Oleh: Sutomo Hurint*
Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, “basa-basi tak lagi bisa menghibur saya”. Jangan sampai kebangsaan kita hanya basa-basi.
Kebijakan politik negara pasca-kemerdekaan yang menasionalisasikan tanah milik masyarakat adat hasil rampasan penjajah, justru mengaburkan kekayaan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Untuk sampai pada sebuah peradaban bangsa yang besar, negara mesti mengakui eksistensi masyarakat adat.
Kekuatan tumbuh ketika negara menghormati hak-hak masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alamnya. Negara harus mengakui kedaulatan masyarakat adat!
Konflik Agraria
Saat ini, letusan konflik agraria disertai penindasan dan diskriminasi, terhadap masyarakat adat semakin meningkat. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) merilis, sepanjang tahun 2015-2024 sedikitnya terjadi 3.234 ledakan konflik. Baik konflik lama yang sudah berkepanjangan maupun konflik baru yang terus bermunculan.
Sektor perkebunan dan agribisnis menjadi penyumbang tertinggi konflik agraria yakni mencapai 111 kasus. Uniknya, konflik agraria tersebut terjadi di atas tanah masyarakat adat hasil rampasan pemerintahan kolonial.
Di NTT, ada 10 letusan konflik agraria yang terjadi. Beberapa kasus di antaranya adalah konflik warisan kolonial atas tanah masyarakat adat. Konflik ini terjadi akibat penerbitan atau pembaharuan/perpanjangan pada sektor perkebunan.
Salah satu contoh kasusnya adalah di Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. Konflik agraria ini melibatkan masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut dengan PT. Kristus Raja Maumere (Krisrama).
Konflik berkepanjangan selama beberapa dekade ini bermuara pada penggusuran 120 unit rumah milik komunitas masyarakat adat oleh perusahaan pada 22 Januari 2025 lalu. Selain rumah, ratusan tanaman pertanian juga ditebang dan dirusak.
Peristiwa penggusuran ini menuai polemik di jagat media. Banyak yang kecewa dengan tindakan penggusuran oleh PT. Krisrama yang merupakan korporasi milik gereja Katolik, Keuskupan Maumere itu. Namun, banyak pula yang menilai Masyarakat Adat Nangahale menyerobot lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Krisrama. Benarkah, masyarakat adat setempat adalah penyerobot?
PT. Krisrama Versus Masyarakat Adat Nangahale
Upaya saling klaim PT. Krisrama dengan Masyarakat Adat Nangahale ini bermula pada 1912. Amsterdam Soenda Compagny perusahaan Belanda, yang berkedudukan di Amsterdam sebagai suatu Naamlose Vennotschap (NV) dengan dalil Undang-undang Agraria Pemerintah Hindia Belanda tahun 1870, meneken kontrak tanah seluas 1.438 hektar untuk pengembangan tanaman kapas dan kelapa di Nangahale.
Pemerintah kolonial kemudian mengusir komunitas Suku Soge dan Goban dari dataran rendah Nangahale ke wilayah perbukitan yang rentan bencana longsor dan banjir.
Meski terusir, api perlawanan Masyarakat Adat Nangahale tak pernah padam. Banyak korban nyawa akibat perang dengan penjajah untuk merebut tanah adatnya kembali. Berjalannya waktu, perusahaan asal Belanda ini dilaporkan merugi karena perkebunan kapas dibakar oleh gerilyawan Masyarakat Adat Nangahale.
Lantaran merugi, pada 1926 hak sewa atau erphact itu dialihkan kepada Apostolishe Vicariaat Van de Kleine Soenda Hilanden atau Keuskupan Agung Ende, dengan transaksi jual beli senilai 22.500 gulden oleh pemerintah kolonial.
Pasca-kemerdekaan Indonesia, pada 1960 semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya (eigondom) dialihkan menjadi tanah milik negara (algemen domeinverklaring). Hak-hak atas tanah kolonial dinasionalisasikan menjadi hak negara, termasuk tanah adat Masyarakat Adat Nangahale.
Tahun 1987, PT. Perkebunan Kelapa Diag sebuah perusahaan korporasi milik Gereja Katolik Keuskupan Agung Ende mendapat Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah orde baru selama 25 tahun, lewat SK HGU 01/Kabupaten Sikka 1989.
Kemudian, sejak pembentukan Keuskupan Maumere pada 2005, pengelolaannya dialihkan ke keuskupan tersebut di bawah PT. Krisrama.
Penting untuk dicatat di sini, sejak tahun 1990-an ketika diketahui bahwa Gereja Katolik menguasai wilayah itu melalui SK HGU, masyarakat adat telah berjuang mengklaim tanah tersebut. Masyarakat adat bersama dukungan LSM bertemu pemerintah daerah dan gereja untuk membicarakan hak ulayat mereka.
Awal tahun 2000-an, demonstrasi massal Masyarakat Adat Nangahale diperhadapkan dengan tindakan kekerasan dan persekusi atas tuduhan agitasi. Pasca-berakhirnya masa kontrak HGU pada 31 Desember 2013, Masyarakat Adat Nangahale memobilisasi diri secara komunal membangun pemukiman di tengah perkebunan eks HGU.
Perjuangan masyarakat adat tidaklah mudah. Kesehariannya, Masyarakat Adat Nangahale mengalami ketegangan dengan para mandor perusahaan.
Mereka dituduh mencuri, dipersekusi, dan stereotip sebagai penyerobot lahan dilabelkan kepada masyarakat adat. Benda-benda budaya diberangus. ‘Mahe’ lokasi sakral sebagai tempat pelaksanaan ritus Masyarakat Adat Nangahale dihancurkan. Warga yang melawan dituduh Komunis. Ironis!
Bagi institusi gereja lahan tersebut adalah aset hukum yang telah diberikan negara melalui HGU. Sementara, bagi Masyarakat Adat Nangahale, tanah itu adalah hak ulayat yang dihuni secara turun temurun sumber kehidupan mereka.
Hal ini dapat dilihat dalam semboyan “Tana Amin, Morit Amin” yang bermakna “Tanah Kami, Kehidupan Kami”.
Masyarakat Adat Selalu “Kalah”
Dalam pandangan penulis, ada beberapa alasan mendasar mengapa masyarakat adat selalu kalah dalam menghadapi konflik agraria antara lain:
Pertama, minim pengakuan legal. Pasca-kemerdekaan, kendati jelas secara konstitusi negara ini telah mengakui eksistensi dan Hak Masyarakat Adat sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) namun faktanya belum ada undang-undang turunan yang memberikan jaminan masyarakat adat untuk mengklaim kembali hak agraria di atas tanah ulayatnya.
Kedua, negara lebih berpihak pada korporasi. Tiap kali terjadi konflik agraria, masyarakat adat berada pada pihak terlemah. Kekuatan finansial yang dimiliki mempermudah akses bagi korporasi mempengaruhi kebijakan dan menyusun regulasi yang menguntungkan mereka. Bukan rahasia bahwa pejabat dan aparat negara justru menjadi fasilitator bagi korporasi dalam melanggar hukum.
Ketiga, sistem ekonomi politik negara masih kapitalistik neoliberal. Prinsip utama dalam ekonomi kapitalisme neoliberal adalah kebebasan kepemilikan yang memungkinkan individu atau kelompok untuk menguasai sumber daya sebanyak mungkin demi kepentingan pribadi.
Dalam sistem ini, negara seringkali bertindak sebagai regulator yang bisa dikendalikan oleh kepentingan pemodal. Akibatnya wajah negara berubah, bengis terhadap warganya sendiri.
Bagaimana Memperjuangkannya?
Pertama, pengakuan penuh hak masyarakat adat. Penyebab utama konflik yang melibatkan masyarakat adat yang kerap terjadi adalah negara belum mengakui dan melindungi masyarakat adat secara utuh. Sebab itu, pengakuan penuh terhadap masyarakat adat hal urgen untuk dilakukan.
Kedua, koreksi dan cabut kebijakan agraria yang abai terhadap HAM atas masyarakat adat. Kewajiban negara dalam konstitusi maupun hukum internasional diuraikan bahwa negara menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dan kebebasan dasar warga negara.
Sebab itu demi prinsip ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’ sila ke-kedua Pancasila, maka negara harus mengoreksi dan mencabut kebijakan agraria yang mengabaikan HAM atas masyarakat adat.
Masyarakat adat sebagai komunitas yang ada sebelum negara ini terbentuk maka hak-hak yang melekat padanya adalah hak asal-usul.
Hak-hak masyarakat adat yang perlu dimasukkan ke dalam substansi Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan antara lain: hak atas tanah dan sumber daya alam, hak atas kebudayaan, hak atas selft-determination, hak atas free, Prior, and Informed Consent (FPIC).
Ketiga, ubah paradigma kebijakan pembangunan yang lebih hormat terhadap HAM dan kelompok rentan.
Dalam konteks konflik agraria di Nangahale, hak yang melekat dalam suku Soge dan Goban di Nangahale adalah hak asal-usul. Masyarakat Adat Nagahale adalah bagian dari Masyarakat Adat Ata Tana Ai di Kabupaten Sikka.
Penyelesaian konflik harus bermuara pada pemulihan hak masyarakat adat yang terampas pada masa lalu. Negara tidak boleh abai dalam kewajibannya untuk menjaga, melindungi, dan menghormati kedaulatan Masyarakat Adat Nangahale.
(Artikel ini didukung oleh Lapor Iklim dan Yayasan PIKUL)
*Penulis adalah anggota Masyarakat Adat Nusantara AMAN-Nusa Bunga, tinggal di Flores, NTT