Dewan Pers Nilai Dugaan Kekerasan terhadap Jurnalis Floresa sebagai Pelanggaran Pidana Serius

Pukul 18.00 Wita, polisi akhirnya membebaskan Herry. Namun, ia kemudian diminta membuat video klarifikasi yang intinya dia diamankan bukan ditangkap.

Ruteng, Ekorantt.com – Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Eric Tanjung menyebut, kasus yang menimpa jurnalis Floresa Herry Kabut di Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, NTT merupakan pelanggaran pidana berat atau serius.

Dalam catatannya, setidaknya ada tiga poin kekerasan yang dilakukan aparat terhadap Herry Kabut saat meliput aksi unjuk rasa penolakan proyek perluasan geotermal Poco Leok pada Rabu, 2 Oktober 2024 lalu itu.

Pertama, kata dia, ada kekerasan fisik. Kedua, perampasan alat kerja seperti laptop dan HP. Bahkan membuka file yang ada di dalam ponsel dan laptop Herry Kabut. Ketiga, intimidasi seperti dibentak, menghalang-halangi tugas jurnalis, yang bagi Eric, “itu juga salah satu bentuk pidana serius.”

Kuasa hukum Herry Kabut, Yulianus Ario Jempau juga menyatakan, insiden yang dialami kliennya merupakan pelanggaran pidana serius.

Herry, kata Jempau, mengalami intimidasi dan dicap provokator. Parahnya, kliennya dituding secara langsung oleh aparat bahwa ia ditangkap karena menulis miring tentang geotermal.

“Bahkan salah satunya menyatakan saudara Herry ini dipantau karena menulis miring,” tandas dia saat konferensi pers di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Senin, 7 Oktober 2024.

“Ada beberapa poin, kekerasan fisik, perampasan alat kerja, pemeriksaan dokumen, intimidasi, dihardik, dan lain-lain,” timpal Jempau.

Jalankan Kode Etik Jurnalistik

Eric mengaku sudah melakukan asesmen dan klarifikasi terhadap kasus dugaan kekerasan yang dialami oleh Herry Kabut sebagai jurnalis Floresa.

Eric bahkan menyebut Herry Kabut menjadi korban saat meliput aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Poco Leok.

“Berdasarkan verifikasi yang sudah dilakukan apakah Herry sebagai jurnalis dan sebagai Pemimpin Redaksi Floresa, sudah menjalankan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pada saat liputan,” tegasnya.

Ia menyatakan, kasus yang dialami Herry Kabut sudah memenuhi unsur pidana seperti diatur dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan ancaman pidana penjara dua tahun dan denda Rp500 juta.

“Artinya kasus ini tidak bisa dianggap sepele. Ini kasus serius dan mengancam kemerdekaan pers di Indonesia,” tegasnya.

Eric pun meminta kasus ini harus diusut tuntas. Aparat yang diduga melakukan penganiayaan terhadap Herry harus diproses secara hukum.

“Termasuk, yang memberikan perintah dalam hal ini adalah Kapolres Manggarai juga harus diperiksa, dievaluasi, serta semua anggota yang terlibat di sana itu harus diperiksa dan dievaluasi,” tegasnya.

Menurut dia, kerja jurnalis tentu saja dilindungi oleh Undang-undang Pers dan semua pihak harus menghargainya.

“Tapi sayangnya justru yang terjadi di sini adalah kekerasan dilakukan oleh aparat penegak hukum,” pungkas Eric.

Mahasiswa IFTK Ledalero Kutuk 'Tindakan Brutal Aparat Keamanan' terhadap Warga Poco Leok dan Jurnalis
Ibu-ibu sedang melakukan aksi unjuk rasa penolakan proyek perluasan geotermal Poco Leok pada Rabu, 2 Oktober 2024 (Foto: HO)

Dewan Pers, lanjut dia, akan menyurati Kapolri untuk memberikan atensi kepada semua anggotanya yang terlibat dalam kasus penganiayaan terhadap jurnalis,  termasuk TNI.

Jempau juga sepikiran dengan Eric. Ia menegaskan, siapa pun yang menghalangi kerja jurnalis tentu saja sebagai upaya terencana dan serius, sebagaimana rujukan hukumnya terdapat di dalam UU Pers Pasal 18 ayat 1.

Indonesia menurut dia, menganut negara demokrasi yang mengedepankan dan memberikan ruang kepada pers sebagai perwakilan masyarakat untuk mengontrol kerja pemerintah, aparat keamanan, termasuk kepolisian, supaya tidak melanggar hak-hak warga.

“Kerja wartawan dalam situasi apapun harus dilindungi,” tegas Jempau.

Polisi Membantah

Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh sebelumnya menampik informasi adanya penyekapan saat aksi unjuk rasa di Poco Leok.

Polisi hanya mengamankan saja. Anggota polisi menilai saat itu masyarakat yang datang bertujuan untuk provokasi.

Itulah sebabnya polisi melakukan pengamanan supaya tidak menjadi korban maupun pelaku tindak pidana.

“Dan itu adalah fakta di lapangan. Saya tegaskan jangan ada bahasa ditangkap karena yang kami lakukan adalah mengamankan agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan. Secara SOP kami sudah laksanakan sebelum melakukan pengamanan terlebih dahulu dilakukan apel pengecekan dan APP yang dipimpin oleh Wakapolres Manggarai,” tegasnya.

Ia menjelaskan, pengamanan anggota Polres Manggarai di Poco Leok merupakan kewajiban. Sebab, warga di Poco Leok ada pro dan kontra dengan proyek perluasan geotermal.

“Kami wajib mengamankan yang kontra maupun yang pro, karena kehadiran kami untuk mencegah setiap proses tahapan dan gesekan-gesekan yang diperkirakan bisa terjadi di lapangan.”

Alami Kekerasan

Pernyataan Edwin berbeda dengan pengakuan Herry Kabut yang mengaku bahwa dirinya “mengalami kekerasan dari aparat saat meliput warga yang sedang melakukan aksi penolakan geotermal.”

Herry memang tidak membawa ID Card atau Kartu Pers, saat diinterogasi aparat di lokasi liputan. Meski demikian, ia mengantongi surat tugas.

Sayangnya jawaban Herry tak digubris aparat, baik yang berseragam maupun tidak. “Mereka mengunci leher saya, kemudian menyeret saya ke mobil keranjang sejauh 50 meter,” kata jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa itu.

JPIC OFM Indonesia Desak Kapolri Copot Kapolres Manggarai Usai Tangkap Jurnalis Floresa
Tangkapan layar video yang memperlihatkan seorang warga Poco Leok sedang dibantu warga saat aksi unjuk rasa penolakan proyek geotermal Poco Leok pada Rabu, 2 Oktober 2024

Bahkan “perlakuan kejam” aparat terus berlanjut hingga di mobil keranjang. Di dalam mobil itu, Herry mengaku menerima berbagai pukulan di beberapa anggota tubuhnya seperti kepala sampai kaki.

“Atas pukulan itu saya mengalami goresan di leher dan luka di kepala dan di hidung. Usai penganiayaan itu mereka membawa saya ke mobil,” kisahnya.

Bahkan polisi mengambil ponselnya dan merampas tas Herry hingga talinya putus. Laptopnya pun dibuka dan beberapa file diperiksa polisi.

“Mereka juga membuka beberapa pesan WhatApp di ponsel saya baik pesan pribadi maupun grup. Beberapa teman menghubungi saya dan tanya keberadaan saya, kemudian polisi meminta saya untuk balas sesuai dengan perkataan mereka.”

Pukul 18.00 Wita, polisi akhirnya membebaskan Herry. Namun, ia kemudian diminta membuat video klarifikasi yang intinya dia diamankan bukan ditangkap.

“Dalam video klarifikasi itu kata-katanya disusun oleh polisi. Mereka juga meminta saya agar dalam video itu menyampaikan bahwa saya dibebaskan dengan aman dan selamat.”

“Bagaimana saya mengatakan itu sementara kalian sudah memukul saya, barang-barang pribadi saya sudah dirampas,” kata Herry mengenang jawabannya kepada polisi kala itu.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA