Ruteng, Ekorantt.com – Praktisi hukum Edi Hardum menduga pihak Polres Manggarai yang menangkap jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa Herry Kabut telah menerima pesanan pemodal atau menerima sogokan.
Herry Kabut ditangkap saat meliput aksi penolakan proyek perluasan geotermal Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai pada Rabu, 2 Oktober 2024.
“Polisi yang mengkriminalisasi wartawan patut diduga, pertama, polisi tak profesional. Kedua, polisi diduga menerima pesanan pemodal atau terima sogokan,” kata Edi dalam keterangan yang diterima awak media, Rabu malam.
Ia menilai penangkapan terhadap Herry Kabut sebagai bentuk teror terhadap pers terutama Floresa yang selalu intens dan kritis.
Ia pun meminta semua wartawan terutama wartawan Floresa “jangan kendor semangat dan keberanian.” Floresa, kata dia, harus tetap berani dan kritis.
Edi juga meminta jajaran Polri terutama Polres Manggarai agar tidak mengkriminalisasi wartawan.
Menurut dia, wartawan adalah pekerja pers. Pers adalah kekuatan keempat dalam negara demokrasi. Kriminalisasi terhadap wartawan sama dengan mengkriminalisasi pers. Kriminalisasi pers sama dengan membunuh demokrasi.
“Ingat, di medan perang saja wartawan dilindungi,” ujar Edi.
Ia mendesak Kapolri agar meminta semua jajarannya untuk mengedepankan fungsi Polri sebagaimana diamanatkan UU Polri yakni melindungi, mengayomi dan menegakkan hukum dalam menjalankan tugas.
Kemudian, menghukum anak buahnya yang mengkriminalisasi wartawan dan masyarakat.
“Untuk kasus Poco Leok hendaknya Polri tidak memihak. Polri harus tampil sebagai pelindung, pengayom, dan penegak hukum,” tutup Edi.
Sebelumnya dikabarkan, Floresa dalam publikasinya melaporkan bahwa informasi penangkapan Herry Kabut diperoleh dari salah seorang warga Poco Leok.
Hingga Rabu sore, demikian laporan Floresa, Herry bersama sejumlah warga Poco Leok lain yang ditangkap masih dalam mobil polisi.
Sejumlah warga berusaha mengambil video saat penangkapan terjadi, namun dihalau aparat. Warga melaporkan kepada Floresa bahwa Herry ditarik, dan kemungkinan dipukul saat dibawa paksa ke dalam mobil.
Sementara berdasarkan rilis yang diterima Ekora NTT, Komunitas Masyarakat Adat Poco Leok yang terlibat dalam aksi penolakan pengembangan proyek geotermal Poco Leok menjelaskan, pada Rabu, 2 Oktober 2024, PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai memaksa masuk ke wilayah Poco Leok, membuka akses jalan untuk proyek geotermal.
PLN dan Pemkab Manggarai masuk diiringi pengamanan aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat, dan Polisi Pamong Praja.
“Upaya tersebut dihadang oleh warga dan direspons oleh aparat dengan pemukulan dan penangkapan,” tulis Komunitas Masyarakat Adat Poco Leok.
Berdasarkan informasi langsung dari warga sekitar, aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat, Pol-PP tidak memperbolehkan warga Poco Leok mengambil gambar.
“Puluhan orang luka-luka dan beberapa tidak sadarkan diri karena mendapatkan kekerasan dari aparat kepolisian berseragam lengkap,” jelas Komunitas Masyarakat Adat Poco Leok.
Komunitas melaporkan, ada sekitar empat orang yang ditangkap polisi. Aparat mengatakan akan melepas mereka, ketika warga bubar. Salah satunya adalah jurnalis Floresa Herry Kabut.
Melihat kekerasan yang terus berulang dan pembangunan yang dipaksakan ini, Komunitas kemudian mendesak, Pertama, PLN dan Pemkab Manggarai segera menghentikan pembangunan proyek geotermal di wilayah Poco Leok.
Kedua, KfW (Bank Pembangunan Jerman) segera meninjau ulang pendanaan untuk pembangunan proyek geotermal karena pembangunan dilakukan tanpa prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Ketiga, Kapolda NTT dan Kapolres Manggarai, Flores segera menarik mundur pasukan, menghentikan intimidasi dan kekerasan serta melepaskan warga yang ditangkap.
Keempat, TNI segera menarik mundur pasukannya.
Ekora NTT sedang berupaya mengonfirmasi Kapolres Manggarai dan Pemkab Manggarai seputar penangkapan tersebut.