Guru Dami, Kasih, dan Kita

Oleh: Yohanes Sudarmo Dua*

Bayangkan situasi ini: Anda sedang mengajar dalam kelas dengan konsentrasi penuh. Tiba-tiba, dari pintu ruang kelas anda mengajar, masuklah beberapa orang yang tidak anda kenal.

Belum sempat anda merampungkan ingatan tentang siapa mereka, anda langsung diserang secara membabi buta. Bila anda adalah seorang guru pemegang sabuk hitam taekwondo, kejadian semacam ini mungkin bukan persoalan yang besar.

Anda mungkin akan dengan mudah menaklukkan mereka, atau minimal mengelak dan menyelamatkan diri.

Bagaimana kalau anda hanyalah seorang Sarjana Pendidikan Matematika, tanpa pengalaman bela diri apa pun, dan bahkan dalam mimpi anda yang paling menyeramkan sekali pun, anda tidak pernah menyangka akan ditimpa kejadian semacam ini?

Yang jelas, anda akan terluka! Anda terluka secara fisik, dan yang paling mengenaskan, secara psikis, kejiwaan, dan harga diri anda remuk.

Bila anda kesulitan membayangkan diri anda sebagai seorang guru dalam situasi ini, bayangkan bila hal itu terjadi pada ayah, ibu, adik perempuan, suami atau istri atau sahabat anda, yang mungkin adalah seorang guru.

Guru Dami, seorang guru matematika di Sekolah Menengah Atas paling besar di pulau Lembata, di bulan kasih sayang yang barusan lewat, dirundung tragedi malang semacam ini.

Menurut berita yang dimuat di beberapa media online (gardaindonesia.id, Pos-kupang.com, dan beberapa media lainnya), Guru Dami, yang merupakan salah satu dari tidak banyak guru penggerak di Kabupaten Lembata, ‘dianiaya’ keluarga seorang siswi saat sedang melangsungkan kegiatan pembelajaran di ruang kelas.

Kasih

Ada adagium dalam dunia Pendidikan yang menurut saya cukup berat untuk diterima, apalagi dilaksanakan: apa pun situasinya, siswa jangan pernah dipersalahkan. Bagaimana bila siswa melakukan kesalahan?

Siswa (tetap) tidak boleh dipersalahkan. Adagium ini sebenarnya bukan tentang siswa. Adagium tersebut justru menggambarkan betapa beratnya tanggung jawab seorang guru dalam menunaikan tugas panggilannya sebagai seorang pendidik.

Memang, ketika memilih menjadi seorang guru, persis di saat itu juga, dengan penuh kesadaran, seorang guru ber-bela beban dengan orang tua dan masyarakat dalam mendidik anak-anak yang dipercayakan kepada lembaga pendidikan tempat ia mengabdi.

Bila siswa tak pernah boleh dipersalahkan, siapakah guru itu?

Penjelasan paling fundamental terhadap pertanyaan di atas, menurut saya, terletak pada kata lima huruf berikut: Kasih. Guru adalah sumber, penyalur, dan teladan kasih.

Kasih yang bersumber dari hati dan diejawantahkan dalam perilaku hidup; A great teacher is a teacher who knows his/her students by heart. Hanya dengan kasih, seorang guru dapat menerima dan menafasi adagium di atas.

Apakah seorang Guru Dami telah berada pada jalur menuju sumber, penyalur dan teladan kasih? Bila ingin data yang komprehensif, anda mungkin butuh riset yang panjang tentang Guru Dami.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa Guru Dami adalah seorang guru yang secara paripurna telah menjadi sumber, penyalur, dan teladan kasih, tetapi apa yang dilakukan Guru Dami sebelum peristiwa penganiayaan itu ‘berbicara’ cukup keras.

Dia menegur secara baik-baik siswi yang bersangkutan karena tidak mengerjakan tugas; tidak berhenti di situ, dia membuat catatan perihal karakter siswi yang bersangkutan yang menurutnya patut diberi perhatian khusus. Untuk apa?

Tentu bukan untuk menggagalkan siswi tersebut. Yang dilakukan Guru Dami adalah bentuk perhatian dan empati yang merupakan gerbang awal terlaksananya proses pendidikan yang humanis.

Terlalu minim data untuk menyebut Guru Dami sebagai guru “kasih”, tetapi kita bisa dengan tidak sungkan menyebut bahwa beliau bukanlah guru yang jelek, apalagi memperhatikan profilnya sebagai guru penggerak plus beberapa prestasi nasional yang pernah beliau torehkan.

Apa yang dilakukan Guru Dami sesaat setelah dia ‘dianiaya’ dan ‘ditelanjangi harga dirinya’ di hadapan para siswa dan koleganya, membuat saya spontan mengangkat topi.

Beliau membuat laporan polisi. Kita semua tentu sepakat, ini tindakan yang paling tepat. Selain benar dalam aspek kesadaran hukum, bagi saya, ini adalah tindakan kasih.

Bila tidak atas dasar kasih, Guru Dami bisa saja memprovokasi keluarga dan para kerabatnya untuk melakukan serangan balik dan membuat situasi menjadi semakin runyam. Guru Dami tidak melakukan hal tersebut. Bahkan sekadar memikirkan hal ini pun, mungkin tidak ia lakukan.

Kita

Begitu mendengar bahwa laporan polisi yang dilayangkan Guru Dami ke Polres Lembata tidak segera ditindak-lanjuti, banyak pihak geram. Suara-suara dukungan terhadap Guru Dami pun mengalir bak arus dari berbagai penjuru.

Pertanyaan spontan publik adalah: ada apa?

Biasanya pihak kepolisian bertindak sangat cepat manakala terjadi tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Bahkan, bila ada guru yang dilaporkan atas dugaan tindak kekerasan terhadap anak, dalam hitungan jam, para guru ini bisa langsung ‘diangkut’ ke kantor polisi.

Ada apa dengan laporan Guru Dami? Polres Lembata diharapkan harus sesegera mungkin membuat kasus ini menjadi terang benderang demi meminimalisir sikap kurang atau tidak percaya publik terhadap institusi pengayom masyarakat ini.

Senter publik juga sedang diarahkan ke pihak sekolah. Mau tidak mau. Sebagai pribadi yang bersentuhan langsung dengan dunia Pendidikan, saya menyadari, ini pukulan yang berat, tidak saja bagi Guru Dami, tetapi juga bagi seluruh warga sekolah.

Kelengahan hingga membiarkan ‘orang luar’ masuk dan ‘menganiaya’ seorang guru dalam ruang kelas adalah noda terhadap koordinasi antar-elemen internal dan manajemen sekolah yang harus dievaluasi secara kritis.

Bila mengacu kepada rambu-rambu yang digariskan dalam Instrumen Akreditasi Satuan Pendidikan (IASP) 2020, kelalaian dalam melokalisir kejadian semacam ini telah mencederai upaya untuk menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif dan terbangunnya komunikasi dan interaksi yang harmonis antara sekolah dan orang tua. Ke depan, kita berharap, kejadian semacam ini dapat sedini mungkin diatasi.

Lalu, bagaimana dengan masa depan siswi yang bersangkutan?

Bagi saya, yang bersangkutan tetaplah menjadi korban. Mungkin ini terdengar naif. Ijinkan saya mengutarakan pandangan saya.

Saya menempatkan siswi yang bersangkutan sebagai pribadi yang dididik. Dididik oleh siapa? Oleh sekolah, orang tua, dan juga masyarakat.

Sebagai “yang sedang dididik”, yang bersangkutan bisa saja melakukan kesalahan. Tugas para pihak pendidik adalah memastikan agar anak yang dididik dapat belajar dan bertumbuh sebagaimana yang diharapkan.

Karena mendidik anak dilakukan oleh para pihak (bahkan ada yang menyebut, “mendidik seorang anak, butuh orang sekampung”), sangat dibutuhkan ‘jembatan’ yang bernama komunikasi, interaksi yang harmonis dan sikap saling percaya antar para pihak sehingga cita-cita pendidikan yang diimpikan bersama dapat terwujud.

Begitu ‘jembatan’ roboh, entah siapa penyebabnya, yang menjadi korban utama tetaplah anak. Peristiwa yang kita saksikan per saat ini adalah ambruknya ‘jembatan’ itu dan anak tersebut menjadi korban. Anda bisa saja setuju atau tidak setuju dengan pandangan saya.

Lantas, bagaimana bila sekolah memutuskan untuk mengeluarkan anak tersebut?

Saya tahu persis, keputusan mengeluarkan seorang anak dari sekolah bukan Keputusan yang mudah. Berat! Bila sekolah telah memutuskan demikian, pihak sekolah tentu telah memiliki pertimbangan yang matang. Semua pihak diharapkan menghargai keputusan sekolah.

Dalam kasus Guru Dami, tindakan yang diambil pihak sekolah, menurut saya, sangat tepat. Tinggal saja dibutuhkan kebijaksanaan pimpinan sekolah untuk memastikan agar siswi yang bersangkutan dapat diterima di sekolah yang lain.

Apakah tindakan mengeluarkan siswi dari sekolah tersebut kontradiktif dengan pandangan yang menempatkan siswi yang bersangkutan sebagai korban?

Jelas tidak! Menyelamatkan korban tidak boleh dengan romantisme tetapi harus tetap dilakukan secara rasional. Bila mengeluarkan yang bersangkutan dari sekolah adalah pilihan yang paling minim risiko terhadap kedua belah pihak, biarkan itu dilakukan.

Kita berharap semua pihak dapat belajar dari pelajaran kelabu ini. Semoga dunia pendidikan kita semakin hari semakin digerakkan oleh kasih, komunikasi dan interaksi yang harmonis, serta sikap saling mempercayai antar-semua elemen.

Kita doakan semoga Guru Dami dan siswi yang bersangkutan dapat segera pulih dari situasi ini.


* Pemerhati Sosial & Pendidikan, Dosen Fisika Unipa Maumere, sedang studi doktoral di Kansas State University, Amerika Serikat

spot_img
TERKINI
BACA JUGA