Mbay, Ekorantt.com – Enam ekor babi milik Kristina Kue (78) warga Desa Ulupulu 1, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, menguik tak karuan. Mereka bergerak ke sana ke mari di dalam kandang yang terletak di belakang dapur.
Melihat Kristina membawa makanan dalam ember hitam, babi-babi menguik semakin keras dengan kedua kaki depan berpijak pada pembatas bagian atas kandang.
Babi-babi itu melahap habis pakan panas beberapa saat setelah Kristina menuangkannya ke dalam wadah yang ada di setiap sekat kandang.
Pagi itu, Sabtu, 6 April 2024, Kristina memasak pakan babi dicampur dengan biji kacang leke. Sebelumnya, ia mengupas kulit kacang leke dan mengiris isinya.
Irisan-irisan biji leke kemudian dituangkan ke dalam periuk pakan yang bertengger di atas tungku perapian.
“Karena Leke mengandung racun sehingga perlu kita rebus isinya dan biji kulitnya sekaligus,” ujarnya.
Menurut Kristina, biji leke bisa dimasak sendiri hingga air mendidih. Air beserta irisan leke itu dicampur dengan ransum atau hasil olahan pakan, lalu diberikan kepada babi.
Mencampurkan biji leke ke dalam pakan merupakan pengetahuan lokal masyarakat setempat dalam mengantisipasi penyakit ternak, termasuk wabah Demam Babi Afrika (African Swine Fever) yang kini menyerang ternak babi di Kabupaten Nagekeo.
Dari laporan masyarakat dan penelusuran Dinas Peternakan Kabupaten Nagekeo, sekitar ratusan ekor babi sudah terpapar demam babi Afrika di Kecamatan Boawae dan Kecamatan Aesesa.
Saat ini pemerintah meminta peternak babi untuk menerapkan biosecurity yang ketat agar penyakit tidak menginfeksi babi peliharaan.
Kristina mengikuti imbauan pemerintah sembari mengantisipasi penyebaran penyakit dengan vaksin alami: kacang leke.
Kristina sudah memanfaatkan kacang leke sebagai vaksin alami saat wabah demam babi Afrika menyebar pertama kali di Nagekeo beberapa waktu lalu. Hasilnya; mujarab, babi-babi peliharaannya tetap hidup.
“Babi tetangga punya mati, saya punya tidak mati,” kata Kristina.
Kristina menambahkan, kacang leke juga sangat ampuh untuk menyembuhkan orang-orang yang sakit.
“Biji leke ini juga sebagai obat sakit manusia,” kata Kristina.
Dalam keyakinan masyarakat setempat, biji leke memiliki daya magis yang bisa mengusir roh jahat. Jenis leke ini dikenal dengan nama leke nitu. Ia tumbuh secara liar di hutan.
Leke nitu memiliki ciri yang sama dengan biji leke pada umumnya yakni berbentuk bulat pipih dan licin. Namun, ukuran lebih kecil dan berwarna cokelat dan hitam.
Saat proses pengobatan, leke nitu ditumbuk menjadi bubuk, dicampur dengan jahe dan beberapa jenis tumbuhan lainnya, kemudian ditempel pada bagian yang sakit.
“Pengalaman selama ini, rasa sakit akan sembuh,” tuturnya.
Sumber Pangan
Kristina mengatakan leke merupakan salah satu jenis kacang yang menjadi sumber pangan manusia. Ia tumbuh di hutan, berdekatan dengan pepohonan besar.
Leke tergolong tanaman merambat liar di antara rerimbunan dengan kecambahnya yang sedikit lebih kokoh.
Anak kecil di Ndora pada zaman dulu biasa menjadikan kecambah leke sebagai tempat untuk memanjat atau sekadar untuk bermain ayunan di tepi kali.
Leke memiliki polong yang berisi lebih dari tujuh biji. Kulit luarnya sangat keras dan berwarna cokelat kehitaman, licin, dan bentuk bulat pipih. Sedangkan isinya berwarna putih kecokelatan.
Lebih dari 20 tahun lalu, biji leke menjadi salah satu sumber pangan masyarakat Ndora dari hasil hutan. Karena mengandung racun, masyarakat setempat biasa mengolahnya bersama-sama dengan kacang benguk.
“Leke biasanya masak bersama dengan kacang lipe (benguk) dan kacang vesa juga sama-sama beracun,” kata Kristina.
Namun, dalam proses pengolahan menjadi sumber makanan, tekstur leke berubah menjadi elastis. Masyarakat mengukur layak atau tidaknya leke dikonsumsi tergantung dari matang atau tidaknya kacang benguk.
“Biar rebus berkali-kali, leke tidak matang. Dia seperti karet. Kalau lipe pasti masak,” kata Kristina.
Tidak hanya biji leke, masyarakat setempat juga mengonsumsi daun leke muda dicampur dengan kelapa yang biasanya diolah menjadi lawar.
Dalam ritual berburu hewan buas setiap September, misalnya, daun leke muda dipakai sebagai bahan makanan di hutan.
Menurut Kristina, anak-anak muda sekarang sudah tidak mengonsumsi lagi kacang leke. Terakhir kali Kristina mengonsumsi leke pada awal tahun 2000-an.
“Kalau daun leke sekitar tiga tahun terakhir saya masih konsumsi,” ujar dia.
Viktor Nuwa (35), warga Kalilambo, Desa Ulupulu, menambahkan bahwa warga sudah jarang mengonsumsi kacang leke karena pengaruh beras yang sudah menjadi bahan makanan populer.
Ia masih ingat, saat krisis pangan di tahun 1990-an, orang tuanya mencari makanan dari hasil hutan berupa kacang leke, ubi beracun, dan biji-bijian seperti jambu batu.
“Kalau leke saya pernah makan tapi dulu sekali waktu saya masih kecil. Biasanya mama saya masak campur dengan kacang-kacangan. Sekarang sudah tidak makan lagi,” kata Viktor.