Ruteng, Ekorantt.com – Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika mengingatkan perusahaan media agar perlu mengadopsi nilai-nilai lingkungan, sosial dan tata kelola (Environmental, Social and Governance, ESG) dalam manajemen.
Diskursus mengenai ESG juga kerap dihubungkan dengan pentingnya penerapan kesetaraan gender, keberagaman dan inklusivitas (Gender Equality, Diversity and Inclusion) atau GEDI di dalam perusahaan.
“Perusahaan media digital tidak boleh hanya berpikir tentang bagaimana mengelola audiensnya, bagaimana memperoleh manfaat dari produk yang diterbitkan, tapi juga mengedepankan prinsip pengelolaan yang baik dan beretika serta mematuhi prinsip-prinsip ESG. Bagaimana cara kita mencapai itu? Karena itulah AMSI menyusun Modul dan SOP Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO),” tegas Wahyu dalam sambutannya pada kegiatan Diseminasi Modul Kebijakan Berbasis Gender Online (KBGO) untuk Perusahaan Media yang dilaksanakan secara hybrid, Selasa, 23 Juli 2024.
Modul juga menjabarkan alur penanganan kasus, mulai dari pengaduan, investigasi internal, sampai akhirnya jatuh pada putusan akhir. Modul juga menekankan pada pendampingan psikologis yang perlu dilakukan perusahaan media bagi korban.
Sebagai tindak lanjut dari diseminasi hasil riset, modul dan SOP ini, AMSI membuka kesempatan bagi perusahaan media terpilih untuk mendapatkan pendampingan dalam menyusun SOP Pencegahan dan Penanganan KBGO sesuai kapasitas media tersebut. Kesempatan ini hanya terbuka bagi media anggota AMSI.
Modul dan standar operasional prosedur (SOP) ini disusun setelah menganalisa hasil riset yang dilakukan AMSI dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA).
Penulis modul sekaligus konsultan GEDI, Nita Roshita mengatakan, Modul dan SOP Pencegahan dan Penanganan KBGO untuk Perusahaan Media yang dikeluarkan AMSI ini dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan dan kapasitas perusahaan media.
“Kami menyadari bahwa kapasitas perusahaan media itu tidak sama, sehingga SOP ini bisa diadaptasi. Yang terpenting dalam SOP ini adalah prinsip berpihak pada korban,” jelas Nita dalam kegiatan yang diikuti oleh lebih dari 100 peserta dari berbagai kalangan mulai dari pemimpin media, jurnalis, pekerja media, CSO/NGO, dan publik itu.
“Kehadiran SOP ini sesuai dengan visi AMSI, yaitu menciptakan ekosistem media yang sehat dan berkualitas. Yang kita pertahankan adalah kepercayaan dari publik. Dan media harus menjaga itu,“ tegas dia.
PR Perusahaan Media
Peneliti PR2Media Engelbertus Wendratama menegaskan, ada sejumlah pekerjaan rumah bagi perusahaan media. Itu di antaranya soal masih banyaknya persoalan stereotip terhadap perempuan, pembedaan gender untuk pekerjaan tertentu, serta masih adanya ujaran kebencian dengan target perempuan. Hal itu diketahui dari hasil riset PR2Media pada Februari-Maret 2024.
Riset berjudul “Menilik Kebijakan dan Pengalaman Kesetaraan Gender serta Kekerasan Berbasis Gender di Perusahaan Media” itu didapatkan dengan cara survei atas 277 responden dari 27 wilayah.
Responden terdiri dari jurnalis dan pekerja media untuk mengetahui apa saja kebijakan yang dibuat oleh media terkait KBGO dan perlindungan berbasis gender pada umumnya. Survei itu lantas ditindaklanjuti dengan dua kali diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion) untuk mempertajam dan memperkaya hasil riset.
Terkait kebijakan berbasis gender, skor yang diperoleh adalah 9 dari nilai maksimal 18. “Banyak media yang belum punya SOP untuk mengatasi kekerasan berbasis gender serta belum punya aturan proporsi gender dalam aktivitas kerja,” kata Engelbertus.
Salah satu yang jadi sorotan PR2Media adalah persentase kekerasan seksual secara luring dan daring di tempat kerja memiliki nilai yang sama yaitu 5,8 persen.
“Ini sesuai dengan apa yang dikatakan UNESCO, bahwa kekerasan gender luring dan daring itu berjalan bersamaan, dan tidak bisa dipisahkan,” tegasnya.
Engelbertus membeberkan, dari hasil riset dan FGD oleh PR2Media yang melibatkan 277 responden dari perwakilan media anggota AMSI, ada temuan bahwa peraturan tertulis untuk menangani kekerasan seksual dan KBGO di perusahaan media itu ‘sangat minim atau belum ada sama sekali’.
“Meski tidak ada aturan tertulis, lingkungan kerja perusahaan bisa menciptakan ekosistem yang menjunjung kesetaraan gender. Namun ini sangat tergantung pada kebijakan pimpinan. Kalau pimpinannya bagus, maka tidak apa-apa. Tapi bagaimana jika tidak?” tanya dia.
Senada, Nita mengatakan, isu kekerasan seksual dan KGBO sangat penting bagi perusahaan pers. Itulah mengapa Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perusahaan Pers pada 29 April 2024.
Sedangkan AMSI mengeluarkan Modul dan SOP Pencegahan dan Penanganan KBGO untuk Perusahaan Media, yang landasan hukumnya adalah Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Ia menegaskan, kasus kekerasan seksual maupun KBGO bisa terjadi pada perempuan, laki-laki atau gender apa pun. “Jika laki-laki jadi korban, biasanya mereka jadi korban dua kali. Karena tidak ada yang percaya, mereka akan ditertawakan atau dianggap lemah dan sebagainya.”
Menurut Nita, jika terjadi kasus kekerasan seksual atau KBGO di perusahaan media, maka ini akan berdampak pada reputasi bisnis. Ini juga bisa menimbulkan turn over karyawan yang tinggi, karena tidak ada yang mau menjadi korban kekerasan seksual atau KBGO selanjutnya.
Dikatakan, angka ketidakhadiran karyawan di perusahaan yang ada kasus kekerasan seksual maupun KBGO juga tinggi.
Ada riset di Journal of Community Health yang menunjukkan kalau korban punya risiko 1.7 kali lipat untuk tidak masuk kerja selama dua pekan dalam setahun akibat kasus kekerasan. Akibatnya, karyawan berkurang dan ujungnya investor akan menilai kesehatan manajemen perusahaan yang buruk.
Laporan perusahaan konsultan manajemen McKinsey (2020) yang berjudul Diversity Wins: How Inclusion Matters juga menyebut, ruang kerja yang inklusif dan aman dapat meningkatkan profit dan perusahaan menjadi berkelanjutan.
Praktik Pencegahan KBGO Mulai Diterapkan
Sejauh ini memang belum banyak perusahaan media di Indonesia yang menerapkan SOP KBGO. Namun IDN Times adalah salah satu perusahaan media anggota AMSI yang sudah memiliki SOP terkait kekerasan seksual dan KBGO di tempat kerja.
“Isu kekerasan seksual menjadi perhatian bagi media-media yang ada di bawah IDN Times. Dan keresahan ini meningkat di masa pandemi, ketika orang terperangkap di rumah, punya partner yang abusive, serta ada peningkatan kasus KDRT dan kekerasan seksual. Seraya meliput dan kala itu ikut mendorong dikeluarkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, maka kita mulai hal yang sama di perusahaan,” kata Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis.
IDN Times mengeluarkan SOP Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja pada 1 Februari 2022. Aturan tersebut lantas diperbarui dengan SOP pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kerja dan KBGO, pada 1 Maret 2024.
IDN Times bahkan mempekerjakan seorang psikolog sebagai konselor kesehatan mental untuk menangani kasus kesehatan mental di perusahaan media tersebut.
“Salah satu yang menonjol dari sebuah perusahaan media yang menargetkan kelompok milenial dan Gen Z adalah kesadaran yang tinggi soal kekerasan seksual, kesetaraan gender, serta KBGO. Dan concern kesetaraan itu juga diturunkan dalam Tujuh Pilar Konten yang berlaku di IDN Times,” tambah Uni.
Tujuh Pilar Konten dari IDN Times berisi panduan soal bagaimana sebuah konten diproduksi. Ketujuh pilar tersebut adalah kesetaraan gender, anti pelecehan seksual, anti perundungan, persatuan dalam perbedaan ras dan etnis, persatuan dalam perbedaan kepercayaan, anti stereotipe, serta mendefinisikan kembali arti kata ‘cantik’ (redefining beauty).
“Ini semacam kode etik jurnalistik, yang kalau pakai bahasa (generasi) boomer itu isinya melarang ini melarang itu. Tujuh Pilar Konten IDN Times adalah inti dari kode etik jurnalistik yang berlaku di IDN Times,” kata Uni Lubis.
Perusahaan Pers Punya Banyak Kelebihan
Wahyu menyatakan, perusahaan pers punya banyak kelebihan dibandingkan kreator konten atau content creator.
Ia beralasan, perusahaan pers menerapkan disiplin kerja jurnalistik, melakukan proses verifikasi dan konfirmasi, serta taat pada kode etik.
“Ini seharusnya membuat perusahaan media menjadi referensi fakta di tengah banjir informasi digital,” kata Wahyu.
Meski memang di sisi yang lain menurut dia, disrupsi digital yang dialami oleh perusahaan media ikut berdampak pada rendahnya kepercayaan publik terhadap pers. Perkembangan digital dan teknologi memunculkan kehadiran content creator dan banjirnya informasi, yang sedikit banyak membuat media seolah terpinggirkan.
“Salah satu isu yang paling mengemuka adalah trust serta bagaimana mengembalikan kepercayaan publik kepada media,” kata Wahyu. Pernyataan ini selaras dengan laporan Reuters Institute Digital News Report 2024 yang memperlihatkan tren global penurunan kepercayaan publik terhadap media pemberitaan sampai 40 persen.
Ia menjelaskan, sejak berdiri pada 2017, AMSI memiliki visi utama yakni membangun media yang bisnisnya sehat dan kontennya berkualitas.
Visi itu diwujudkan dengan melaksanakan dua misi yakni memperkuat sistem produksi dan distribusi jurnalisme berkualitas di platform digital dan mendukung upaya membangun ekosistem bisnis yang sehat demi keberlanjutan (sustainability) media di Indonesia.
“Karena itu juga perusahaan media perlu menegaskan posisinya sebagai benchmark soal bagaimana seharusnya perusahaan dikelola,” kata Wahyu.