Oleh: Alexander Aur*
Pada mulanya adalah mencermati beban yang menyandera Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Indikator pilkada yang tidak sehat adalah pilkada dengan beban psiko-kultural dan psiko-ekonomi.
Kedua beban ini kerap menyandera rakyat, calon pemimpin, dan partai politik. Dampak dari sanderaan itu adalah tidak akan tercapai ideal ekonomi-politik pembangunan daerah: peningkatan kualitas hidup rakyat jauh dari imajinasi dan keputusan politik politisi daerah, kepala daerah, dan partai politik di daerah.
Kabupaten Lembata, merupakan salah satu kabupaten dari sekian banyak kabupaten di Indonesia, yang akan memperoleh pemimpin baru pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Lembata belum memulai tahapan pemilukada.
Tetapi di kabupaten pulau itu sudah ramai dengan sukses kepemimpinan daerah. Beberapa minggu terakhir ini, kabupaten yang kerap masuk dalam daftar kabupaten dengan penduduk mengalami kemiskinan ekstrem, seperti sedang “menggelar” keramaian politik.
Keramaian politik itu ditandai dengan berbagai partai politik yang sudah membuka diri terhadap para calon bupati dan wakil bupati yang ingin mengikuti suksesi kepemimpinan lima tahunan itu. Partai politik-partai politik memberikan formulir pendaftaran calon bupati-wakil bupati kepada setiap orang yang berminat.
Keramaian politik semakin semarak dengan kemunculan orang-orang yang merasa diri mampu memimpin Kabupaten Lembata selama lima tahun yang akan datang.
Mereka tampil ke hadapan masyarakat melalui berbagai pertemuan dan e-flayer yang beredar di berbagai lini media sosial. Mereka melemparkan kepada rakyat Lembata, pengalaman dan kemampuan mereka sebagai calon pemimpin.
Kemunculan yang terasa tiba-tiba seperti jamur pada musim hujan: jamur tumbuh sangat banyak tetapi tumbuh hanya sejenak, kemudian layu dan mati. Tetapi jamur sebagai analogi ini masih cukup baik karena pada musim kemarau jamur tetap hidup dan akan tumbuh bila hujan turun.
Tetapi berbeda dengan para calon, tak terdengar suaranya selama ini dan tiba-tiba muncul mencalonkan diri. Tak terdengar sumbang-saran pikiran untuk membangun Lembata. Calon seperti itu sulit untuk dianalogikan dengan apapun.
Meski demikian, kemunculan calon yang tiba-tiba tetap merupakan hal yang baik. Dengan kemunculan mereka, rakyat Lembata dapat mencermati beberapa beban psikologis yang beroperasi dalam dan selama pilkada agar dapat memilih pemimpin dengan sikap waras dan cerdas.
Tanpa mencermati beban psikologis dalam pilkada, rakyat justru akan memilih pemimpin Lembata yang boleh jadi mempunyai kapasitas kepemimpinan yang rendah. Kapasitas pemimpin seperti ini tidak akan mampu membawa keluar Lembata dari daftar kabupaten dengan penduduknya yang mengalami kemiskinan ekstrem.
Dua Beban
Sekurang-kurangnya ada dua beban psikologis pada Pilkada Lembata 2024. Kedua beban ini perlu dicermati supaya tetap cerdas dalam memilih pemimpin.
Jika tidak cerdas dalam memilih pemimpin maka politik yang berlangsung adalah politik yang tidak berkeutamaan. Politik seperti ini tidak akan memenuhi harapan rakyat yang ingin hidup sejahtera, sehat jiwa-raga, dan berpendidikan.
Pertama, beban psiko-kultural. corak politik di Lembata, terutama politik pemilihan bupati-wakil bupati, adalah sentimen daerah asal. Bukan saja dalam konteks memilih bupati-wakil bupati, dalam pemilihan anggota DPRD pun bersentimen daerah asal.
Perihal sentimen daerah ini merupakan beban psiko-kultural, yang mengendap di alam bawah sadar para calon dan politisi. Juga mengendap di alam bawah sadar rakyat.
Beban psiko-kultural terungkap melalui “rasa aman dan nyaman dengan orang/rakyat dari daerah yang sama.” Beban ini kerap kali beroperasi dalam diri manusia tanpa disadarinya.
Dalam konteks politik pemilihan umum, rasa aman dan nyaman muncul dalam bentuk kehendak calon untuk mencalonkan diri dengan membidik daerah pemilihan daerah asal. Ini telah menjadi sindrom politik, baik di level nasional maupun di level daerah.
Memilih calon pemimpin karena kesamaan dearah asal hanya akan berujung pada memilih pemimpin berdasarkan prinsip suka atau senang. Prinsip suka atau senang ini menggerakkan rakyat untuk memilih pemimpin publik meskipun calon tersebut tidak punya kapasitas kepemimpinan yang kuat.
Pendasaran rakyat memilih calon pemimpin karena kesamaan daerah asal akan berpengaruh terhadap daya kritis rakyat. Alam bawah sadarnya akan bekerja mengendurkan daya kritis rakyat karena pemimpin publik dari daerah yang sama.
Oleh sebab itu, tak perlu dikritik. Rakyat yang tak mengkritik pemimpin adalah rakyat menjauhkan harapannya dari kenyataan: tidak akan terwujud kesejahteraan yang memadai, kesehatan yang prima, dan pendidikan yang berkelanjutan.
Pemimpin yang terpilih pun tak bebas dari beban psiko-kultural tersebut. Justru beban ini bekerja lebih awal dalam diri pemimpin sejak ia mencalonkan diri tanpa disadarinya. Alam bawah sadarnya tampak jelas manakala ia mengandalkan rakyat dari daerah asalnya sebagai basis pemilih. Jadi, beban psiko-kultural ini merupakan aspek psikologi politik yang tak terhindarkan.
Pertanyaan selanjutnya untuk rakyat Lembata adalah apakah memilih pemimpin publik karena kesamaan daerah asal atau memilih berdasarkan pertimbangan akan kapasitasnya sebagai pemimpin?
Kedua, beban psiko-ekonomi. Beban ini paling sering terjadi pada saat pemilihan umum, baik pemilihan umum memilih pemimpin nasional dan wakil rakyat di DPR Pusat maupun pilkada.
Rakyat memilih karena calon pemimpin menggelontorkan uang. Rakyat dengan ekonomi yang pas-pasan, secara psikologis akan lebih memilih calon pemimpin yang menggelontorkan uang dalam berbagai bentuk konkret, entah bantuan sembako, bantuan sarana ibadah, pengobatan gratis, dan sebagainya.
Bentuk-bentuk konkret penggelontoran uang tersebut menyandera kebebasan rakyat dalam memilih. Selain itu, bentuk-bentuk itu juga merupakan upaya dari para calon pemimpin dan politisi menjerumuskan rakyat ke dalam langgam politik tanpa pikiran cerdas.
Apakah beban psiko-ekonomi diidap pula oleh partai politik-partai politik di Lembata?
Rakyat dapat menggunakan akal sehatnya untuk menangkap gejala psiko-ekonomi ini diidap oleh partai politik-partai politik manakala membuka diri terhadap para calon pemimpin.
Bagaimana menangkap gejala itu? Satu jawaban sederhana ini, dapat membantu rakyat untuk menangkap gejala tersebut: Partai politik yang sehat adalah partai yang memberikan informasi secara terbuka kepada rakyat mengenai biaya politik yang digunakan selama masa pilkada.
Biaya yang digunakan sejak masa penjaringan calon, masa kampanye, masa pemilihan, sampai pada masa penetapan hasil pilkada oleh KPUD. Sebaliknya, partai yang tidak mengumumkan biaya politiknya adalah partai yang tidak sehat.
Dampak buruk dari beban psiko-ekonomi pada partai politik adalah pada saat pemimpin terpilih memimpin, terbuka peluang besar bagi bupati-wakil bupati untuk melakukan siasat kuasa mengalokasikan anggaran dengan cara bagi-bagi proyek atau negosiasi anggaran. Partai politik tidak akan menjalankan fungsi pengawasan anggaran secara kritis karena sudah tersandera oleh pemimpin jauh sebelum ia terpilih atau pada saat pilkada berlangsung.
Anggaran yang seharusnya diarahkan untuk pembangunan fasilitas publik yang berkualitas, justru dibelokkan kepada partai politik atau kader partai politik di DPRD. Dengan demikian, politik anggaran di DPRD dan Pemerintah Daerah akan membelokkan arah alokasi anggaran dari pembangunan untuk rakyat ke kantong-kantong partai politik dan politisi.
Beban psiko-ekonomi ini juga mendera pemimpin. Biaya politik besar untuk proses pilkada yang telah dikeluarkannya, menggerakkan pemimpin untuk melakukan siasat kompensasi pengembalian selama masa kepemimpinan.
Kepemimpinan daerah Kabupaten Lembata oleh bupati yang lampau yang kerap kali menimbulkan gelombang protes. Berbagai pihak melakukan protes terhadap tata kelola anggaran yang tidak akuntabel dan transparan. Ini menunjukkan bahwa beban psiko-ekonomi bukan hal baru.
Dua beban fundamental tersebut bukan hal baru. Tetapi dapat menyebabkan Pilkada Lembata 2024 menjadi tidak sehat. Pemimpin yang terpilih pun tidak bebas membangun Lembata dan menyejahterakan rakyat. Oleh sebab itu harus diantisipasi melalui cara menakar kapasitas calon pemimpin yang akan memimpin Lembata lima tahun ke depan. Mari menakar kapasitas calon pemimpin.
* Alexander Aur, Dosen Filsafat Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten