Maumere, Ekorantt.com– Etnis Lio di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, memiliki serba-serbi pilihan kuliner termasuk kue tradisional yang dikenal dengan nama Filu.
Tampilannya unik serta rasanya yang khas, membuat kue Filu selalu menjadi langganan konsumsi setiap perhelatan pesta, acara adat, pesta pernikahan, penerimaan komuni pertama (sambut baru), antar belis dan acara adat lainnya.
Kue ini merupakan makanan wajib yang disuguhkan kepada tamu kala ada acara yang digelar etnis Lio. Diketahui, etnis Lio sendiri tersebar di dua kabupaten yakni Kabupaten Ende dan Kabupaten Sikka. Khusus di Sikka, etnis Lio termasuk salah satu dari lima etnis besar yang mendiami wilayah itu. Empat lainnya yakni Sikka Krowe, Palue, Tana Ai, dan Tidung Bajo.
Masyarakat etnis Lio menetap di wilayah barat Kabupaten Sikka yang meliputi Kecamatan Magepanda, Paga, Mego dan Tanawawo.
“Salah satu kue yang wajib dihidangkan, yakni Filu. Kue ini dibuat dari beras lokal hasil dari ladang,” kata Rastiana Rawi, seorang ibu asal Desa Parabubu, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka saat dijumpai pekan lalu.
Sebagaimana kue kebanyakan, Filu juga ada tahapan dalam pembuatannya. Rastiana mengatakan, kue ini dibuat dengan terlebih dahulu tepung beras direndam di dalam air selama satu jam, lalu diangkat dan airnya ditiriskan. Setelah itu dimasukkan ke dalam lesung, lalu ditumbuk.
Setelah halus, tepung diangkat dan diayak menggunakan penyaring. Tepung yang masih belum halus ditumbuk lagi dan disaring hingga memperoleh tepung beras dengan jumlah sesuai kebutuhan.
Sebelum diolah, tepungnya dijemur terlebih dahulu di sinar matahari.
Lalu, ada jua gula merah dari pohon Aren. Prosesnya sama, yakni ditumbuk hingga halus lalu dicampurkan dengan air.
Kemudian, tepung beras dimasukkan ke dalam cairan gula merah atau gula Aren tersebut dengan dicampur sedikit gula pasir.
Selanjutnya, aduk adonan dengan tangan hingga merata dan sedikit kenyal.
Makna Filu
Rastiana menjelaskan, kue Filu sebagai salah satu dari kekayaan budaya Nusa Tenggara Timur.
Warisan budaya kuliner adat yang unik dan khas dari suatu daerah termasuk kue Filu, lanjut dia, penting untuk dilestarikan dan dipromosikan.
Kue Filu, menurut Rastiana, memiliki arti atau makna tersendiri antara lain; pertama, kehormatan dan keramahan.
Ia mengatakan, menyajikan Filu adalah tanda kehormatan dan keramahan terhadap tamu istimewa. Ini mencerminkan nilai-nilai sopan santun dan sikap saling menghargai dalam masyarakat adat Lio.
Kedua, pertukaran budaya. Melalui hidangan khas yang disajikan, masyarakat adat Lio dapat berbagi kekayaan budaya dan tradisional mereka dengan tamu dari luar.
Ketiga, keterkaitan dengan alam. Bahan adonan kue Filu sering kali bersumber dari bahan-bahan lokal yang dihasilkan dari lingkungan sekitar. Hal ini menunjukkan pentingnya keterkaitan masyarakat adat Lio dengan alam dan sumber daya lokal mereka.
Keempat, simbol keberlimpahan dan kemakmuran. Filu sering kali mencakup hidangan-hidangan istimewa atau yang sulit ditemukan sehari-hari.
Ini dapat diartikan sebagai simbol keberlimpahan dan kemakmuran yang diinginkan untuk dibagikan dalam upacara atau peristiwa tertentu.
“Hampir setiap wanita suku Lio bisa membuat kue ini. Dikarenakan kue ini merupakan kue adat yang harus selalu ada di setiap acara-acara tertentu,” jelas Rastiana.
Jurnalis warga: Sisilia Oncinia Jaru, mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Nipa