Ruteng, Ekorantt.com – Tim penyidik Kepolisian Daerah (Polda) NTT turun ke Ruteng, Kabupaten Manggarai pada Rabu, 23 Oktober 2024.
Mereka hendak mendatangi Poco Leok di Kecamatan Satar Mese dalam rangka mengusut dugaan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Polres Manggarai terhadap warga dan Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut.
Dalam keterangan tertulis pada 12 Oktober 2024, Kabid Humas Polda NTT Ariasandy berkomitmen untuk menjaga profesionalitas dan integritas institusi kepolisian dalam melayani dan melindungi masyarakat.
Polda NTT, kata dia, tidak memberi toleransi segala bentuk tindakan kekerasan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anggota.
Pernyataan Ariasandy itu menanggapi laporan Floresa pada 11 Oktober, terkait dugaan kekerasan terhadap Herry Kabut oleh aparat keamanan di Polres Manggarai.
Dugaan kekerasan terjadi pada 2 Oktober 2024, saat Herry tengah meliput aksi protes warga terhadap proyek geotermal di Poco Leok.
Kala itu, warga sedang melakukan aksi “jaga kampung”, sebagai upaya menentang proyek perluasan geotermal Poco Leok.
Herry tidak hanya mengalami kekerasan fisik, tetapi juga sejumlah alat liputan termasuk ponselnya dirampas polisi. Herry ditahan di kendaraan polisi, kemudian diintimidasi oleh aparat, hingga dipaksa membuat video klarifikasi.
Tindakan aparat polisi yang memeriksa isi ponsel tanpa alasan yang jelas bahkan menahan beberapa warga dan jurnalis Herry dinilai sebagai tindakan yang melanggar privasi dan kebebasan pers.
Selain Herry, dua orang perwakilan warga Poco Leok yang menjadi korban kekerasan juga seorang saksi turut membuat pelaporan.
Lapor Jurnalis TJ
Floresa juga melaporkan TJ, inisial jurnalis yang diduga ikut menganiaya Herry Kabut dalam peristiwa yang sama di Poco Leok.
“Identitasnya, sebagaimana disampaikan dalam kronologi yang ditulis Herry, adalah berinisial TJ,” jelas Kuasa hukum Floresa Ferdinansa Jufanlo Buba dalam keterangan pers yang diterima awak media, Selasa, 8 Oktober 2024.
Herry Kabut mengaku, aksi penganiayaan terhadap dirinya dilakukan beberapa aparat, wartawan berinisial TJ, serta anggota polisi intel yang juga menyebut dirinya sebagai “anak media.”
TJ, kata Herry, sebelumnya pernah terlibat konfrontasi dengan salah satu jurnalis Floresa dan seorang kuasa hukum warga adat Poco Leok di Polres Manggarai.
Konfrontasi itu terjadi pada tahun lalu usai tujuh orang warga adat Poco Leok diperiksa karena menolak proyek geotermal.
“Inti masalahnya bukan hanya soal keterlibatannya dalam kasus penganiayaan, tetapi dia melakukannya bersama-sama dengan aparat keamanan,” terang Ferdinansa.
Menurut kesaksian Herry, kata dia, saat kembali dari Poco Leok, TJ menumpang di salah satu mobil rombongan aparat, Pemda dan PT PLN, BUMN yang mengerjakan proyek geotermal Poco Leok.
Transparan dan Akuntabel
Ariasansy berkata, semua laporan akan diproses secara transparan dan akuntabel, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Terkait dengan laporan tersebut, Bidang Propam Polda NTT akan segera melakukan penyelidikan lebih lanjut guna memastikan kebenaran dugaan kekerasan yang terjadi di lokasi proyek geotermal Poco Leok,” kata Ariasandy.
Polda NTT berjanji akan memeriksa seluruh bukti dan keterangan saksi terkait peristiwa tersebut, termasuk dari pihak pelapor dan terlapor.
Selaku Pemimpin Umum Floresa, Ryan Dagur berharap polisi mengusut tuntas kasus ini.
“Kami tentu saja berharap agar kasus ini bisa diusut tuntas dan para pelaku mesti diseret ke meja hijau, termasuk oknum wartawan TJ,” katanya sebagaimana yang dirilis Floresa.
Bila kasus ini diusut secara tuntas, kata Ryan, maka publik akan kembali percaya pada polisi “sebagai penegak hukum sekaligus pengayom masyarakat.”