Oleh: Suroto*
Presiden Prabowo Subiyanto telah melantik Menteri dan Wakil Menteri Koperasi bersama anggota kabinet Merah Putih lainnya. Ada satu hal yang menarik dalam pembentukan kabinet Merah Putih, nomenklatur Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dipisah menjadi Kementerian Koperasi dan Kementerian UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) tersendiri.
Sebagaimana kita tahu, nomenklatur yang disatukan tersebut selama ini telah menancapkan persepsi ke masyarakat bahwa koperasi itu seakan disamaartikan dengan usaha mikro, kecil, lemah dan gurem.
Padahal, koperasi itu dalam konteks mikro-organisasi adalah sebuah badan hukum persona ficta yang sama dengan perseroan, perkumpulan atau yayasan. Di mana tidak ada kementerian yang mengatur badan hukum lainya tersebut.
Akibat dari penyatuan nomenklatur, paradigma pembangunan koperasi yang terjerumus ke jalan yang keliru. Koperasi akhirnya menjadi sebuah entitas bisnis yang akhirnya seakan perlu terus dilakukan pembinaan yang sesungguhnya justru berperan ‘membinasakan’ koperasi.
Koperasi yang khitahnya sebagai entitas bisnis yang mandiri dan otonom menjadi terlalu banyak diintervensi dan dijadikan obyek kebijakan pemerintah semata. Sehingga koperasi menjadi lemah karena kehilangan prakarsanya dan mengalami sindrom ketergantungan.
Koperasi yang muncul akhirnya didominasi oleh para profit seeker dan makelar program untuk semata memanfaatkan akses program bantuan pemerintah seperti akses kredit lunak, atau penerima belas kasihan lembaga lain. Sehingga posisinya menjadi sub-ordinat terhadap lembaga dan bukan setara dan berkembang secara natural dan organik.
Dalam perkembangan jumlah statistiknya, koperasi bahkan pernah dalam satu tahun mengalami lompatan jumlah fantastis hingga hampir seratus persen karena distimulasi program pemerintah terutama Kredit Usaha Tani (KUT).
Hal ini terjadi ketika era awal reformasi, dari jumlah koperasi sekitar 47 ribu menjadi 98 ribu (Kemenkop dan UKM). Tren yang terus berlanjut hingga pada akhir tahun 2014 mencapai puncaknya menjadi 212.342 koperasi dan mencatatkan diri sebagai negara dengan jumlah koperasi terbanyak di dunia.
Masalahnya adalah, dari jumlah koperasi yang besar itu, ternyata di dalam praktiknya tidak menunjukkan besarnya kualitas dan manfaat dari anggotanya. Menurut catatan Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I) tahun 2014, ada sekitar 73 persen yang ternyata tidak aktif dan kemudian hanya 7 persen yang aktif.
Dari jumlah koperasi yang aktif itupun ketika ditelisik lagi hanya 3 persenan yang konsisten dikembangkan sebagai basis entitas koperasi yang benar genuine dan jalankan prinsip-prinsip koperasi.
Sisanya masih didominasi oleh koperasi palsu, abal-abal, papan nama, dan para rentenir yang meminjam baju koperasi untuk tujuan bisnis demi keuntungan pribadi yang akibatnya semakin menjadikan citra buruk bagi koperasi.
Menteri Koperasi dan UKM, Anak Agung G. Puspayoga ketika memimpin Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2014 mengawali upaya untuk memperbaiki citranya dengan lalukan pembubaran sekitar 62 ribu koperasi. Sesuatu yang kemudian tidak dilanjutkan oleh Menteri Koperasi Dan UKM, Teten Masduki.
Koperasi kemudian semakin runyam citranya dengan munculnya kasus-kasus penipuan berkedok koperasi. Bahkan tercatat sebagai kasus terbesar dalam sejarah perkoperasian Indonesia dengan kerugian dari pihak masyarakat hingga ratusan triliun rupiah dan masih menyisakan masalah hingga sekarang.
Koperasi dalam kondisi demikian akhirnya tak hanya sulit berkembang, tapi juga mengalami stagnasi. Dalam sepuluh tahun terakhir, rata-rata nilai putaran bisnisnya jika dibandingkan dengan total Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 1,14 persen (Suroto, 2023). Sebuah angka yang jauh dari istilah koperasi sebagai soko guru atau tiang utama atau tiang penyanggah ekonomi, sebagai tiang pinggiran pun tidak mampu.
Ibarat koperasi itu adalah pohon jati yang kita harapkan akan tumbuh rimbun, ternyata justru mati dikerumuni semak belukar. Hutan jati tidak tampak, yang tampak adalah semak belukarnya.
Transformasi Besar
Koperasi ketika awal mula berdiri pertama kali di Rochdale, Inggris tahun 1844 secara jelas dan tegas dideklarasikan sebagai sebuah organisasi bisnis yang mandiri oleh 28 orang pendirinya. Mereka mengembangkan koperasi sebagai sebuah upaya untuk menjawab kebutuhan riil anggotanya, bukan didirikan untuk mengejar bantuan apalagi menipu anggotanya.
Prinsip dasar koperasi sebagai organisasi otonom, mandiri, dan demokratis yang dikembangkan dari, oleh, dan untuk anggotanya itu tumbuh berkembang dan menjadi inspirasi bagi berkembangnya koperasi di seluruh dunia.
Menurut laporan International Cooperative Alliance (ICA), persekutuan organisasi koperasi dunia, ada sekitar 3 juta unit koperasi saat ini, beroperasi di lebih dari 100 negara di dunia. Dimiliki oleh 1,3 miliar anggota individu (ICA, 2023).
Peranan koperasi juga telah diakui oleh dunia. Pada tahun 2016, gerakan koperasi diakui oleh UNESCO sebagai bentuk warisan dunia bukan benda (intangible herritage). Dan hal yang menggembirakan lagi adalah, pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2023 lalu telah ditetapkanlah tahun 2025 mendatang sebagai Tahun Koperasi Internasional (International Year Cooperative).
Hal mana artinya sepanjang tahun 2025 mendatang koperasi mendapatkan momentumnya untuk dirayakan sepanjang tahun oleh negara anggota PBB dan semua lembaga-lembaga pendukungnya sebagai tahun promosi kebaikan dari jalan koperasi. Jalan keadilan ekonomi.
Mengawali perayaannya, ICA pada awal 2024 lalu bekerja sama dengan lembaga riset Euricse telah merilis 300 koperasi besar dunia. Dari putaran bisnis 300 koperasi tersebut kurang lebih sama nilainya dengan PDB negara Italia sekitar Rp35 ribu triliun. Sayangnya, dari 300 koperasi besar itu tak satu pun yang berasal dari Indonesia.
Mari segera melakukan transformasi koperasi Pak Menteri dan Pak Wakil Menteri. Selamat bekerja dan semoga gagasan pemisahan Kementerian Koperasi dari UMKM membawa makna perubahan dan jadi warisan penting masa depan serta mampu menjadikan koperasi sebagai alat demokratisasi ekonomi sesuai konstitusi.
*Suroto adalah CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR) dan Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)