Maumere, Ekorantt.com – Mahasiswa IFTK Ledalero mengutuk keras “tindakan brutal dan biadab aparat keamanan” yang terdiri dari TNI, Polri dan Pol PP terhadap jurnalis dan warga Poco Leok, Kabupaten Manggarai.
Sebelumnya, saat aksi unjuk rasa menentang proyek perluasan geotermal Poco Leok di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai pada Rabu, 2 Oktober 2024, aparat keamanan menangkap beberapa warga.
Bahkan tak hanya warga, jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa Herry Kabut juga ikut diciduk aparat keamanan saat sedang meliput aksi unjuk rasa warga Poco Leok.
Aparat keamanan dikabarkan mendorong dan mendobrak massa aksi. Akibatnya, ada beberapa warga yang terluka karena dipukul Polisi berseragam lengkap.
“Tindakan represif dari aparat keamanan ini adalah bentuk pengangkangan terhadap UU kebebasan Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan kebebasan berpendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 E ayat 3 UUD 1945,” ujar Ketua BEM IFTK Ledalero, Thomas V. K. Sahputra dalam keterangan yang diterima awak media, Kamis, 3 Oktober 2024 malam.
Thomas mendesak agar semua pasukan baik TNI, Polisi dan Pol PP untuk ditarik mundur dan menghentikan tindakan represif dan intimidatif terhadap jurnalis dan warga Poco Leok.
Selain itu, ia meminta agar menindak tegas aparat keamanan yang melakukan tindakan represif terhadap jurnalis dan warga Poco Leok dan memberikan perhatian terhadap para korban.
Thomas selanjutnya meminta Pemerintah Kabupaten Manggarai dan PLN untuk segera menghentikan proyek geotermal Poco Leok.
Bahaya destruktif dan resistensi warga Poco Leok atas proyek ini menurut dia, merupakan tanda ketidaksetujuan atas keberlangsungan proyek geotermal di Poco Leok.
“Meminta KfW (Bank Pembangunan Jerman) untuk menghentikan pendanaan proyek geotermal Poco Leok,” ujar Thomas.
Ia menjelaskan, pembangunan geotermal Poco Leok menjelma menjadi nestapa. Pembangunan yang mestinya berorientasi pada bonum commune, justru menjadi bencana yang mengancam ruang hidup warga Poco Leok.
Tidak berhenti di situ, pembangunan sebagai sebuah kebijakan publik yang mestinya melibatkan proses deliberasi publik justru memarginalisasi dan mendiskriminasi suara warga Poco Leok.
Hal itu menurut Thomas, terekam jelas dalam kejadian pada Rabu, 2 Oktober 2024, di mana sejumlah warga sipil dan jurnalis mendapat tindakan represif dari aparat keamanan yang terdiri dari TNI, Polisi dan Pol PP.
Kejadian ini, tegas dia, tentu saja merusak demokrasi dan merobek identitas Indonesia sebagai negara hukum.
“Mari berjuang bersama demi keadilan bagi warga Poco Leok. Save Poco Leok, save nature!” ajak Thomas.