Nestapa Nelayan di Balik Perusakan Hutan Mangrove di Pesisir Utara Nagekeo

Akar-akar bakau yang sudah kuat dan kokoh porak-poranda. Biota rawa-rawa pun punah digilas alat berat. Sementara tanah dikeruk dan digali untuk keperluan tambak ikan.

Mbay, Ekorantt.com – Pertengahan Januari 2018 adalah waktu terakhir Moses mencari ikan, kerang, dan kepiting di antara akar-akar bakau pantai Nangateke, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sudah hampir tiga dekade lama hidupnya, Moses menghabiskan waktu sebagai nelayan.

Ia merupakan satu dari sekitar 25 warga yang menggantungkan hidup pada biota rawa.

Moses dan puluhan warga ini masuk dalam kategori nelayan tradisional. Mereka tidak memiliki armada penangkapan ikan yang mumpuni.

Berbekal tombak kecil, pancing, dan jaring, mereka bisa memburu ikan untuk kebutuhan hidup keluarga.

“Kalau (hasil tangkapan) banyak saya jual untuk dapat uang. Kalau hasil pas-pasan hanya sekadar lauk di rumah,” ujar Moses ketika ditemui di kediamannya di Desa Aeramo pada akhir Desember 2024 lalu.

Biasanya, dalam sekali kegiatan penangkapan ia menghasilkan tiga kilogram kerang, dua kilogram ikan, dan lebih dari lima kilogram kepiting. Separuhnya dia jual dari harga Rp50 ribu hingga Rp150 ribu, sisanya dipakai untuk makanan keluarga.

“Kalau kumpul setiap hari, hitung-hitung dalam sebulan, lumayan,” tutur dia dengan raut wajah semringah.

Namun, beberapa tahun terakhir, kebiasaannya berubah lantaran rawa-rawa bakau yang menjadi lokasi pencarian dirusaki oleh alat berat. Pohon bakau ditebang lalu digusur.

Akar-akar bakau yang sudah kuat dan kokoh porak-poranda. Biota rawa-rawa pun punah digilas alat berat. Sementara tanah dikeruk dan digali untuk keperluan tambak ikan.

Eskalasi penggusuran pun bertambah dari 12 hektare menjadi 200 hektare yang mencakup dari bibir pantai hingga ke jalan trans utara Flores. Hutan bakau yang rimbun sudah tiada lagi.

Nelayan 57 tahun ini harus mengayuh lebih jauh demi mendapatkan ikan, udang maupun kepiting. Tetapi, hasil yang diperoleh tidak banyak. Pendapatan pun merosot hanya berkisar Rp50 ribu hingga Rp75 ribu per hari.

“Dulu di situ menjadi habitat hewan air tawar. Banyak orang datang menangkap, tapi kini sudah tidak ada lagi,” ujarnya.

Sisa-sisa bakau kering terlihat di kawasan tambak ikan setelah penggusuran besar-besaran pada tahun 2019 (Foto: Ian Bala/Ekora NTT)

Konservasi Mangrove

Sore itu, di awal Desember 2024, Moses menyiapkan alat tangkap tradisional berupa tombak terbuat dari bambu runcing, pancing, dan jala berukuran kecil serta tempat penampung terbuat dari anyaman lontar.

Ia sudah menentukan titik penangkapan yakni di seberang kawasan perambahan atau persis ke arah timur sekitar empat kilometer di area hutan bakau yang masih terlihat rimbun.

“Di sana itu masih ada ikan. Kalau pasang surut, kepiting masih cukup banyak. Ya, memang tidak sebanyak di kawasan yang sudah digusur itu,” ujar Moses.

Meski pendapatan dari hasil tangkapan menurun akibat kerusakan hutan bakau tidak menyurutkan semangat Moses untuk berburu.

Hanya bermodalkan sepeda motor tua, dia menempuh sekitar 40 menit ke lokasi penangkapan baru.

Di tengah-tengah pemburuan ikan, Moses juga menyisikan waktu menanam bakau di beberapa kawasan kritis akibat ditebang warga untuk kayu bakar.

Upaya pelestarian tumbuhan perdu ini dilakukannya untuk memperlancar pengembangbiakan satwa rawa-rawa sekaligus menekan perluasan abrasi.

Sebab, dia ingat betul kala masih di bangku SMP bagaimana abrasi laut merusak infrastruktur jalan trans utara.

“Setiap musim pasang besar, bahu jalan terkikis dan deker sering jebol, rusak akibat abrasi karena tidak ada tanaman mangrove,” kata Moses.

Upaya penanaman bakau oleh Moses di perairan Nangateke sempat ditantang warga yang mengklaim berhak atas tanah tersebut.

Moses bilang, warga yang menentang upaya itu adalah mereka yang telah memiliki tambak ikan yang dibikin secara manual sejak dulu.

“Saya menanam karena saya prihatin dengan kondisi bakau yang awal mula hijau berubah menjadi gersang dan kering,” kata dia.
“Saya ingin bakau tetap ada sebagai pelindung,” ucap Moses.

Keinginan untuk memulihkan hutan bakau di pesisir utara Nagekeo juga datang dari Nandus Dje (52), warga setempat yang satu profesi dengan Moses.

Sejak penggusuran hutan bakau Nangateke secara besar-besaran, dia sudah mulai melakukan penanaman ulang di sepanjang tepi jalan.

“Saya sudah tanam (bakau) sekitar 250 pohon,” ucap dia.

Nandus adalah seorang petani nelayan yang kehidupannya sangat bergantung pada hasil tangkapan biota rawa. Biaya pendidikan ketiga anaknya yang sekarang duduk di bangku SMA, SMP, dan SD juga berasal dari hasil tangkapan.

Biasanya, hasil tangkapan dari hutan bakau terjual mencapai Rp300 ribu. Bagi dia, keuntungan itu sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Saya punya sawah tapi hanya sumber makanan. Kalau uang (diperoleh) dari hasil laut,” tutur Nandus.

Semula Nandus menganggap bahwa biota rawa yang terlindung dari hutan bakau adalah ladang uang.

Sebab itu, ia ingin mengembalikan hutan bakau dengan kegiatan penanaman ulang.

“Kalau tidak ada bakau yang pasti tidak ada kehidupan,” kata Nandus.

Moses, seorang pelayan Aeramo sedang menanam kembali bakau di Kawasan hutan mangrove Nangateke (Foto: Ian Bala/Ekora NTT)

Hutan Berubah Menjadi Tandus

Pada petang, 17 Januari 2025, sepeda motor tua Nandus melintas jalan berlubang lalu menyusuri jalan lurus yang penuh lumpur dan rerumputan.

Sekitar 10 menit kemudian, ia memasuki kawasan hutan bakau. Perjalanan begitu singkat dari rumahnya di Lego menuju Nangateke.

Nandus terhenti di pintu masuk menuju perambahan. Kendaraan masih berbunyi, kaki kirinya melorot ke aspal. Ia memandang jauh ke arah tambak lalu kepalanya menggeleng-geleng.

“Saya prihatin melihat kondisi ini,” ujar Nandus. Tak lama berselang, ia kembali memacu kendaraan ke arah timur.

Kawasan tambak itu sangat terbuka. Terlihat gersang. Beberapa pohon bakau kering masih terlihat berdiri tegak. Sedangkan puluhan kolam dipenuhi air keruh.

Terdapat lingkaran kolam berukuran lebar 3 meter dengan kedalaman sekitar 2 hingga 3 meter.

Sementara bagian tengah ditimbun tanah dan terlihat lebih dangkal yang dalamnya berkisar 30 sentimeter hingga 60 sentimeter.

Di pinggir kolam ditimbun lebih tinggi sebagai lintas jalan para penggarap untuk mengontrol usaha budidaya ikan.

Nandus bilang, kawasan itu sudah direkayasa melalui pengerukan dan penimbunan tanah. Lokasi itu berubah wajah secara nyata dan merusak pemandangan.

“Hanya saja dulu penuh dengan bakau sekarang menjadi kawasan tandus,” ucap dia.

Oskar Meta, salah seorang pemerhati lingkungan dan pelaku bidang pendidikan di Nagekeo sering menyuarakan kerusakan bakau di sepanjang garis pantai utara Desa Aeramo saat pertemuan di tingkat desa bersama tim kebencanaan daerah.

Ia mengatakan, kerusakan bakau di pesisir utara yang digunakan untuk lahan tambak ikan bandeng sangat mengancam kehidupan masyarakat setempat.

“Itu kawasan rawan bencana yang seharusnya dilindungi, tidak boleh dirusaki apalagi dieksploitasi secara besar-besaran,” ujar Oskar.

Seluas lebih dari 200 hektare hutan bakau rusak dan terancam punah akibat alih fungsi lahan menjadi tambak ikan bandeng.

Niat pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari sektor usaha kelautan justru berdampak sebaliknya yakni timbul kerusakan lingkungan.

Dalam setiap evaluasi kebencanaan, Oskar acap kali memberi rekomendasi kepada pemerintah untuk membantu peralatan penangkapan modern seperti perahu motor dan kelengkapannya kepada mereka yang berkeinginan menjadi nelayan.

“Lah, ini justru (memberi izin) membasmi hutan bakau,” kata dia.

“Jika tidak ada tindakan maka ke depan perambahan mangrove diperluas oleh masyarakat.”

Penjabat Bupati Nagekeo sebelumnya, Herda Helmijaya, telah mengeluarkan edaran tentang larangan penebangan atau perusakan bakau di sepanjang garis pantai utara.

Edaran itu setidaknya berisi enam poin yang berbunyi, pertama, melarang masyarakat pelaku usaha tambak garam dan tambak ikan untuk tidak menebang hutan mangrove.

Peta hutan mangrove di wilayah utara Nagekeo, Pulau Flores, NTT

Kedua, meminta usaha tambak ikan dilarang menggunakan alat berat (exavator) dalam kawasan hutan mangrove.

Ketiga, pelaku usaha tambak ikan wajib menjaga kelestarian fungsi kawasan hutan mangrove dan disarankan menanam mangrove di tambak dan sekitarnya.

Keempat, tambak ikan air payau wajib menggunakan metode silvofishery. Kelima, usaha tambak ikan wajib memiliki izin dan rekomendasi lingkungan.

Pada poin keenam, Herda menekankan apabila terdapat warga yang melanggar maka akan dikenakan sanksi pidana berdasarkan pasal 98 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berupa hukuman pidana 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar.

Meski ada edaran, hingga saat ini belum ada kasus atau penanganan ancaman pidana dari penegak hukum terhadap pelaku‐pelaku perusakan lingkungan di utara.

Foto udara kondisi hutan mangrove di Nangateke setelah penggurusan untuk usaha tambak ikan bandeng (Foto: Ian Bala/Ekora NTT)

Daya Beli Menurun

Menjelang petang, David Pati (60) tampak mondar mandir di area jalan inspeksi perikanan tambak ikan bandeng miliknya.

Sesekali dia membungkuk memperbaiki lubang jaring jerat reptil liar yang terus menerus menerobos ke kolam untuk mangsa ikan-ikan peliharaannya.

Tanpa alas kaki, dia pun melangkah menuju pondok. Ia duduk di bale-bale lalu memandang ke beberapa kolam sekitar. “Ini (kolam) semua saya punya,” kata David sambil menunjuk beberapa kolam di depan mata.

Sore itu kawasan tambak ikan tampak sepi. Di halaman bangunan reyotnya terlihat segelintir kendaraan roda dua milik penggarap memarkir.

Sementara di pagar rumah, di pinggir jalan trans utara terpampang satu papan informasi bertuliskan jual ikan air tawar dengan harga dibanderol Rp40 ribu per kilogram.

Dia bilang sejak pagi tidak ada orang yang datang membeli ikan atau sekadar berwisata memancing.

“Ada ikan bandeng, ikan mujair, dan ikan nila,” ucap dia.

David hidup seorang diri di gubuk reyot itu sejak pensiun sebagai tenaga honorer di Bidang Penagihan dan Keberatan pada Badan Keuangan Daerah Nagekeo pada 2019. Di usia senja, ia bertekad fokus menggarap tambak ikan.

David Pati sedang meninjau usaha tambak ikan miliknya. Ia melakukan aktivitas ini setiap hari untuk mencegah reptil liar yang menganggu usahanya (Foto: Ian Bala/Ekora NTT)

Sebanyak tiga kolam yang ditata di atas lahan sekitar tiga hektar. Kolam-kolam itu berisi tiga jenis ikan dengan jumlah per kolam berkisar 5 ribu hingga 10 ribu ekor.

“Saya tabung sendiri untuk pembiayaan tambak ini,” ucap David.

Ia menceritakan, penggusuran hutan bakau untuk pembuatan tambak ikan menghabiskan biaya sebesar Rp40 juta. Uang itu hanya untuk sewa alat berat selama hampir lima hari penggusuran.

Belum terhitung biaya pembelian bibit ikan yang disebut mengeluarkan hampir separuh.
“Diperkirakan sudah Rp60-an juta saya keluarkan,” kata David.

“Tapi sekarang saya bingung karena hasil panen selama lima tahun ini belum pulang (modal) pokok,” ujar dia.

Belakangan David kelabakan lantara seluruh biaya makan minumnya hanya bersumber dari tambak ikan. Sementara hasil usaha itu tidak cukup akibat jumlah kunjungan konsumen ke kolam berkurang dan daya beli ikan air tawar pun menurun.

Di sisi lain, ia sudah melepas pekerjaan sebagai petani sawah di Mbay. Iming-iming dari penggarap atas perolehan hasil tambak ikan yang menjanjikan kini membuat David gigit jari.

“Kadang hanya terjual satu kilo, kadang juga tidak sama sekali,” kata David.

“Sejak awal buka ini hasil belum capai Rp10 juta. Sekarang saya hanya bertahan hidup saja di sini,” tutur dia.

Dia menuturkan bertahan hidup dengan kegiatan budidaya ikan hanya untuk menjaga lahan yang sudah disertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kawasan yang sudah digusur itu, kata David, adalah milik perorangan yakni dia dan Nesta, saudarinya.

“Lahan kira-kira 3 hektare ini sudah ada sertifikat tanah. Semua kolam sudah miliki sertifikat. Tetapi ada yang sudah jual ke pihak lain,” kata dia.

Selain David, usaha tambak ikan di pesisir Nangateke digarap lebih dari 60 orang. Termasuk oknum anggota DPRD Nagekeo dan pegawai dinas pemerintahan yang memiliki dua bahkan lebih kolam tambak ikan.

David Pati, salah satu dari sekitar 60 pengusaha tambak ikan di Nangateke saat diwawancarai Ekora NTT (Foto: Ian Bala/Ekora NTT)

Langgar Aturan

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Nagekeo telah memberi peringatan terkait kerusakan hutan bakau di pesisir Nangateke. Peringatan tersebut diamanatkan dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

“Hutan bakau itu tidak diizinkan untuk bangun usaha. Harus tetap sesuai diperuntukkan,” kata Kepala DLH Nagekeo Remigius Jago.

Berdasarkan data Nagekeo Dalam Angka 2024, keadaan hutan mangrove di 2008 dengan luas penggunaan lahan 7,765 kilometer persegi (0,55 persen) dari total luas penggunaan lahan yang ada.

Pada tahun 2001, penggunaan hutan mangrove dengan luas penggunaan lahannya menurun yakni 6,785 kilometer persegi (0,5 persen).

Penggunaan lahan yang ada juga mengalami pengurangan luasnya. Pada tahun 2024, hutan mangrove mengalami pengurangan luas yakni 0,98 kilometer persegi.

Remigius mengatakan pengurangan luas terjadi akibat dampak penggusuran hutan bakau yang digunakan untuk area penggunaan lain (APL) seperti penambak ikan dan garam.

“Kalau tambak yang sekarang itu kita larang. Kami sudah larang bersama TNI. Usaha tambak tidak bisa karena belum ada izin dari lingkungan hidup,” kata dia.

Namun demikian, pemerintah belum mengambil tindakan lebih jauh karena belum ada peraturan turunan yang mengikat seperti Perda Lingkungan Hidup. Pihaknya hanya mengingatkan pelaku usaha tambak agar dalam pemulihan hutan bakau menerapkan metode silvofishery.

“Sekarang kami hanya bersifat melarang, mengimbau, membina, dan mengedukasi. Kami belum ambil tindakan bersama Pol PP karena dasar tindakan belum ada,” tutur Remigius.

Ia menyebutkan panjang pantai yang dikuasai hutan bakau secara keseluruhan di Kabupaten Nagekeo 62 kilometer, sementara luas kerusakan sepanjang 21 kilometer.

Persentase kerusakan bakau berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Nagekeo terletak di Kecamatan Aesesa 34,3 persen dan Kecamatan Wolowae 33,3 persen.
“Angka itu termasuk penggusuran hutan bakau sekitar 200 hektar pada tahun 2019,” kata dia.

Remigius kembali menegaskan bahwa penggusuran hutan bakau untuk penambakan sudah jelas melanggar aturan.

Sebab, hutan bakau sebenarnya memiliki peran sangat penting yakni untuk mencegah abrasi pantai dan sebagai tempat hidup dan berkembang biak ikan, udang serta kepiting.

“Larangan tata ruang dari titik pasang tinggi ke darat 100 meter. Ditambah dengan kawasan berhutan bakau, itu tanpa ada jarak. Seperti di Marapokot, itu sudah lebih dari 100 meter tapi itu (bakau) dilindungi karena dia hidup secara alami,” terang Remigius.

Penggusuran hutan mangrove di Nangateke diperluas dari 12 ha menjadi 200 ha hingga di bahu jalan trans utara Flores (Foto: Ian Bala/Ekora NTT)

Potensi Tsunami

Badan Geologi Kementerian ESDM telah mengeluarkan peringatan dini mengenai daerah rawan tsunami di Indonesia termasuk di wilayah utara Nagekeo, Pulau Flores.

Berdasarkan hasil monitoring menggunakan alat pengukur muka laut dari Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagaimana dirilis BMKG pada Desember 2021 bahwa ketinggian air laut telah mengalami kenaikan 7 cm di perairan Marapokot, perairan utara Nagekeo, Flores akibat dampak gempa M 7,4 di Larantuka, Flores Timur.

BMKG menyebutkan Nagekeo adalah salah satu daerah rawan tertinggi tsunami dan gempa dampak dari sesar Flores yang merupakan episentrum gempa sangat dekat ke darat.
Oskar sudah mengetahui informasi itu dari rilis BMKG.

Karena itu, dia terus menaruh perhatian pemerintah untuk mencegah kerusakan hutan bakau sepanjang pantai utara Flores.

Pembasmian hutan bakau, kata Oskar, membuat warga di pesisir utara berada dalam bayang-bayang ancaman bencana.

“Ini permasalahan serius untuk kesiapsiagaan (bencana) ke depan. Harus ada tindak terhadap oknum yang merusak bakau dan harus ada aksi bersama penanaman kembali bakau,” tutur Oskar.

Sementara Moses tidak ingin pengalaman peristiwa bencana 12 Desember 1992 mengulang kembali.

Dia menyaksikan kejadian tsunami di Sikka yang memorak-poranda kota Maumere dan menelan banyak korban.

“Peristiwa waktu itu mengerikan. Saya saksikan karena waktu itu saya masih di Maumere,” kata Moses.

TERKINI
BACA JUGA