Ruteng, Ekorantt.com – Padur Dominikus (62) ketiban musibah sejak Desember 2023. Tujuh ekor babi peliharaannya seharga Rp7 juta per ekor mati beruntun, berturut-turut setiap bulannya hingga Februari 2024.
Segala usaha pengobatan seakan sia-sia. Vitamin yang biasa ia beri ketika ternak babi kehilangan nafsu makan tidak mempan sama sekali.
“Saya cari obat sana-sini, tetap juga tidak selamat,” kata Dominikus kepada Ekora NTT pada 20 Mei 2024.
“Kerugian saya mencapai lima puluh juta (rupiah).”
Ternak babi Domi diduga terkena virus ASF (African Swine Fever) atau demam babi Afrika. Penyakit yang sama juga menyerang ternak beberapa warga sekitar tempat tinggalnya di Bilas, Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.
Yosefina Wawang (58), tetangga Domi, bercerita bahwa dua ekor ternak babi peliharaannya mati pada bulan Februari 2024 lalu. Ia sangat kecewa dan bingung waktu itu. Sebab uang sekolah anak-anaknya di bangku kuliah bergantung pada ternak babi peliharaannya.
“Kami sementara trauma. Ini ke depan steril kandang dulu baru kami mulai lagi,” kata Yosefina.
Pemerintah ‘Pura-pura Tidak Tahu’
Dominikus sangat kesal dengan sikap Pemerintah Kabupaten Manggarai yang “tidak pernah datang” untuk melihat langsung kondisi ternak masyarakat yang terkena virus ASF.
“Istilah saya, mendengar tapi pura-pura tidak mendengar, tahu tapi pura-pura tidak tahu,” kata Dominikus.
Menurutnya, kejadian serupa tidak hanya terjadi di wilayahnya, tetapi menyebar hampir di setiap wilayah di Kabupaten Manggarai.
Dominikus meminta Pemkab Manggarai untuk segera turun tangan mendata dan mencari kepastian soal penyakitnya. Juga harus melakukan edukasi tentang langkah-langkah pencegahan yang penting untuk dilakukan masyarakat.
“Kasihan masyarakat yang menggantungkan pemenuhan ekonominya pada ternak babi. Kasihan,” ujar Dominikus.
Dampak
“Kematian ternak dalam jumlah ratusan, bahkan ribuan ini sedikit banyak menurunkan derajat kesejahteraan masyarakat,” kata praktisi peternakan di Kabupaten Manggarai, Emanuel Porat kepada Ekora NTT pada Senin, 20 Mei 2024.
“Sebagai praktisi saya sangat memahami situasi sosial terkait ASF ini baik dari sisi petani, pedagang, dan pemerintah. Adanya Surat Edaran Gubernur tentang ASF di satu sisi membatasi pergerakan pasar ternak babi dan olahannya.”
Emanuel mengatakan peternak sangat dirugikan karena ternak babi dan produk olahannya tidak bisa dilalulintaskan ke luar kabupaten.
Selain itu, harga babi akan turun, karena menumpuknya stok babi potong dan stok anak babi. Hukum pasar tentang suplay dan demand akan memaksa harga babi turun.
“Demikian juga halnya dengan yang dialami pedagang, mereka tidak bisa melalulintaskan ternak babi mereka. Di sisi lain instansi teknis seperti dinas peternakan mesti berupaya keras agar penyebaran penyakit pada ternak babi bisa diredam,” tegasnya.
Tanpa Upaya Konkret
Emanuel berkata, Pemkab Manggarai sangat aneh dan janggal dalam menangani kasus dugaan serangan virus ASF. Dinas terkait terkesan diam begitu saja tanpa melakukan tindakan konkret seperti melakukan kuratif.
“Padahal berdasarkan informasi yang saya peroleh pada April 2023 dalam sebuah kegiatan zoom meeting bersama Dinas Peternakan Provinsi NTT, di mana saya juga adalah salah satu narasumbernya disebutkan bahwa di dinas tersebut tersedia 36.000 dosis serum plasma convalescent ASF yang dapat dipakai sebagai upaya kuratif mengatasi penyebaran penyakit ASF,” tuturnya.
Saat itu, kata dia, Dinas Peternakan NTT mengaku tidak memiliki anggaran untuk mendistribusikan ke setiap kabupaten.
“Saya pernah mengusulkan pada beberapa teman peternak untuk membentuk satu konsorsium sebagai upaya menalangi biaya angkut plasma tersebut.”
Dengan itu, ia meminta pemerintah segera menginformasikan data akurat agar Dinas Peternakan Provinsi NTT mengeluarkan rekomendasi pemasukan plasma convalescent ASF yang dimaksud.
Jika dalam satu kelurahan terdapat sekitar 40 orang peternak babi dan memiliki populasi ternak sebanyak 5 ekor induk atau pejantan dengan harga Rp5.000.000 maka sudah dipastikan kehilangan aset sebesar Rp750.000.000, belum termasuk dengan genjik dan babi sedang.
“Pikirkan saja kehilangan aset ini dialami oleh setiap kecamatan. Jika ada 100 desa yang mengalami kejadian ini maka akan ada pengurangan aset berupa ternak sebesar Rp75 miliar,” sebutnya.
Belum Ada Obat dan Vaksin
Sejauh ini, Pemkab Manggarai belum memiliki obat dan vaksin terhadap ASF, kata Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Manggarai Yustina Hamung.
Yustina mengklaim, hal yang dilakukan pihaknya selama ini adalah komunikasi, edukasi, dan informasi.
“Kita libatkan pemerintah desa hingga kecamatan termasuk Dinas Perhubungan tentang mobilitas ternak,” jelasnya ketika ditemui Ekora NTT di ruang kerjanya pada Selasa, 21 Mei 2024.
Berdasarkan data per Januari-Februari 2024, total ternak babi yang mati akibat ASF sebanyak 151 ekor. Rinciannya adalah Kecamatan Langke Rembong berjumlah 95 kasus, Wae Ri’i ada 6 kasus, Satar Mese 27 kasus, Cibal Barat 11 kasus, Cibal 7 kasus, Reo 3 kasus, kecamatan Satarmese Barat 4 kasus, Satarmese Utara 9 kasus, dan Ruteng sebanyak 9 kasus.
Dikatakannya, penyebaran ASF aangat cepat, maka perlu dilakukan pencegahan.
“Sebenarnya kita tidak boleh kasih bekas-bekas limbahnya yang misalnya kita sudah cuci dagingnya habis itu dicampur dengan pakan,” ujarnya.
Dalam melakukan sosialisasi, pihaknya selalu meminta peternak untuk membatasi orang keluar masuk ke kandang, memberikan pakan yang baik, dan rutin membersihkan kandang.
“Babi yang sehat juga disarankan dipisahkan dari babi yang sakit dan sudah terindikasi ASF,” tandasnya.