Paradigma Mesti Berubah: Dari Istilah ‘Anggota’ Koperasi Jadi ‘Pemilik’

Padahal, persepsi masyarakat Indonesia pada umumnya, begitu mendengar istilah anggota selalu diasosiasikan sebagai kepesertaan yang paling rendah di suatu organisasi

Oleh: Suroto

Di koperasi, penyebutan istilah pemilik dari perusahaan atau organisasi menggunakan istilah anggota. Aturan legal formal perundang-undangan kita juga menyebut demikian.

Padahal, persepsi masyarakat Indonesia pada umumnya, begitu mendengar istilah anggota selalu diasosiasikan sebagai kepesertaan yang paling rendah di suatu organisasi. Akibatnya dapat kita lihat, perkembangan perusahaan atau organisasi koperasi menjadi tertinggal jauh dibandingkan dengan perusahaan korporasi kapitalis karena pemiliknya menganggap level status dirinya lebih rendah dari pengurus atau bahkan manajemen.

Anggota di koperasi merasa bahwa mereka bukan orang penting di perusahaan atau organisasi koperasinya. Orang koperasi sering menunjukkan peran yang paling tidak penting di suatu organisasi dengan menyebut dirinya sebagai “saya hanya anggota”.

Sehingga jangan heran, anggota koperasi di Indonesia pada akhirnya banyak yang tidak aktif, bahkan merasa dirinya tak berguna atau hanya berperan sebagai pelengkap penderita. Padahal mereka sesungguhnya orang yang paling penting, paling berkuasa di perusahaan atau organisasi koperasi.

Lain halnya jika kita mendengar istilah pemilik di sebuah perusahaan korporasi. Orang akan mengasosiasikan bahwa orang itu punya otoritas besar di perusahaan, punya tanggung jawab yang besar terhadap perkembangan perusahaan, berperan signifikan di perusahaan. Sangat menentukan terhadap maju dan mundurnya perusahaan.

Akibatnya, banyak koperasi yang pemiliknya begitu banyak, namun tidak aktif. Pemilik koperasi malahan ada yang dengan mudah dirasionalisasi atau dilakukan penghapusan status kepemilikan (keanggotaannya) oleh pengurus atau manajemen koperasi.

Anggota merasa perannya tidak signifikan di koperasi, lalu mereka juga menerima perlakuan demikian. Di lapangan, banyak pemilik koperasi bahkan merasa dirinya tak ubahnya hanya sebagai nasabah atau konsumen koperasi. Level yang lebih buruk dari pengertian sebagai anggota.

Persepsi bahwa anggota hanya sebagai nasabah, dibuktikan saat dia mendaftar di koperasi, motivasinya bukan untuk menjadi pemilik koperasi melainkan hanya untuk mendapatkan pelayanan koperasi. Sebut saja, misalnya, ingin menjadi penabung, peminjam, atau pelanggan koperasi.

Ditambah saat perekrutan, manajemen atau pengurus koperasi tidak banyak menjelaskan peran dan kedudukan anggota sebagai pemilik perusahaan. Tapi mereka sekadar memberikan penjelasan tentang manfaat pelayanan koperasi.

Bahkan ada banyak koperasi di Indonesia yang sengaja merekrut anggotanya dengan iming-iming manfaat ekonomi semata. Sebut misalnya bunga atau pengembalian modal yang tinggi. Akibatnya, banyak masyarakat yang tertipu oleh perangai rentenir atau investasi bodong yang “berbaju” koperasi.

Pengertian yang salah ini menyebabkan maju dan mundurnya koperasi sangat bergantung sepenuhnya pada pengurus dan manajemen koperasi. Anggota koperasi sekadar menerima layanan tanpa mau tahu perkembangan koperasi.

Lebih dari itu, pengurus dan manajemen acapkali memanfaatkan ketidakpahaman posisi dan peran anggota sebagai pemilik koperasi untuk kepentingan pribadi mereka.

Akibat ikutannya, banyak anggota koperasi tidak siap menerima risiko bisnis dan semuanya hanya menuntut keuntungan yang didapat di koperasi. Ketika koperasinya menghadapi masalah, pemilik perusahaan hanya berperilaku menuntut tanpa turut ikut menyelesaikan masalah koperasi. Sehingga jangan heran ketika banyak koperasi yang gagal bayar, anggota atau pemilik koperasi malah memperparah keadaan.

Kondisi psikologis demikian sering dimanfaatkan oleh pengurus dan manajemen koperasi, seakan merekalah yang jadi pemilik koperasi sesungguhnya. Koperasi dijadikan ajang spekulasi bisnis segelintir pengurus dan manajemen tanpa melibatkan partisipasi anggota dalam menentukan keputusan.

Tanggung jawab anggota jadi rendah. Tidak heran, banyak dijumpai dalam praktik, mengutang di koperasi namun menyimpan uang di bank. Belanja di mal tapi ngebon di koperasi.

Hal itu terjadi karena anggota tidak merasa benar-benar sebagai pemilik. Koperasi ketika kekurangan likuiditas juga tidak serta merta menjadi perhatian anggota dan pada akhirnya koperasi terjebak hutang dengan pihak luar yang terlampau besar dibandingkan dengan modal sendiri.

Dalam kondisi demikian, koperasi tidak bisa kita harapkan perkembangannya. Kalau berjalan pun pasti akan terus menghadapi kelemahan mendasar. Koperasi hanya bergerak sebagai subordinat dari perusahaan swasta kapitalis. Hanya menjadi kepanjangan tangan dari perusahaan korporasi kapitalis.

Perubahan Paradigma

Untuk menghilangkan problem mendasar ini maka istilah anggota koperasi perlu diganti dengan istilah pemilik. Ini mesti dimasukkan ke dalam Undang-Undang Perkoperasian sebagai bagian dari rekayasa sosial.

Perubahan istilah anggota menjadi pemilik akan menghapus istilah calon anggota atau praktik curang koperasi untuk “mencalonkan anggota” mereka sampai selama-lamanya. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1995 tentang Koperasi Simpan Pinjam yang mengatur mengenai calon anggota juga mesti segera dihapus sebagai konsekuensinya.

Koperasi dimiliki pemiliknya. Jadi kata pemilik juga memiliki konsekuensi strategis. Mereka mesti jelas mengambil manfaat berkoperasi, ikut mengendalikan jalannya koperasi, memodalinya, dan juga bertanggungjawab terhadap maju dan mundurnya koperasi. Termasuk turut mengambil tanggung jawab besar jika koperasinya sedang menghadapi masalah.

Istilah pemilik secara psikologis akan menjadikan pengurus dan manajemen bukan sebagai orang istimewa. Mereka hanya berfungsi sebagai pelayan dari pemilik organisasi perusahaan koperasi.

Perubahan istilah dari anggota jadi pemilik juga diharapkan merombak perilaku pengurus dan manajemen bahwa sesungguhnya mereka  hanya pelayan bagi anggota atau pemilik perusahaan yang mempunyai kuasa penuh atas perusahaan.

Hal tersebut diharapkan akan menggeser model kepemimpinan di koperasi yang mana pengurus dan manajemen mesti menerapkan konsep kepemimpinan pelayan (servant leadership).


*Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)

spot_img
TERKINI
BACA JUGA