat digunakan untuk pertemuan offline terutama untuk kelompok dari negara selatan berkurang secara signifikan.
Maria Mone Soge, petani muda perempuan dari Flores Timur mengatakan dengan situasi iklim yang semakin tidak menentu, peningkatan ketahanan masyarakat melalui sumberdaya lokal menjadi sangat penting.
Sebab itu, ia meminta kebijakan iklim harus mendukung petani, nelayan, perempuan, kelompok disabilitas, masyarakat adat, dan generasi muda di pedesaan.
“Banyak tantangan kami dapat terlibat di forum-forum perubahan iklim seperti tantangan bahasa, dana yang cukup besar untuk travel dan partisipasi, dan penggunaan bahasa jargon yang cukup kompleks dan berbagai akronim membatasi keterlibatan bermaknadari kelompok rentan,” kata Maria.
Seharusnya, lanjut dia, platform multi-pihak di berbagai tingkatan (nasional, regional, global) perlu memberikan ruang bagi kelompok rentan untuk menyampaikan keprihatinannya dan mengembangkan solusi iklim yang tanggap terhadap kebutuhan lokal.
Tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan dukungan pendanaan serta peningkatan kapasitas bagi komunitas dan pemangku kepentingan di tingkat lokal.
Refiana, pimpinan Women Federation Penjaringan, sekaligus perwakilan warga Penjaringan, Jakarta Utara (pesisir pantai) mengaku, dirinya yang tinggal di daerah perkotaan padat penduduk di pesisir Jakarta Utara merasakan akibat dampak perubahan iklim.
“Untuk memetakan kondisi lingkungan, kami melakukan pemetaan sosial atau profiling, agar dapat mengetahui kerentanan iklim di wilayah sekitar kami. Pada saat tertentu wilayah kami terkena banjir rob, akibatnya aktivitas sehari-hari terganggu. Tidak hanya itu, kadang-kadang air juga mati dan kami harus membeli air dari penjual air gerobak atau tetangga untuk kebutuhan sehari-hari,” jelas Refiana.
Melalui kelompok Federasi Perempuan pihak Refiana menginisiasi Tabungan Bergulir. Uang tabungan tersebut dapat digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan, khususnya terkait dampak perubahan iklim, seperti saat air mati dapat menggunakan tabungan ini untuk membeli air pikulan yang ada di sekitar.
Untuk menanggulangi masalah iklim, tentu saja Refiana tidak mampu sendirian. Ia pun sangat bersedia berkolaborasi dengan pemerintah, swasta, dan kelompok masyarakat sipil lainnya sebagai solusi iklim untuk menjawab kebutuhan di tingkat lokal, termasuk menggunakan media sosial.
Namun ia mengaku tidak bisa melakukan hal tersebut, karena pengetahuan dan pengalaman mereka tidak dianggap setara dan penting dibandingkan dengan pengetahuan iklim terkini yang umum dipakai.
Terpisah, Vincent Bureni dari C4Ledger-SSN mendorong Pemerintah Indonesia untuk menggunakan momentum paska COP-28 dan proses GST untuk melibatkan Non-State Actors (NSAs) dan kelompok rentan dalam pembahasan tindak lanjut dan kebijakan di tingkat negara seperti pemutakhiran dokumen NDCs dan juga perencanaan di tingkat sub-nasional.
Dorong Alokasi Pendanaan Iklim di Tingkat Lokal
Secara kuantitas pendanaan di tingkat global, negara maju gagal memenuhi komitmen mereka untuk janji 100 miliar USD per tahun, dana adaptasi yang terus tertinggal jauh dari dana mitigasi, dan arsitektur pendanaan iklim saat ini yang terlalu kompleks, memakan waktu, dan persyaratan yang rumit.
Menurut Indallah, diperkirakan dari data 2019-2020 hanya ¼ dari pendanaan iklim publik yang bentuknya dana hibah, sebagian besar bentuknya hutang bahkan non-konvensional.
Hal ini menjadi instrumen pembentukan hutang yang semakin memberatkan negara berkembang dan sebuah praktik ketidakadilan.
Selain itu, pendanaan dalam bentuk hutang juga biasanya sulit memenuhi kebutuhan krusial untuk adaptasi yang dibutuhkan kelompok rentan untuk melindungi penghidupannya seperti ketahanan pangan dan air.
Berdasarkan data analisis CPI, jelas Indallah, dari pendanaan iklim yang mengalir ke Indonesia, hanya 4% yang bentuknya dana hibah.
Di lain sisi, sudah banyak literatur yang melihat solusi iklim berbasis lokal dapat membawa perubahan yang berkelanjutan.
“Untuk menganalisis pendanaan untuk solusi yang dipimpin lokal cukup sulit dilakukan karena kurang transparansi terkait informasi ini di arsitektur pendanaan iklim yang ada,” ujar Indallah.
Namun beberapa percobaan untuk menghitung ini memperkirakan hanya 0,5% dari pendanaan di Asia yang mendukung.
Dalam situasi krisis seperti bencana alam atau perubahan cuaca yang ekstrem, menurut Maria Mone, memiliki akses terhadap pangan lokal yang beragam dapat menjadi pertahanan dalam menjaga ketersediaan pangan di masyarakat.
“Kami bersama komunitas WeTan HLR mendorong dan mengkampanyekan pangan lokal,” pungkas Maria.
Menurut dia, pangan lokal mampu tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi iklim dan lingkungan setempat. Keanekaragaman hayati yang telah beradaptasi dengan iklim lokal biasanya lebih tahan terhadap perubahan iklim.
Dengan mempertahankan produksi pangan lokal, komunitas dapat mengurangi ketergantungan pada pangan impor dan mempertahankan akses terhadap sumber daya pangan dalam menghadapi perubahan iklim yang tidak pasti.
“Sehingga kami berharap, inisiatif seperti ini dapat didukung dengan pendanaan yang memadai,” ujar Maria.
Oleh karena itu, Aliansi VCA mendorong negara maju untuk meningkatkan jumlah dana hibah dan transformasi sistem pendanaan iklim untuk perbaikan kualitas agar lebih mudah diakses dan dapat mendukung solusi yang dipimpin lokal serta mendukung negara dan kelompok yang paling terdampak.
Selain itu, di Indonesia juga pihak Indallah mendorong sinergitas semua pihak dalam mendukung aksi-aksi iklim tingkat lokal melalui peningkatan alokasi anggaran baik melalui anggaran pemerintah, komunitas internasional atau melalui skema lainnya.
Indallah berharap bahwa dengan adanya alokasi pendanaan iklim di tingkat lokal, komunitas lokal di daerah-daerah dapat menjadi agen perubahan yang aktif dan efektif dalam menangani perubahan iklim.
Sumber melalui mekanisme transfer daerah mencakup Dana Perimbangan (DAU, DBH, DAK), Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, mekanisme transfer berbasis ekologi, dan Dana Desa dapat didorong untuk mendukung hal ini terutama pada daerah-daerah oyang rentan.
Peran Seni dan Budaya dalam Kebijakan Iklim
Menurut Kristian H. Wali, perwakilan orang muda adat dari Kambata Wundut-Lewa, Sumba Timur, krisis iklim memiliki dampak langsung ke masyarakat adat.
Situasi iklim yang ekstrem sekarang ini berdampak pada kekeringan panjang pada padang gembalaan, stok air dan gagal panen dipertanian.
Tidak hanya itu, serangan hama belalang yang semakin intens membuat pertanian gagal panen. Sehingga hutan menjadi stok pangan terakhir harus dijaga.
“Bagi kami, hutan lebih dari sekitar lahan, namun juga ada relasi spiritual, relasi sosial-ekologis, dan kebudayaan,” terang Kristian.
Sehingga, Kristian berharap dukungan dari berbagai pihak termasuk pengakuan hak-hak masyarakat adat.
Pengakuan Masyarakat Adat
Renny I. Suruan pendamping komunitas masyarakat adat di Kampung Resye dan Womom, Distrik Tobouw Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, meyakini, perjuangan masyarakat adat melawan dampak perubahan iklim melalui kearifan dan budaya lokal masyarakat adat merupakan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Pengelolaan sumberdaya alam potensial di bidang jasa lingkungan dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) serta perlindungan wilayah dan ruang kelola masyarakat adat yang inklusif menjadi alternatif solusi iklim berbasis kearifan lokal yang didorong bersama-sama.
“Kami meyakini, pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal, kesetaraan gender serta penguatan kapasitas kaum marginal yang dilakukan secara inklusif, merupakan solusi iklim yang efektif di akar rumput, sehingga perlu menjadi suara yang didengar oleh banyak orang,” tegas Renny.
Ia pun mendorong untuk menggunakan pendekatan berbasis hak dalam kebijakan iklim dan implementasinya termasuk pengakuan hak masyarakat adat dan komunitas lokal.
Selain itu, Renny juga mendorong integrasi kebudayaan dalam kebijakan iklim. Memanfaatkan kekuatan keberagaman budaya dan kearifan lokal, pendidikan dan kemampuan bercerita, seni dan kerajinan, pusaka benda dan tak benda, serta desain dan kreativitas.
Hal ini tentu saja dapat meningkatkan aksi untuk menciptakan perubahan sistem yang diperlukan untuk mengatasi masalah iklim dan krisis keanekaragaman hayati.
Ia menjelaskan, Visi 2100 Papua mengamanatkan pembangunan berkelanjutan berbasis budaya dan ekologi, di mana melalui komitmen bersama pemerintah daerah, masyarakat sipil, akademisi, masyarakat adat mendorong Papua Cerdas, Papua Sehat, dan Papua mandiri berbasis kewilayahan adat.
Saat ini dengan perubahan iklim yang terjadi di seluruh belahan bumi dan masyarakat adat menjadi salah satu subjek yang terdampak dengan local genius mereka bertahan dan tangguh dalam praktik adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Tentunya solusi lokal berbasis alam perlu didukung melalui program dan kebijakan yang sebagian besar telah termuat dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Sehingga pengawasan terhadap implementasi regulasi tersebut perlu dilakukan secara kolektif.
“Menciptakan kader-kader aksi iklim yang dapat mewujudkan perubahan positif dalam komunitas untuk tujuan keberlanjutan dalam segala aspek,” terang Renny.
Ia menegaskan peluang pendanaan yang dapat menyasar secara langsung masyarakat adat, perempuan adat dan pemuda adat sesuai kebutuhan dan berbasis hak, memberikan ruang yang luas dalam mewujudkan kemandirian tanpa meninggalkan identitas dan kebanggaan dengan kepemimpinan secara komunal untuk kebersamaan dalam menentukan masa depan.
Kemudian mengoptimalkan sistem yang transparan dan akuntabel serta memperkuat peran private sector untuk memberikan kesempatan kerja dan kompensasi yang adil untuk mensejahterakan masyarakat adat tanpa merusak alam dan keanekaragaman hayati sebagai upaya mitigasi bencana iklim.
Renny mengatakan, aksi kolektif dalam memperjuangkan kedaulatan pangan yang adil dan bijaksana tentu saja menyasar kepada masyarakat adat. Termasuk mengkaji kontribusi masyarakat adat dan masyarakat sipil dalam kerja-kerja mengurangi emisi da (WikaRumbiak, WWF ID).
Dorong Operasionalisasi Dana Loss and Damage
C4ledger-SSN menyatakan bahwa loss and damage (L&D) menjadi topik perbincangan yang cukup mengemuka saat ini sejalan dengan prediksi akan makin meningkatnya ancaman bencana iklim di masa-masa mendatang dan batas adaptasi telah tercapai.
Ketika lahan telah hilang akibat naiknya permukaan air laut, ketika kekeringan telah mengubah lahan pertanian dan kehilangan sumber pangan.
Dengan kata lain, perubahan iklim akan menimbulkan kerugian dan kerusakan baik secara fisik/materi maupun non-fisik sebagai akibat dari kegagalan upaya mitigasi dan adaptasi.
Menuju beberapa minggu lagi untuk COP-28, Komite Transisi akhirnya mencapai serangkaian rekomendasi mengenai rancangan Dana L&D yang sementara diadministrasikan oleh Bank Dunia dan negara maju tidak mempunyai kewajiban untuk berkontribusi secara finansial menjelang COP-28.
“Kami mendesak dana L&D yang independen dan didanai secara memadai,” ujar Indallah.
Menurut dia, struktur tata kelola yang demokratis dan mekanisme yang kuat untuk keterlibatan perempuan, masyarakat adat dan komunitas rentan lainnya serta organisasi masyarakat sipil sangatlah penting.
Amerika Serikat, Uni Eropa, negara-negara utara, dan pencemar besar lainnya seperti produsen minyak dan gas seperti UAE dan Saudi Arabia secara historis bertanggung jawab atas krisis iklim harus memenuhi kewajiban mereka untuk membayar bagian yang adil atas kerugian dan kerusakan iklim yang terjadi di negara berkembang yang berkontribusi kecil terhadap emisi.
Dan seharusnya menurut dia, dana ini dapat menjangkau tingkat komunitas lokal, di mana pada perencanaan dan sejarah Bank Dunia yang ada sekarang belum terlihat adanya struktur tersebut.
Indallah pun mendorong proses dana L&D harus bisa lebih sederhana, cepat, fleksibel, dan memperhatikan kehilangan budaya, pengetahuan dari kelompok rentan dan masyarakat adat ketika menilai kerusakan karena krisis iklim.
Menurut Moh. Taqiuddin dari C4Ledger-SSN, Indonesia perlu mendorong L&D untuk menjadi perhatian utama, apalagi jika dikaitkan dengan tingginya jumlah komunitas yang tergolong rentan terhadap ancaman bencana iklim baik sifatnya rapid-onset maupun slow-onset.
“Karena itu, penyiapan tata kelola di tingkat negara agar dana bisamenjangkau kelompok rentan serta pemahaman komprehensif tentang jenis ancaman bencana iklim beserta karakteristiknya, tingkat kerentanan, dan kapasitas termasuk historis kejadian bencana di suatu wilayah sangat diperlukan,” ujar Moh. Taqiuddin.
Tentang Voices for Just Climate Action
Voices for just Climate Actions (VCA) adalah sebuah program untuk mendorong keadilan iklim sertamenggerakkan perubahan melalui aksi kolektif, kolaborasi, dan inovasi di Indonesia.
Program ini di Indonesia dilakukan oleh aliansi yang terdiri dari SSN-C4Ledger, Yayasan Humanis, Slum DwellersInternational-SPEAK Indonesia, dan WWF di Nusa Tenggara Timur, Jakarta, Yogyakarta, dan Tanah Papua.
Aliansi ini mendorong upaya untuk menyatukan suara global dan lokal dengan menghubungkan berbagai organisasi masyarakat sipil serta mengamplifikasi suara perempuan, orang muda, masyarakat adat, masyarakat miskin perkotaan, dan kelompok rentan lainnya.