Maumere, Ekorantt.com – Fransiskus Bhaga, 32 tahun dan istrinya Maria Atrina Kula, 32 tahun, duduk dengan wajah sayu di ruang tamu rumahnya di Desa Ladolaka, Pulau Palue, Kabupaten Sikka pada Sabtu malam, 11 Januari 2025.
Cuaca sedang tidak bersahabat. Di langit awan hitam menggantung. Sejak sore kerabat dekatnya Marianus Ndae sudah turun ke laut.
“Semoga om dapat ngaja,” ucapnya dengan suara rendah kepada sang istri dan ayah ibunya. Esok nanti, Minggu, 12 Januari, ada ritus bhemba bagi anaknya Fransiska Cleopatra Lanu.
Beberapa jenis umbi dan sayuran telah tersedia di dapur. Melihat Fransiskus duduk dengan tatapan menerawang, Siprianus Antonius Ropi, 52 tahun, angkat bicara.
“Laut pasti memberikan kita rezeki.”
Sebagai laki mosa (tua adat), ia meneguhkan kecemasan Fransiskus yang tak lain keponakannya. Menurutnya laut merupakan sumber pangan bagi orang Palue, di samping hutan dan ladang pertanian warga.
Dari sekitar 50 protein hewani di Palue, sebagian besarnya berasal dari laut. Mulai dari ikan kerapu, ikan kakatua, ikan batu, ikan ekor kuning, dan berbagai jenis ikan lainnya.
Laut, urai Siprianus, lebih jauh adalah sumber pendapatan yang menghidupkan. Itulah kenapa sekalipun untuk mendapatkan ikan dari laut haram hukumnya menggunakan bom ikan.
Khusus untuk pangan laut, orang Palue mewarisi tradisi penangkapan ikan yang sangat menjaga ekosistem laut yakni dengan memancing dan dengan bubu. Bubu adalah jenis jaring penangkap ikan dengan menggunakan anyaman dari bambu.
Hubungan yang kuat dengan laut sudah dimulai sejak manusia masih dalam kandungan. Anak-anak usia dini yang belum bersentuhan langsung dengan laut mesti mendapatkan asupan protein dari ikan di laut.
“Itu kita lakukan dalam tradisi atau ritual bhemba selain anak tumbuh sehat tapi juga tradisi jaga laut hanya dengan pancing dan bubu itu tetap hidup.”
Tradisi bhemba adalah pemberian makanan kepada ibu yang sedang mengandung dan juga kepada anak usia dini oleh orang tua dan warga kampung.
“Acara ini wajib ada, kalau sampai lupa maka sang ibu dan anak itu tidak sehat. Anak jadi nakal, badan penuh luka. Pokoknya tidak sehat.”
Kata Siprianus, ritus ini bisa berlangsung sepanjang tahun tanpa menunggu ada momen tertentu. Ritus ini menyimbolkan tanggung jawab kampung untuk menjaga perairan laut sekaligus pemenuhan kebutuhan ibu yang sedang mengandung dan anak-anak usia dini.
Lebih jauh, ia menuturkan bhemba menghubungkan anak-anak dengan alam yang akan ia pijaki ke depan setelah lahir.
“Alam itu ya tanah yang kita injak sekarang dan laut yang akan kita arungi.”

Ikan Ngaja
Jelang dini hari, Marianus tiba dengan lima belas ekor ikan ngaja. Ikan-ikan itu diikatnya dengan daun lontar. Ikan yang diwajibkan untuk acara bhemba adalah ikan ngaja, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan ikan makarel (Scomber japonicus).
“Kita pakai mancing saja supaya cari ikan ngaja,” tutur Marianus.
Dari dapur Maria Goreti Lanu, 60 tahun, memisahkan seekor yang akan digunakan untuk pelaksanaan ritus. Ikan itu dibakar tanpa diolesi bumbu.
“Yang sisanya itu nanti direbus untuk kita makan, satu ekor ini saya bakar khusus untuk cucu,” kata Maria, ibu dari Fransiskus Bhaga.
Dari tungku perapian dapur, aroma ikan bakar menyeruak. Jhon da Gomez, rekan jurnalis dari Maumere spontan bilang aroma ikan ini khas.
“Kami anak-anak pantai Selatan di kampung Sikka, Maumere paling suka makan ini. Kalau di sini bilang ngaja, kami bilang ikan wira”.
Pukul 10.00 Wita, bayi Fransiska sudah necis mengenakan pakaian adat Palue. Bayi perempuan berusia satu tahun enam bulan itu dipakaikan tama lua (sarung adat), baju putih dan kalung adat (tubi).
Sang nenek Maria menghidangkan ikan bakar ngaja ke nampan nyiru. Dari wadah itu, ia menyobek ikan ngaja tadi. Daging dari ikan yang telah disobeknya ia oleskan pada dahi, bahu kiri, dan kanan cucunya. Suasana sangat hening sekitar dua menit. Dia melantunkan permohonan dengan khusyuk.
“ne’e lae lita leku sibo at ate bhemba ne noto lae nua une
ne, leku nala ika ngaja yan tunu ne pinu a lo’o
lo’o le ngao lae wa ne sai oma lima, leka sisa ne peli lae ata weta pesa, luji ne ka á ngala poi, lusi ne poko ne’e lae koli leku ere teo
sa, rua, telu, pha, lima. ka pesa, ka ngala tenga pama tembo mo putu tara bhuju mero.
Arti dari doa ini agar sang anak tumbuh sehat, tidak terkena penyakit, tubuhnya bersih tanpa luka-luka.
Selesai melafalkan permohonan, Maria menyuapkan cucunya dengan ikan bakar ngaja. Keluarga yang hadir dalam ritus itu, lalu makan bersama sebagai tanda sukacita. Di meja makan tersedia beragam pangan mulai dari umbi-umbian, sayuran, ikan makarel yang direbus.
“Bisa ada nasi juga boleh. Intinya ada ikan ngaja itu dengan ubi dan sayuran,” jelas Siprianus lagi.
Yuvensius Une, 62 tahun, tokoh masyarakat yang menjalani pekerjaan sebagai petani dan nelayan menuturkan, kepercayaan kepada wujud tertinggi Hera Wula Watu Tana atau Tuhan Sang Pencipta mengisyaratkan bahwa bhemba menjadi bukti kedekatan manusia dan alam. Kedakatan itu tak boleh dipisahkan, misalnya dengan merusak laut.
“Kami percaya kalau kami jaga tradisi pasti kami ikut menjaga alam termasuk laut kami.”
Data Komposisi Pangan Indonesia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan ikan ngaja masuk kode GR050 dengan nama ikan kembung, ikan oci (Indian mackerels) kaya akan protein dan asam lemak omega 3 yang bermanfaat untuk segar kesehatan.
Pada ikan makarel terkandung nutrisi air, kalori, protein, lemak, kalsium, zat besi, kalium, fosfor, magnesium, selenium, vitamin B12, dan vitamin D. Ikan ini juga punya sumber omega-3 terbaik, yaitu lemak baik yang bermanfaat menjaga kesehatan jantung dan otak.

Modal Sosial
Akademisi Universitas Nusa Nipa Maumere, Benyamin Regi mengatakan bahwa pada ritus bhemba ada modal sosial yang penting dalam hidup bermasyarakat. Bahwa tumbuh kembang anak dari dalam kandungan hingga lahir menjadi urusan bersama, bukan saja urusan orang tua si anak.
Sebagai orang lahir dari tanah Palue, Benyamin juga mengalami bagaimana orang kampung bersama-sama punya tanggung jawab pada nutrisi anak-anak.
“Saya lahir besar di Palue, mengalami dan merasakan adat yang mewajibkan anak-anak diberi asupan gizi yang baik,” kata Benyamin.
Menariknya, kata Benyamin, asupan nutrisi yang diberikan kepada anak-anak berasal dari kacang dan jagung yang ditanami di ladang petani, pangan liar di hutan, dan ikan-ikan segar dari laut. Semua nutrisi berasal dari alam sekitar.
Dalam pengamatannya, anak-anak zaman dulu yang seusia dengannya sangat jarang terserang penyakit karena mengonsumsi pangan lokal. Mereka hidup tanpa terkontaminasi dengan makanan-makanan instan.
“Pangan lokal juga buat orang umur panjang. Coba lihat bapa mama di Palue yang umur panjang, itu karena mereka konsumsi pangan lokal sampai sekarang,” tuturnya.
Pemerintah Desa Ladolaka, Kecamatan Palue mencatat sekitar 164 penduduk lanjut usia (lansia) dari 1.253 jiwa penduduk di desa itu.
Tidak ada riset ilmiah, kenapa ratusan penduduk lansia ini tetap hidup segar bugar dengan usia yang panjang. Namun dari penuturan mereka, pola hidup sehat dengan mengonsumsi pangan lokal menjadi resep umur panjang.

Pergeseran Pola Konsumsi
Bertolak belakang dengan pola konsumsi para lansia, generasi muda termasuk anak-anak di bawah usia lima tahun sudah terbiasa mengonsumsi makanan instan berpengawet.
Kehadiran kios kelontong di Palue ikut mempengaruhi pola konsumsi karena menjajakan makanan-makanan instan dalam kemasan yang kian digemari anak-anak. Orangtua tidak melakukan pengawasan terhadap apa yang mereka makan.
Meisa (13) dan Lue (11), anak-anak Desa Ladolaka menceritakan, mereka lebih senang makan camilan dalam kemasan ketimbang makan pangan lokal.
“Kami makan ubi tunggu kalau senang saja,” kata Meisa.
Jauh sebelum itu, pergeseran selera konsumsi terbentuk saat masyarakat Palue merantau atau bekerja di daerah lain. Dan sejak tahun 2000-an, bahan-bahan makanan dari luar masuk dan pelan-pelan menggeser pangan lokal setempat.
Data yang dikeluarkan Pemerintah Desa Ladolaka pada awal tahun ini menunjukkan sembilan anak di desa itu mengalami stunting dari total 70 bayi. Jika dibandingkan awal tahun 2024 ada 14 anak yang stunting maka tren penurunan ini jadi perhatian pemerintah desa dan pihak Puskesmas di sana untuk terus menekan angka stunting.
Kepala Puskesmas Tuanggeo Palue, Maria Agustina Longge menyebutkan perhatian pada anak pada ritus bhemba untuk anak-anak penting, tapi juga harus diikuti pola pemberian ASI dan pola asuh yang disiplin.
Dia menekankan pentingnya pelaksanaan ritus untuk menjaga dan merawat kebudayaaan yang dihidupi musti juga bagian dari terus memperhatikan tumbuh kembang anak sebagai generasi pewaris kebudayan di pulau itu.
Pihaknya bahkan tetap mengikuti kebijakan kabupaten untuk melakukan program pemberian makanan tambahan kepada anak-anak stunting. Pihak desa juga mendorong orang tua agar menggiatkan anak-anak untuk kembali mengonsumsi makanan lokal seperti ikan, kacang, dan ubi.

Ritus dengan Pangan Lokal
Fransiskus Bhaga mengatakan pada bhemba dan upacara adat lainnya selalu gunakan pangan lokal.
“Kalau yang saya amati memang tak dapat dimungkiri bahwa pengaruh eksternal terkait pangan itu besar sekali,” kata Fransiskus.
Datangnya pasokan beras dari kota Maumere cukup tinggi. Harga jual ketika sudah di Palue pun lumayan mahal. Satu karung 25 kilogram beras saja harganya sudah Rp300 ribu.
“Saya perhatikan hal ini dan seharusnya kami orang Palue sadar bahwa di pulau ini nenek moyang kami dari dulu haram tanam padi di sini, itu artinya kami seharusnya tidak boleh bergantung pada beras.
Fransiskus menambahkan hal yang jadi keberuntungan adalah ritus-ritus yang ada di pulaunya mewajibkan semua pangan dari darat adalah wajib berupa umbi-umbian, jagung, kacang dan sayuran selain ikan dari laut.
Ketua Umum Indonesian Gastronomy Community (IGC), Ria Musiawan mengatakan, potensi kekayaan pangan lokal yang ada di setiap daerah seharusnya dapat menjadi nutrisi yang baik bagi kesehatan anak.
Adalah hal yang miris saat masalah stunting terjadi di tengah melimpahnya bahan pangan di sekitar kita, kata Ria. Seharusnya hal itu tidak terjadi.
Selaras dengan pendapat Ria, Dewan Pakar IGC, Hindah Muaris menjelaskan, pangan lokal memiliki kandungan gizi tinggi dan menjadi salah satu asupan nutrisi yang baik untuk anak. Menu sehat dalam rangka mencegah terjadinya stunting sebenarnya dapat dipenuhi oleh pangan lokal tersebut.
Seharusnya masalah stunting tidak ada karena makanan tradisional kita sangat berlimpah. Hampir 608 protein yang bermanfaat bagi tubuh bersumber dari pangan lokal, kata Muris, pada konsensus nutrisi berbasis makanan tradisional pada 2022 lalu.
Sementara Fransiskus berharap bhemba tetap dirawat oleh masyarakat Palue sebagai warisan penting demi tumbuh kembang anak. Sebagai generasi muda, dia tak mau ritual semacam ini berhenti di generasinya. Harus ada keberlanjutan.
“Syukur, anak saya sudah ikut acara bhemba. Semoga masih terjaga di generasi kita dan selanjutnya. Karena ini identitas kita sebagai orang Palue,” pungkasnya.
“Liputan ini didukung LaporIklim dan Yayasan PIKUL”