Ruteng, Ekorantt.com – Kasus kekerasan terhadap anak hingga saat ini tak kunjung redah. Bunga (bukan nama sebenarnya), anak di bawah umur asal Manggarai Barat disetubuhi oleh orang yang tak kenal pada Senin, 8 April 2024, sekitar pukul 03.00 Wita.
“Pelakunya sedang dalam proses penyelidikan,” kata Paur Humas Polres Manggarai Ipda Made Budiarsa kepada Ekora NTT, Sabtu, 13 April 2024.
Sebelum kejadian, kata Ipda Made, korban pada saat itu sedang berada di jalan raya untuk mencari mobil yang hendak menuju Ruteng.
Sialnya, tiba-tiba datang pelaku dengan menggunakan sepeda motor, membujuk korban pergi ke kosnya yang beralamat di Pagal, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai.
“Setelah korban dibonceng dan dibawa ke kos, pelaku langsung memaksa korban untuk berhubungan badan,” ungkap Ipda Made.
Akibat dari perbuatan tersebut korban mengalami sakit, pusing, dan trauma.
“Atas kejadian ini korban melaporkan ke SPKT Polres Manggarai untuk guna diproses sesuai hukum yang berlaku,” ucapnya.
Perlu Ditangani Serius
Ketua BEK Solidaritas Perempuan Flobamoratas Linda Tagie mengatakan, kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang mencederai nilai-nilai hak asasi manusia, sehingga perlu ditangani secara serius.
Menurutnya, ketika penegak hukum tidak serius menanganinya, berarti berulangnya kejadian yang sama turut mencederai kinerja para penegak hukum.
“Ini merupakan perilaku kekerasan seksual untuk yang ke sekian kalinya, bahkan puluhan kali yang terjadi di Manggarai, mulai dari Manggarai Timur, hingga Manggarai Barat,” tegas Linda.
Sehingga, kata dia, perlu menjadi kritik baik bagi pemerintah daerah maupun polisi di seluruh Manggarai Raya, sebutan untuk Manggarai, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat.
Sebab, jika kasus yang sama terus mengalami peningkatan, artinya penegak hukum tidak melakukan penanganan secara serius.
Linda berharap tidak ada lagi “penyelesaian secara kekeluargaan atau adat seperti kasus-kasus sebelumnya”.
“Pelaku perlu dikenakan pasal berlapis. KUHP untuk pemerkosaan, UUTPKS untuk pemulihan korban, dan UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,” sebutnya.
Ia pun mengajak agar kasus semacam ini perlu belajar lagu dari kasus-kasus sebelumnya bahwa penyelesaian secara adat tidak menjawab rasa keadilan bagi korban, sebaliknya membuka peluang pada kasus-kasus serupa akan mengalami peningkatan.
Linda juga berharap agar korban mendapat penanganan serius, terutama untuk pemulihan.
“Dia harus ditangani dokter dan juga psikolog. Itu merupakan hak restitusi korban berdasarkan UU TPKS,” pintanya.