Menjadi Politisi yang Berakar pada Budaya Lokal

Simbol-simbol budaya yang hadir misalnya dalam bentuk nama gedung wakil rakyat sesungguhnya punya energi filosofi bermakna melayani.

Oleh: Antonius Rian*

Politisi, sebuah sebutan istimewa yang sangat dihormati dan disegani oleh rakyat biasa. Untuk menjadi politisi, seseorang mesti memiliki popularitas dan kekuatan rupiah yang memadai. Ya, politisi berarti banyak uang.

Maka tak heran, sering kali rakyat polos menilai, orang beramai-ramai mencalonkan diri untuk meraih kursi kekuasaan dalam kapasitas sebagai politisi, yang pertama karena memburu rupiah secara gampang– walaupun tidak benar mutlak.

Mulai dari gaji tetap, tunjangan, uang transportasi, uang reses dan uang “rahasia” lainnya. Semua sumber uang tersebut, nilainya bukan main.

Namun, politisi yang paham identitasnya, tentu tak semata-mata berorientasi pragmatis. Ia punya idealisme Bonum Commune yang bisa diraih lewat perjuangan yang progresif dan murni.

Faktanya, menjadi politisi, bukanlah perkara mudah, apalagi jika tak ada rupiah. Uang adalah segala-galanya, bahkan menjadi jalan mulus untuk merebut kekuasaan secara mudah walaupun melewati jalur ilegal.

Semua yang ditulis di atas, bukanlah imajinasi belaka melainkan ada dalam geliat politik bangsa ini. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme selalu menghiasi wajah politik kita.

Pilpres yang baru saja pergi pun, masih diragukan prosesnya yang memenangkan Prabowo-Gibran. Kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahmud masih berjuang mencari keadilan. Romo Magnis, seorang pengajar Filsafat dan penulis buku  bahkan mengatakan etika telah dicoreng demi meraih kekuasaan.

Menjadi pertanyaan, apakah kubu 01 dan 03 memperjuangkan keadilan karena mereka benar-benar adil sejak dalam pikiran? Atau perjuangan ini hanya karena kepentingan kekuasaan sesaat?

Memang sangat diragukan jika sesama partai politik saling serang dan mengklaim sebagai pejuang kebenaran. Sebab sejarah bangsa ini tak pernah mencatat ada partai yang suci 100 persen.

Setiap partai punya kader yang pernah bermain kotor, menjadi koruptor dan lain sebagainya. Namun, bukan berarti, fenomena tersebut membuat orang-orang waras dan kritis menjadi putus asa memperjuangkan jalan lurus politik atau mengacu pada Romo Magnis, memperjuangkan etika. Sebab etika adalah bagian dari budaya nusantara.

Sebagai budaya, etika mesti menjadi tiang kanan yang selalu tertancap dalam hati setiap politisi dan menopang semangat perjuangan. Akan menjadi rusak jika para politisi kita tak berakar pada budaya, khususnya budaya lokal yang selalu melekat dalam kehidupan masyarakat di setiap daerah.

Maka, hemat saya, politisi yang tercerabut dari akar budaya lokal akan menjadi manusia buta dan kehilangan arah perjuangannya lantaran ia melupakan nilai-nilai kebijaksanaan yang tertanam dalam budaya lokalnya.

Budaya sebagai Tiang Kanan

Tiang kanan rumah adat dalam kepercayaan lokal massa rakyat adat adalah penopang yang kuat. Pada tiang kanan, doa dirapalkan, leluhur hadir dan merestui harapan-harapan.

Oleh karena itu, dalam tulisan ini, saya menggunakan frasa tiang kanan untuk merangsang refleksi para politisi tentang pentingnya berakar pada budaya lokalnya sendiri. Lantas, apa itu budaya lokal?

Menurut Pudjiastuti (2007), budaya lokal adalah segala macam adat dan tradisi yang menyatukan sekelompok manusia yang menetap pada suatu wilayah, mempunyai kekhasan, seperti suku, bahasa, agama tradisional serta ikatan dengan leluhur. Walaupun di skala lokal, tetapi nilai-nilainya selalu universal. Maka budaya lokal di setiap daerah sekaligus juga menjadi budaya nasional.

Secara yurisdiksi, mulanya kebudayaan bangsa Indonesia tertuang dalam risalah BPUPKI pasal 32, kemudian hasil rapat Panitia Kecil perumus UUD tanggal 13 Juli 1945, pasal 34. Bunyinya: “Pemerintah harus memajukan kebudayaan nasional Indonesia dan bagi itu memajukan kebudayaan dari tiap-tiap daerah, sebagai rukun dari kebudayaan nasional itu” (Baca Yudi Latif, 2020).  Hari ini, kita merujuk pada undang-undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 tahun 2017.

Dari catatan di atas, dapat kita pahami bahwa budaya sangat penting dalam kehidupan masyarakat, maka memajukan kebudayaan adalah mutlak. Memajukan kebudayaan di sini bukan sekadar dalam bentuk event momental, misalnya festival budaya atau sekadar mendata obyek-obyek budaya, melainkan lebih daripada itu ialah soal keberakaran nilai budaya dalam diri setiap individu.

Individu yang dimaksudkan sesuai tulisan ini tentu saja bagi para politisi. Sudah saatnya, refleksi tentang budaya lokal menjadi konten suci yang mesti dilihat kembali dalam diri setiap politisi. Sebab budaya selalu menjadi filter, pengontrol yang membentuk nurani manusia untuk diwujudkan dalam tingkah laku empiris.

Jika budaya menjadi dasar perjuangan politik, maka politik barang atau politik uang bukanlah nilai budaya lokal. Sebab budaya lokal tak mengajarkan manusia untuk sogok-sogokkan demi meraih kekuasaan.

Budaya kita mengajarkan tentang musyawarah-mufakat atau bahasa terbaru yakni demokrasi, dipilih berdasarkan pertimbangan hati nurani. Atau berakar pada budaya lokal bukan berarti melahirkan politisi yang etnosentris, sebab akan membentuk karakter politisi yang egosentris, pemecah-belah dan bermain politik suku.

Hapus Politik Suku

Sebentar lagi, beberapa kabupaten di NTT akan mengadakan pesta Pilkada. Kita mengharapkan politik suku dihapus tanpa jejak.

Sebagai contoh, di Kabupaten Lembata, isu politik suku ini masih sangat kental terlihat berseliweran di media sosial. Orang menjagokan figur bukan karena leadership-nya melainkan latar belakang nenek moyangnya.

Slogan seperti Uyelewun Raya yang masih digaungkan sudah saatnya dihilangkan sebab itu bagian dari etnosentrisme politik yang memecah-belah Lembata hanya karena politik. Etnosentrisme politik ini juga akan membentuk wawasan masyarakat menjadi konservatif tak progresif, melihat politik hanya sekadar perlombaan lima tahunan; yang menang berpesta, yang kalah jadi korban pembangunan.

Berkaca pada fenomena isu politik suku, para politisi tak boleh tinggal diam; edukasi politik rasional mesti masif dilakukan agar cara pandang partikular yang membias di tengah massa rakyat seperti itu bisa dibendung sebelum gong Pilkada dibunyikan. Ini soal proses. Pascaproses, lain lagi.

Para politisi baik wakil rakyat maupun eksekutif misalnya, sudah diingatkan untuk memahami tugas dasar mereka sebagai pelayan – walaupun di lapangan justru mereka yang dilayani. Simbol-simbol budaya yang hadir misalnya dalam bentuk nama gedung wakil rakyat sesungguhnya punya energi filosofi bermakna melayani.

Gedung Peten Ina (Ingat mama) di Lembata atau Bale Gelekat di Flotim tak sekadar sebuah nama melainkan nomen est omen. Politisi yang berakar pada budaya lokal mesti melihat simbol-simbol budaya dalam ranah politik sebagai bagian tak terpisahkan dalam refleksi panjang perjuangan politiknya.

Jika budaya lokal tetap berakar dan menjadi fondasi perjuangan individu politisi, maka praktik kotor yang bertolak belakang dengan ajaran budaya lokal mesti dihindari. Namun, apakah para politisi kita punya idealisme atau sekadar pragmatisme? Salam budaya.


*Ketua Pandu Budaya Lembata, NTT

spot_img
TERKINI
BACA JUGA