Harus Bijak Gunakan Sumber Daya Laut NTT

Penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan juga memerlukan dukungan dari berbagai kementerian/lembaga terkait, termasuk pemerintah daerah.

Maumere, Ekorantt.com – Direktur Penanganan Pelanggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan, Teuku Elvitrasyah mengatakan, Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi kepulauan yang terletak di sebelah selatan wilayah Indonesia memiliki luas wilayah laut 200.000 KM2 (di luar ZEEI). NTT memiliki sumber daya kelautan dan perikanan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat.

Dengan melihat pada kontribusi sumber daya pesisir dan laut di NTT cukup besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi daerah, maka upaya untuk mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya tersebut perlu digali dan diupayakan sebesar-besarnya dengan tetap mempertahankan daya dukung lingkungan pesisir dan laut bagi kepentingan masyarakat serta menambah devisa bagi daerah.

“Hal ini tentu anugerah besar dari Tuhan Yang Maha Esa, dan saya mengajak kita semua untuk bersama-sama memanfaatkan potensi yang ada untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat NTT, ”  kata Elvitrasyah saat membuka rapat forum koordinasi penanganan tindak pidana di Hall Hotel Go Maumere, Senin, 5 Agustus 2024.

“Namun, perlu diingat bersama, bahwa pemanfaatan semuanya itu, perlu dilakukan dengan cara-cara yang bijak, dilakukan dengan cara-cara yang benar, dan tidak dengan cara-cara yang merusak lingkungan beserta sumber daya yang ada di dalamnya.”

Cara-cara pemanfaatan yang baik tersebut, harus menjadi bagian penting mengelola sumber daya. Kemudian harus tetap mempertimbangkan aspek keberlanjutan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat, utamanya nelayan.

“Untuk itu, aspek pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menjadi bagian yang sangat penting, untuk menjaga agar sumber daya yang ada terus dapat dinikmati oleh anak cucu kita,” ujarnya.

Elvitrasyah mengatakan, Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009, menyebutkan perwira penyidik TNI-AL, penyidik kepolisian, dan penyidik Pegawai Negeri Sipil kelautan dan perikanan merupakan aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk mengawal penanganan tindak pidana bidang kelautan dan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.

Selain itu, penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan juga memerlukan dukungan dari berbagai kementerian/lembaga terkait, termasuk pemerintah daerah

“Kami menyadari, dinamika hukum terus berkembang, tantangan penyidik di lapangan dalam mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, juga sangat beragam, ” ujarnya.

“Hal ini tentu tidaklah mungkin diselesaikan sendiri oleh KKP, tapi perlu dukungan dan kerja sama dari semua pihak.”

Bentuk Forum

Untuk melaksanakan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan, dan sejalan dengan amanat Undang-undang Perikanan, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan, sejak tahun 2005 telah membentuk forum koordinasi pananganan tindak pidana di bidang perikanan.

Menurut Elvitrasyah, forum koordinasi ini sangat diperlukan untuk kelancaran tugas penyidik. Selain itu untuk memperlancar komunikasi dan tukar-menukar data, informasi, serta hal lain yang diperlukan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penanganan dan/atau penyelesaian tindak pidana bidang kelautan dan perikanan.

Eksistensi forum koordinasi penanganan tindak pidana bidang kelautan dan perikanan tidak hanya berada pada lingkup pusat tetapi dapat dibentuk juga di daerah. Pembentukan dan keanggotannya ditetapkan oleh gubernur pada tingkat provinsi dan bupati/wali kota pada tingkat kabupaten/kota.

Sampai saat ini telah terbentuk 34 forum koordinasi di tingkat provinsi. Untuk empat provinsi baru belum terbentuk yaitu di Papua Barat Daya, Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan.

Khusus untuk NTT, forum koordinasi TPKP telah dibentuk sejak tahun 2011. Terakhir melakukan pertemuan forum koordinasi TPKP pada tahun 2021 yang dilaksanakan oleh Stasiun PSDKP Kupang.

“Dalam kesempatan ini, kami juga ingin menyampaikan terkait kebijakan ekonomi biru KKP. Kita ketahui bersama, KKP menekankan pentingnya menjaga kesehatan laut dan menerapkan strategi dalam implementasi kebijakan ekonomi biru melalui lima kebijakan,” ujarnya.

Lima kebijakan tersebut, yakni, perluasan kawasan konservasi laut, penangkapan ikan secara terukur berbasis kuota, pengembangan perikanan budi daya di laut, pesisir dan darat berkelanjutan, pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan pengelolaan sampah plastik di laut.

Selain itu, Elvitrasyah juga menyampaikan telah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Lalu, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, dan Permen KP Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan.

Untuk menyamakan persepsi, Ditjen PSDKP pada 12 Desember 2023 melaksanakan kegiatan rapat koordinasi nasional pengawasan dan penegakan hukum yang dihadiri oleh APH dan DKP seluruh Indonesia.

Ditjen PSDKP memiliki peran yang sangat strategis, dihadapkan pada pengawalan kebijakan ekonomi biru yang diimplementasikan pada tahun ini. Bahkan dalam pencapaian target PNBP di tahun 2024 peran Ditjen PSDKP begitu besar. Menteri KP selalu menegaskan bahwa Ditjen PSDKP dapat mengawal seluruh kebijakan KKP.

UU Cipta Kerja Butuh Kesepahaman Persepsi

Elvitrasyah mengatakan, terbitnya Undang-udang Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, tentu saja membutuhkan kesepahaman persepsi dalam penanganan pelanggaran hukum bidang kelautan dan perikanan.

Kehadiran UU Cipta Kerja tidak hanya mempermudah perizinan yang akan berdampak positif bagi iklim usaha di Indonesia, tapi juga membawa banyak manfaat untuk masyarakat kelautan dan perikanan, khususnya nelayan.

“Melalui UU Cipta Kerja diharapkan terjadi peningkatan lapangan kerja dan peluang usaha di sektor kelautan dan perikanan,” kata Elvitrasyah.

Di sisi lain, UU Cipta Kerja memiliki paradigma baru terkait penegakan hukum, termasuk di sektor kelautan dan perikanan. UU Cipta Kerja menggunakan pendekatan pidana sebagai ultimum remedium, dimana diutamakan pengenaan sanksi administratif bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.

Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Berkenaan dengan pelaksanaan UU Cipta Kerja, pemerintah telah menyusun berbagai peraturan pelaksanaannya, termasuk di sektor kelautan dan perikanan.

Namun demikian, pihaknya memahami bahwa pelaksanaan di lapangan tidaklah mudah. Untuk itu, ia menyambut baik, penyelenggaraan forum koordinasi yang dilaksanakan oleh Stasiun PSDKP Kupang.

“Saya berharap, forum ini dapat membangun kesepahaman persepsi, dan membentuk jaringan komunikasi untuk memperkuat koordinasi yang sinergi antar penegak hukum di Provinsi Nusa Tenggara Timur,”  kata Elvitrasyah.

Selain itu, hasil pertemuan ini juga akan menjadi saran dan masukan dalam penyempurnaan regulasi-regulasi di bidang kelautan dan perikanan, khususnya untuk regulasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur terkait peraturan pengenaan sanksi administratif.

Elvitrasyah menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas peran serta dan dukungan semua pihak atas pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA