Sidang Tanpa Termohon Warga Poco Leok, Pengadilan Negeri Ruteng Dinilai Tidak Profesional

Tim kuasa hukum dari lima warga ini pun menyayangkan sikap Pengadilan Negeri Ruteng dan hakim persidangan yang dinilai tidak profesional.

Ruteng, Ekorantt.com – Pengadilan Negeri Ruteng menjalani persidangan penitipan ganti kerugian atau konsinyasi yang dimohon oleh PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Nusra pada 17 Mei 2024.

Namun, lima termohon yang merupakan warga adat Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, tidak dapat hadir di persidangan.

Kelima warga sebagai termohon yakni Ignasius Nasat, Nikolaus Panas, Yoseph Kapas, Mikael Gamal, dan Karolus Maja.

Mereka tidak ikut persidangan karena relaas atau surat panggilan persidangan pertama baru diserahkan oleh juru sita Pengadilan Negeri Ruteng pada Jumat, pukul 12.00 Wita.

Padahal, persidangan berlangsung pada pukul 09.00 Wita. Dengan jarak tempat tinggalnya yang terlampau jauh, para termohon tidak dapat hadir di persidangan.

Tim kuasa hukum dari lima warga ini pun menyayangkan sikap Pengadilan Negeri Ruteng dan hakim persidangan yang dinilai tidak profesional.

Mereka kemudian melayangkan surat pengaduan ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia dan Komisi Yudisial pada pada Kamis, 30 Mei 2024.

Gregorius B Djako mewakili kuasa hukum masyarakat adat Poco Leok kepada Ekora NTT pada Jumat, 31 Mei 2024, mengatakan bahwa “penetapan Pengadilan Negeri Ruteng dilakukan tanpa kehadiran para termohon.”

Terkait hal itu, Djako menduga adanya unsur kesengajaan, mengingat relaas panggilan sudah ditandatangani oleh juru sita pengganti Pengadilan Negeri Ruteng Luther Viktor Manawe, pada 13 Mei 2024.

Tim kuasa hukum dari lima orang masyarakat adat Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, sedang menyerahkan surat pengaduan ke Komisi Yudisial pada Kamis, 30 Mei 2024 (Foto: HO)

Akan tetapi, relaas itu baru didistribusi kepada para termohon pada 17 Mei 2024 sesuai dengan jadwal persidangan.

“Perilaku hakim bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” sebutnya.

Aturan menyebutkan, hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di tengah masyarakat. Seorang hakim harus memiliki integritas dan berkepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum, serta wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Djako menyayangkan sikap Ketua Pengadilan Negeri Ruteng karena memutuskan permohonan konsinyasi tanpa kehadiran para termohon, sehingga tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat adat Poco Leok.

Hal serupa disampaikan Ermelina Singeret, anggota Koalisi Advokasi Poco Leok.

Ia menilai bahwa tindakan hakim bertentangan dengan keputusan bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Seharusnya, seorang hakim minimal wajib bersikap mandiri, berperilaku adil dan profesional. Hakim mesti membuka ruang sebesar-besarnya agar masyarakat pencari keadilan mendapatkan keadilan hakiki dalam setiap keputusannya.

“Sikap hakim Pengadilan Negeri Ruteng, jauh dari perilaku yang harus digunakan oleh seorang hakim yang juga menjadi wakil Tuhan di bumi,” katanya penuh kesal.

Ermelina mendesak Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk memberikan peringatan dan teguran serta sanksi kepada Ketua Pengadilan Negeri Ruteng.

“Sikap dan tindakannya yang tidak mempertimbangkan kehadiran para termohon dalam persidangan,” ujarnya.

Menurutnya, dampak putusan pengadilan menghilangkan hak-hak konstitusi termohon juga Masyarakat Adat Poco Leok lainnya yang sedang mempertahankan hak-haknya atas tanah ulayat mereka.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA