Ruteng, Ekorantt.com – Agustinus Tuju, warga Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, meminta kasus dugaan intimidasi aparat keamanan saat aksi unjuk rasa menolak kehadiran proyek geotermal pada Rabu, 2 Oktober 2024 lalu, diusut secara tuntas.
“Tolong ini diusut tuntas, baik pendanaan maupun sikap dan tingkah laku aparat gabungan yang turun ke Poco Leok,” pinta Agustinus saat konferensi pers di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat pada Senin, 7 Oktober 2024.
Ia mengisahkan, pada 2 Oktober 2024 lalu, polisi mendatangi aksi unjuk rasa di Poco Leok. Saat itu, kata Agustinus, polisi meminta masyarakat untuk tidak menghalang-halangi petugas.
“Mereka bilang yang dikedepankan oleh polisi itu adalah komunikasi. Lalu polisi itu bilang, kami adalah representasi negara,” katanya.
Kata Agustinus, warga tidak pernah menghalangi jalan aparat keamanan. Namun warga hanya tidak mengizinkan identifikasi lahan mereka.
“Karena kami tidak mengizinkan tanah kami dijual, karena ada satu nilai di Poco Leok, yakni Lampek Lima, Mbaru (rumah), Mata Air, Kuburan, juga tempat ritus tertentu yang tidak bisa dipisahkan. Itu tidak bisa dialihfungsikan. Kalau satunya dialihfungsikan, maka adat Poco Leok tidak ada nilainya lagi,” tegasnya.
Agustinus menegaskan, aksi damai pada 2 Oktober tentu saja dalam rangka menjaga nilai-nilai tersebut.
“Aparat bilang kepada kami bahwa mereka akan melakukan upaya paksa. Lalu kami tanyakan, apakah pemaksaan itu bukan pelanggaran?” tanya dia.
Ia mengaku, saat itu aparat keamanan melakukan aksi frontal, serta mendorong warga termasuk perempuan.
Salah seorang warga bahkan terjatuh. Melihat itu, Agustinus lantas membantu dan secara bersamaan ada yang mendorongnya dari arah belakang hingga dia ikut terjatuh.
“Setelah itu, sementara saya berjalan, mereka menangkap saya dari belakang, dan ada satu polisi yang berteriak ‘tangkap dia itu’. Akhirnya saya ditangkap, diseret, dimasukkan ke dalam mobil. Itulah mengapa saya ada dalam mobil polisi tanggal 2 itu,” kisah Agustinus.
Karlo Gampur warga Poco Leok lain juga mengaku menjadi korban kekerasan aparat keamanan saat aksi damai pada 2 Oktober 2024.
Karlo mengaku, saat itu aparat keamanan mendorongnya hingga jatuh. Setelah bangun kembali tangannya ditarik dan didorong. Ia pun kembali jatuh.
Ia bahkan mendapatkan pukulan oleh aparat keamanan di bagian dada.
“Ketika saya jatuh, saya bangun kembali dalam keadaan tidak berdiri tegak, dan mereka dorong lagi, dan terlempar ke arah seorang tentara, lalu mereka pukul pakai lutut di bagian kepala, dan ini bekas lukanya. Akhirnya saya sampai jatuh, setelah itu mereka tarik kembali dan dorong ke mobil,” kisah dia.
Tidak hanya warga yang mendapatkan perlakuan intimidatif aparat keamanan. Jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa Herry Kabut juga dilaporkan menjadi korban kekerasan aparat keamanan yang saat itu meliput aksi unjuk rasa menentang proyek geotermal di Poco Leok.
Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh sebelumnya menampik informasi adanya penyekapan saat aksi unjuk rasa di Poco Leok.
Polisi hanya mengamankan saja. Anggota polisi menilai saat itu masyarakat yang datang bertujuan untuk provokasi.
Itulah sebabnya polisi melakukan pengamanan supaya tidak menjadi korban maupun pelaku tindak pidana.
“Dan itu adalah fakta di lapangan. Saya tegaskan jangan ada bahasa ditangkap karena yang kami lakukan adalah mengamankan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Secara SOP kami sudah laksanakan sebelum melakukan pengamanan terlebih dahulu dilakukan apel pengecekan dan APP yang dipimpin oleh Wakapolres Manggarai,” tegasnya.
Ia menjelaskan, pengamanan anggota Polres Manggarai di Poco Leok merupakan kewajiban. Sebab, warga di Poco Leok ada pro dan kontra dengan proyek perluasan geotermal.
“Kami wajib mengamankan yang kontra maupun yang pro, karena kehadiran kami untuk mencegah setiap proses tahapan dan gesekan-gesekan yang diperkirakan bisa terjadi di lapangan.”
Aktivitas Petani Terganggu
Agustinus berkata, sejak proyek geotermal masuk ke Poco Leok, aktivitas para petani sudah terganggu.
“Ibu-ibu merasa terganggu karena aparat dan petugas pertanahan membuat kondisi seolah-olah ada perang karena pasukan banyak dan berseragam lengkap,” katanya.
Selain itu menurut dia, nilai adat dan budaya di Poco Leok sudah mulai rancu karena masuknya proyek geotermal yang tidak melibatkan tokoh atau tua adat.
Agustinus menuding pihak perusahaan mengambil tanah rakyat secara paksa, tanpa melibatkan tu’a gendang (tua adat) yang memberikan tanah itu kepada warga.
Itulah alasannya warga terus melakukan aksi penolakan proyek geotermal. Bahkan dalam hitungan Agustinus, hingga 2 Oktober 2024, warga sudah melakukan aksi protes sebanyak 26 kali.
“Dalam proses jaga kampung ini, kami sering diintimidasi oleh aparat kepolisian, tentara, dan Pol PP. Kami mau tanya kepada perusahaan, tetapi yang jawab malahan aparat keamanan,” ujar dia.
Sementara Karlo menilai kehadiran aparat keamanan di Poco Leok hanya memprioritaskan untuk meloloskan agenda pihak PLN dan pemerintah. Mereka tidak melihat dan mendengarkan aspirasi masyarakat.
“Saya berharap stop kekerasan terhadap masyarakat dan stop intimidasi masyarakat. Tugas dan fungsi harus dikedepankan,” ujar dia.
Sebagian Besar Masyarakat Menolak
Sementara itu, Koordinator JPIC SVD Ruteng, Pater Simon Suban Tukan dalam keterangan pers yang diterima awak media beberapa waktu lalu mengatakan, rencana perluasan PLTP Ulumbu di wilayah Poco Leok telah menimbulkan begitu banyak persoalan di tengah masyarakat.
Sebagian besar masyarakat Poco Leok, kata Pater Simon, menolak kehadiran proyek ini karena melihat sejumlah dampak buruk PLTP lain di Indonesia seperti di Sorik Merapi dan Mataloko yang berpotensi mengancam keselamatan warga setempat dan menghilangkan ruang hidup masyarakat.
“Ruang hidup yang terancam hilang karena geotermal itu misalnya, kesatuan yang utuh kampung halaman (golo lonto, mbaru ka’eng, natas labar), kebun mata pencaharian (uma duat), sumber air (wae teku), pusat kehidupan adat (compang takung, mbaru adat),” jelasnya.
Saat ini ada 14 gendang atau persekutuan masyarakat adat yang ada dan hidup di wilayah Poco Leok. Dari jumlah tersebut setidaknya ada 10 di antaranya yang dengan tegas dan secara tertulis menolak kehadiran proyek geotermal.
Data lainnya, kata dia, sejumlah 369 keluarga (1.632 jiwa) dengan tegas menolak rencana perluasan dan pengembangan geotermal Ulumbu di wilayah Poco Leok.
Sejak awal seluruh proses investasi proyek tersebut menurut Pater Simon, melangkahi dan menyalahi semua standar investasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun ketentuan internasional mengenai investasi dan hak asasi manusia.
“Tetapi sejak tahun 2022 pihak PLN semakin gencar melakukan upaya-upaya untuk mewujudkan rencana tersebut dengan mengerahkan aparat polisi, TNI, Pol PP dan orang tidak dikenal yang diduga sebagai preman bayaran untuk mengintimidasi dan melakukan kekerasan terhadap warga yang menolak rencana perluasan geotermal di Poco Leok,” kata Pater Simon.