Maumere, Ekorantt.com – Pengadilan Negeri Maumere telah memvonis Anggota DPRD Sikka terdakwa kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Yuvinus Solo alias Joker 3 tahun penjara dan denda 200 juta rupiah.
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Yuvinus Solo alias Joker oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 tahun dan pidana denda sejumlah Rp200.000.000, dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan,” bunyi putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Maumere yang dibacakan dalam sidang pada Senin, 9 Desember 2024.
Joker terbukti melakukan tindak pidana turut serta sebagai pelaksana penempatan kerja. Dia tidak memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik.
Putusan Majelis Hakim tersebut lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan tidak mendasari vonisnya pada undang-undang seturut tuntutan JPU.
JPU sebelumnya menuntut Joker menggunakan Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP dengan tuntutan 9 tahun penjara, dengan 200 juta rupiah serta restitusi bagi korban sebesar 155 juta rupiah.
Akan tetapi, Majelis Hakim diketuai Nithanael Nasyum Ndaumanu bersama Hakim Anggota Mira Herawaty dan Widyastomo Isworo justru menggunakan Undang-undang Ketenagakerjaan di mana Joker terjerat Pasal 186 ayat (1) Jo Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
‘Ada Permainan’
Kuasa hukum TRUK-F selaku pendamping hukum korban, Valens Pogon mengatakan, vonis yang diberikan kepada Joker sangat rendah dan kecewa dengan putusan Majelis Hakim yang menggunakan UU Ketenagakerjaan.
“Kita duga ada permainan. Karena menurut kita, berdasarkan fakta persidangan itu memenuhi unsur-unsur pasal 2 ayat 1 UU TPPO seperti dalam dakwaan JPU,” kata Valens kepada Ekora NTT, Rabu, 10 Desember 2024.
Untuk itu, pihaknya mendorong Kejaksaan Negeri Sikka selaku kuasa hukum korban untuk ajukan banding karena vonis yang tidak sesuai dengan tuntutan JPU.
“Vonis hakim berbeda dengan tuntutan JPU. Jaksa, atas nama korban, harus ajukan banding. Kalau tidak patut kita duga mereka juga bermain,” ujar Valens.
Kata Valens, tidak ada fakta di persidangan yang menunjukkan bahwa terdakwa adalah pengusaha yang menyalahgunakan kewenangan perekrutan tenaga kerja.
“Tidak ada fakta juga dari PT BCPA itu yang menugaskan dia untuk merekrut.”
“Karena itu kita menduga di sini ada permainan jual beli pasal. Dalil umum di Indonesia, kalau ada permainan pasti ada uang,” jelas Valens.
Valens mengatakan, pihaknya akan melaporkan ke Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, juga ke Intel Kejaksaan Agung untuk memeriksa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Maumere terkait dugaan permainan uang dalam perubahan dasar hukum vonis Joker.
Tidak Logis dan Bertentangan
Kuasa Hukum Joker, Domi Tukan dan Alfons Hilarius Ase dalam keterangannya kepada media, menilai putusan Majelis Hakim tidak logis sebab saling bertentangan antara poin pertimbangan dan kesimpulan.
Alfons Ase menjelaskan, Pasal 35 ayat (2) dan (3) UU Nomor 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan sesungguhnya mengatur tentang hubungan antara pemberi kerja dan pelaksana penempatan tenaga kerja. Selanjutnya, Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP memuat ketentuan tentang turut serta melakukan tindak pidana.
Alfons mengatakan, pertimbangan hukum majelis hakim sudah benar namun kesimpulannya keliru sehingga saling kontradiktif.
Sebab, dari dua pasal yang diterapkan dalam dakwaan subsider ke-2 tersebut secara hukum mengonstruksikan terdakwa Joker sebagai pelaksana penempatan tenaga kerja dari pemberi kerja sehingga wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja dan Joker juga sebagai orang yang turut serta melakukan tindak pidana.
Dikatakan, frasa pelaksana penempatan tenaga kerja pada Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3) mengandaikan Joker sebagai subordinat dari pemberi kerja. Bila demikian, kata Alfons, maka harus dibuktikan siapa atau pihak mana atau perusahaan yang telah memberi kuasa kepada Joker sebagai pelaksana penempatan tenaga kerja.
“Bila yang dimaksud itu adalah PT. BCPA, maka hubungan hukum antara Joker dan PT. BCPA harus dibuktikan. Sementara pihak PT. BCPA sendiri sama sekali tidak pernah dihadirkan JPU dalam persidangan untuk didengar kesaksiannya,” jelas Alfons.
Sedangkan Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP, kata Alfons, secara hukum mengonstruksikan Joker sebagai orang yang turut serta melakukan suatu tindak pidana. Sementara pasal tersebut mensyaratkan bahwa tersangka tindak pidana harus lebih dari satu orang dan ada pelaku utama.
“Karena pasal ini menempatkan Joker sebagai turut serta, maka harus ada tersangka lain. Atau dengan kata lain, Joker adalah pelaku turut serta maka harus ada pelaku utama. Siapa pelaku utamanya? Sementara dalam kasus ini Joker satu satunya orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Karenanya, jika tidak ada pelaku utama maka tidak ada pelaku turut serta,” jelasnya.
Sementara itu, Domi Tukan bilang, majelis hakim dalam pertimbangan menyatakan bahwa Joker sebagai orang yang memberi dana akomodasi perjalanan dan konsumsi. Joker juga tidak secara langsung merekrut dan membuat sembilan calon tenaga kerja tersebut tidak mendapatkan kondisi yang aman dalam bekerja.
Namun dalam kesimpulannya majelis hakim menyatakan bahwa Joker terbukti “secara sah dan meyakinkan” tidak memberikan perlindungan, sejak perekrutan sampai penempatan calon tenaga kerja serta mendanai akomodasi dan konsumsi sembilan calon tenaga kerja tersebut.
“Bagaimana Joker dituntut bertanggung jawab sementara dalam persidangan Joker sama sekali tidak terbukti merekrut. Pun demikian dengan berapa dana yang diterima oleh sembilan tenaga kerja untuk akomodasi dan konsumsi, semuanya tidak bisa dibuktikan,” jelasnya.
“Dikatakan, Joker disimpulkan merekrut hanya berdasarkan keterangan saksi Petrus Arifin. Di mana saksi Petrus Arifin bertanya kepada Senut apakah Joker yang merekrut? Sementara Senut sendiri sampai hari ini tidak pernah memberi keterangan di persidangan sebab berstatus DPO.”
Pun demikian dengan keterangan saksi dalam persidangan yang menyebutkan bahwa mereka terlantar, kelaparan bahkan masak air parit untuk minum saat membersihkan pondok PT. BCPA di Kalimantan. Domi Tukan menyebut bahwa keterangan tersebut adalah bersifat subyektif karena hanya diperkuat oleh keterangan saksi Valens Pogon yang hanya mendengar dari orang lain (testimonium de auditu).
Menurut Domi Tukan, penuntut umum wajib menghadirkan pihak PT. BCPA dalam persidangan. Namun ternyata penuntut umum tidak mampu menghadirkan saksi dari PT. BCPA dan tidak menunjukkan alasan logis, kenapa PT. BCPA tidak bisa dihadirkan dalam persidangan.
“Apakah PT. BCPA sudah dipanggil secara patut? Kalau sudah kenapa bukti pemanggilan tidak ditunjukkan dalam persidangan? Tidak bisa kita hanya mendengar keterangan dari saksi calon tenaga kerja ini saja,” pungkas Domi Tukan.