Bawa Teologi ke Jalanan, Jadikan Model Perjuangan Melawan Ketidakadilan!

Teologi publik mesti ditunjukkan dengan keberpihakan kita terhadap orang lemah dan selalu membawa dunia ke arah yang lebih baik

Maumere, Ekorantt.com – Teologi tidak boleh hanya sebagai ilmu yang hanya dibicarakan dalam ruang kelas, tetapi harus diterjemahkan di jalanan atau di pasar dan mampu menjadi model dari sebuah perjuangan melawan ketidakadilan.

Demikian penjelasan F. X. Armada Riyanto dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dalam Konferensi Internasional Teologi yang diselenggarakan oleh Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero di Auditorium Maximum Kampus II IFTK Ledalero, Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, Sabtu, 28 September 2024.

Armada membawakan materi Praxis in Public Theology and Revisit of The Meaning of Theology (Praksis Teologi Publik dan Meninjau Kembali Makna Teologi).

Dia menekankan bahwa umat Katolik tidak boleh tinggal diam berhadapan dengan berbagai bentuk tindakan diskriminasi dan melawan dengan tegas segala bentuk ketidakadilan.

Dia mencontohkan bahwa pada tahun 1600-1800 gereja di Indonesia mengalami penindasan dari pemerintahan VOC. Namun, gereja tetap bertahan hingga saat ini bahkan gereja di Indonesia khususnya di Flores mengalami perkembangan yang begitu pesat.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya misionaris dari Indonesia yang dikirim ke luar negeri, kata Armada.

Pembicara lain, Joel Hodge dari Australian Catholic University membawakan materi berjudul Doing Public Theology Today: the Victim Modernity and the Return of the Secred (Melakukan Teologi Publik Dewasa Ini: Korban Modernitas dan Kembalinya Yang Tersembunyi”.

Joel menegaskan pentingnya teologi dalam kehidupan manusia. Teologi publik itu memuat ide-ide kritis dalam memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan, termasuk juga bersikap kritis terhadap bahaya-bahaya dari modernitas.

Joel juga menegaskan pentingnya dialog dalam mengatasi ancaman persaingan yang menyebabkan krisis umum dan kehancuran sosial.

“Dialog adalah bagian penting dalam kehidupan kristiani. Dalam berdialog, kita akan saling memberi dan menerima,” katanya.

Teologi Masih Bersifat Maskulin

Dalam sesi diskusi yang dipandu oleh Bastian Limahaekin, teolog feminis NTT, Mery Kolimon, memberikan tanggapan bahwa teologi publik di Indonesia lebih bersifat maskulin karena peran perempuan dalam teologi sangat minim.

Menanggapi umpan balik itu, Armada menegaskan bahwa teologi memang merupakan satu disiplin ilmu yang masih sangat kurang diminati oleh biarawati dan mahasiswi di Indonesia.

Karena itu, dia berharap agar lebih banyak perempuan yang studi teologi agar semua orang lebih mengerti tentang pentingnya teologi dalam membantu kehidupan semua orang.

Salah seorang peserta konferensi, Willy Gaut, yang ditemui usai konferensi, menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan tersebut.

“Saya menyaksikan seminar-seminar di Ledalero dengan jumlah yang semakin banyak dibandingkan sewaktu saya menjadi mahasiswa di sini. Saya sendiri merasa luar biasa dan saya pikir bahwa para pembicara tamu kita dari luar negeri juga mereka terkesan sekali dengan acara ini,” tuturnya.

Kesan dan apresiasi yang sama juga disampaikan oleh Kolimon.

“Teologi publik itu suatu kebutuhan besar terutama ketika gereja-gereja kita melakukan pelayanan di tengah masyarakat multi-religius seperti Indonesia,” tuturnya.

Menurutnya, keterampilan dalam menyampaikan pesan iman di ruang publik mesti dikembangkan.

Dia berterima kasih kepada IFTK Ledalero yang telah membuka diri dengan mengundang teman-teman dari gereja Protestan untuk turut terlibat dalam momen berharga ini.

Kolimon berharap supaya fakultas teologi di Indonesia perlu menyiapkan ruang diskusi bersama seperti ini.

Pendeta Mery Kolimon berkhotbah dalam perayaan ekaristi penutup Konferensi Internasional Teologi di Auditorium Maximum Kampus II IFTK Ledalero, Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, Sabtu, 28 September 2024 (Foto: Humas IFTK Ledalero)

Gereja Harus Terbuka

Konferensi internasional bertajuk Public Theology for the Indonesian Context pun berakhir dan ditandai dengan perayaaan ekaristi yang dipimpin oleh Rektor IFTK Ledalero, Pater Otto Gusti Madung dan pengkhotbah Pendeta Mery Kolimon.

Kolimon, dalam kotbahnya, mengatakan bahwa teologi publik sebenarnya sudah diajarkan oleh salah seorang yang bukan murid Yesus namun ditentang oleh para rasul.

“Ketika mengetahui bahwa para murid menentang orang itu, Yesus berkata kepada para murid bahwa siapa yang tidak melawan kita berarti bersama kita,” jelas Kolimon.

Dalam hal ini, kata Kolimon, Yesus mau mengajarkan kepada kita agar menghargai orang lain tanpa memandang status mereka. Artinya Gereja harus selalu terbuka untuk belajar dari dunia khususnya dari umat yang beragama lain demi suatu nilai kemanusiaan.

“Dalam seminar kita diajarkan untuk selalu menunjukkan sikap hormat terhadap yang lain,” tutur teolog feminis asal NTT itu.

Kolimon menegaskan bahwa teologi publik mesti ditunjukkan dengan keberpihakan kita terhadap orang lemah dan selalu membawa dunia ke arah yang lebih baik.

“Kita diharapkan untuk selalu kritis dengan diri kita sendiri agar teologi yang kita hidupi dapat membawa kedamaian bagi sesama. Seperti yang sudah kita bicarakan dalam seminar, kita mesti selalu giat dalam memperhatikan sesama yang terluka,” pungkasnya.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA