Oleh: Marsianus Rajapati Moses
Proyek Geotermal Poco Leok menuai banyak kritik serentak penolakan dari berbagai pihak. Pihak yang menolak adalah masyarakat di mana lokasi proyek itu akan berjalan nanti.
Sebagaimana ramai diberitakan, dasar penolakan itu yang pertama, merusak lingkungan hidup serentak merampas ruang hidup masyarakat setempat, yang kedua, menggusur sumber penghidupan masyarakat, dan yang ketiga, akan berdampak buruk pada ekonomi dan kesehatan masyarakat selanjutnya.
Dalam tulisan ini, penulis hendak membaca persoalan proyek geotermal dalam terang Ensiklik Laudato Si yang dikeluarkan Paus Fransiskus pada tahun 2015.
Ensiklik Laudato Si dipakai karena secara khusus menyoroti tentang iklim, eksploitasi sumber daya alam, dan tuntutan spiritualitas yang benar dalam konteks relasi manusia, alam, dan pencipta.
Duduk Perkara
Polemik Geotermal Poco Leok bermula ketika Bupati Manggarai Heribertus Nabit menerbitkan surat keputusan bupati nomor HK/417/2022 tentang penetapan WKP, dalam rangka perluasan PLTP Ulumbu. Dalam surat tersebut, PLTP Ulumbu akan diperluas dengan membuka lahan pengeboran di Poco Leok, Kecamatan Satar Mese.
Wilayah Poco Leok mencakup tiga desa yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas. Lokasi proyek tersebut masuk dalam wilayah ulayat 14 masyarakat adat dari 14 kampung adat di sana.
Pemkab Manggarai mengklaim, dibukanya geotermal di Poco Leok bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi, menaikkan pasokan energi dari 7,5 MV menjadi 40 MV. Klaim itu seakan dipaksakan untuk diterima masyarakat.
Ada masyarakat yang menerima, sebagian besar menolak. Bahkan telah belasan kali dilakukan aksi penolakan oleh warga setempat bersama para aktivis.
Penolakan bukan tanpa alasan. Masyarakat takut ruang hidup mereka akan rusak, seperti yang dialami oleh masyarakat di Mataloko dan beberapa tempat lain. Alam rusak, masyarakat setempat tidak memiliki akses lapangan kerja di sana, dan tempat-tempat mistis dirusakkan.
Laudato Si
Pada tahun 2015, ketika pemanasan global mulai terasa akibat aktivitas industri yang masif dalam dua ratusan tahun belakangan, eksploitasi alam besar-besaran tanpa upaya pemulihan, serta persoalan-persoalan kompleks lainnya terjadi, Paus Fransiskus mengeluarkan seruan bagi umat manusia lewat Ensiklik Laudato Si. Seruan untuk menghormati bumi, serentak mengajak untuk merenung, dan sama-sama berjuang bersama menyelamatkan bumi yang kian parah.
Ensiklik ini kurang lebih memuat respons terhadap tangisan bumi, respons terhadap tangisan masyarakat miskin, ekonomi ekologis, penerapan gaya hidup berkelanjutan, pendidikan ekologi, spiritualitas ekologis, dan ketahanan dan pemberdayaan masyarakat.
Melalui Laudato Si, Paus Fransiskus mengajak seluruh anggota Gereja -bahkan semua manusia, karena sasaran ensiklik ini bukan hanya bagi umat Katolik saja- untuk memosisikan bumi sebagai subjek yang setara.
Segala aktivitas untuk penghidupan manusia hendaknya menempatkan bumi sebagai bagian diri yang tak terpisahkan. Sebab, “segala sesuatu terhubung” (art. 91), baik manusia, alam, maupun realitas tertinggi (LS 66).
Keterputusan hubungan itu, yang tampak dalam tindakan-tindakan eksploitasi masif tanpa nurani, menjadikan bumi kian panas, iklim kian tak menentu, bahkan ancaman bencana alam yang kian ngeri: banjir, longsor, kekeringan berkepanjangan.
Koreksi cara hidup dan cara berpikir sangat penting di sini. Paus Fransiskus mengajak umat manusia untuk mengembangkan “kesadaran penuh kasih” terhadap bumi rumah yang kita tinggali bersama dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang kita junjung tinggi (LS 220).
Kesadaran penuh kasih itulah jalan menuju pertobatan ekologis, sebuah bentuk tanggung jawab moral dan etis pada bumi yang telah dengan sengaja dirusakkan.
Diskusi
Pertanyaan kunci yang hendak dijawab di sini adalah: bagaimana persoalan Geotermal Poco Leok dibedah dalam terang Ensiklik Laudato Si? Dalam konteks ini, saya ingin menempatkan proyek geotermal dan Laudato Si dalam posisi yang seimbang dengan titik tumpu analisis pada persoalan ekonomi dan alam, serta transisi energi menuju energi terbarukan.
Proyek geotermal masuk dalam daftar proyek strategis nasional dengan cita-cita untuk menciptakan sumber energi terbarukan bagi kebutuhan listrik. Memang jika dilihat dari perspektif tersebut, proyek geotermal layak dan sepantasnya mendapatkan ruang di mana negara berhak menguasai tanah, air, dan udara seturut amanat Undang-undang.
Di sisi lain, pertimbangan keuntungan bagi perusahaan dan menyediakan akses kerja bagi masyarakat setempat juga menjadi bagian dari poin tawaran.
Akan tetapi, mengikuti rujukan diskusi kita yakni Laudato Si, dapat menilai bahwa cita-cita mencapai keterpenuhan energi terbarukan mengorbankan ruang hidup masyarakat serta kehidupan yang telah berlangsung turun temurun di sana.
Laudato Si memang merekomendasikan gaya hidup berkelanjutan, dalam hal ini penggunaan energi terbarukan. Akan tetapi ia memberi ruang bagi manipulasi ekonomi, kesengsaraan masyarakat kecil, dan kerusakan alam di balik jargon ramah lingkungan.
Dalam konteks Poco Leok, seharusnya Laudato Si menjadi rujukan berpikir dan bersikap berhadapan dengan geotermal yang menyimpan kebusukan di balik narasi energi terbarukan itu.
Narasi energi terbarukan tidak boleh membungkus kebusukan di dalamnya: pemerintah bersama perusahaan mencari untung yang sebesar-besarnya, ruang hidup rakyat setempat dirampas.
Secara moralitas ekologis, sebagaimana antara bumi dan manusia punya derajat yang sama, penerapan sistem ekonomi yang bermartabat ekologis, mempertimbangkan posisi masyarakat setempat, dan mempertimbangkan risiko seminim mungkin penting untuk dilakukan.
Kesadaran akan moralitas ekologis itu berpuncak pada bertindak dan berpikir sebagai orang yang bertobat secara ekologis. Sebab, seruan Paus Fransiskus adalah seruan menuju pertobatan ekologis itu.
*Mahasiswa Semester II Program Studi Filsafat IFTK Ledalero