Serumpun Betho, Menabung Air untuk Masa Depan 

Walaupun melekat dengan budaya masyarakat setempat, pembudidaya tanaman bambu semakin berkurang

Bajawa, Ekorantt.com – Maria dan ketiga temannya menjunjung beberapa karung berisi batang anakan bambu, sambil menyusuri jalan setapak di Desa Ubedolumolo 1, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada pada pertengahan Februari 2025.

Mereka asyik berbincang. Sejauh mata memandang, terpampang perbukitan yang ditumbuhi hanya sedikit pepohonan.

Sementara itu, teman-temannya yang lain dari Kelompok Tara Wali sibuk mengangkut anakan bambu, ada yang menggunakan sepeda motor, ada pula yang dan menjunjungnya di kepala.

Anakan-anakan bambu itu siap ditanam di kebun masing-masing.

Petani di Desa Ubedolumolo 1, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada mengangkut anakan bambu ke kebun mereka pada pertengahan Februari 2025 (Foto: Dok. Yayasan KEHATI)

Menabung Air dengan Bambu

Daerah yang ditanami bambu oleh Kelompok Tara Wali merupakan wilayah perbukitan yang sebagian besar ditumbuhi rerumputan. Hanya sebagian kecil lahan yang ditumbuhi pepohonan dan beberapa rumpun bambu yang jarak.

Kata Maria, daerah perbukitan itu milik masyarakat, baik secara pribadi maupun komunal. Luasannya beragam, berkisar 0,5 hektare sampai lebih dari 5 hektare.

Setiap kali musim kemarau tiba, lahan perbukitan yang terbuka, kebanyakan rumput dan semak, kerap terbakar. Sebaliknya, setiap musim hujan akan terjadi longsor.

Mereka berusaha menanam bambu agar menjaga tanah, sekaligus menghidupkan mata air. Bagi mereka, penting untuk menjaga tanah sekaligus menghidupkan warisan berharga di masa depan.

“Saya mau tabung air buat masa depan anak cucu,” kata perempuan berusia 63 tahun itu, sambil menunjuk beberapa anakan bambu yang telah ditanaminya.

“Saya tidak pikir uang.”

Menanam bambu, kata dia, bukan untuk tujuan keuntungan sesaat, tetapi lebih besar dari itu menjadi bekal bagi anak cucunya nanti.

Upaya ini tidak datang tiba-tiba. Hendrika Moa, rekan Maria mengatakan, di wilayah itu dahulunya terdapat mata air yang mengering, “karena banyak bambu yang ditebang.”

“Kami ingin budidaya bambu kembali agar lahan yang ada jadi hutan bambu,” kata Ketua Kelompok Tara Wali, Hendrikus Wika.

Dengan menanam bambu, mereka berusaha untuk menghidupkan kembali mata air yang telah kering, karena bambu dapat mengikat air.

“Anak cucu harus menikmati mata air, bukan air mata,“ pungkas Hendrikus menutup obrolan.

Budaya Bambu

Bambu melekat dalam budaya orang Ngada. Bagi mereka, bambu bukan sekadar tanaman melainkan erat dengan adat.

Kedekatan bambu dan budaya tampak dari bentuk rumah khas Ngada yang disebut Sa’o dan kampung tradisional mereka dikelilingi rumpun bambu.

Demikian pula arsitektur dan perabot rumah tradisional didominasi bambu. Tak hanya itu, bambu menjadi syarat bagi laki-laki Ngada meminang calon istri.

Koordinator Program Yayasan Bambu Lingkungan Lestari, Yoakim Philipus mengatakan, martabat laki-laki akan dinilai dalam tiga hal yakni rumah adat, tanah, dan rumpun bambu.

Saat laki-laki meminang perempuan, kata dia, pihak perempuan akan menanyakan tiga hal tersebut sebagai syarat: di mana rumah adat, di mana tanah, dan di mana rumpun bambu.

“Tiga unsur wajib orang Ngada yaitu sa’o meze yang berarti rumah adat, ngia ngora yang berarti tanah, dan rapu bheto yang berarti rumpun bambu,” kata pria yang akrab disapa Yopi itu.

Dengan sistem matrilineal, jelasnya, perempuan memiliki posisi penting dalam kehidupan sosial.

“Perempuan menjadi pewaris, pemilik seluruh kekayaan keluarga, termasuk hutan bambu milik keluarga. Sementara, lelaki hanya bertugas sebagai penjaga,” kata dia.

Walaupun melekat dengan budaya masyarakat setempat, pembudidaya tanaman bambu semakin berkurang.

Monika Nau, tetangga Maria, resah karena minat orang menanam bambu makin hilang.

“Dulu kami pakai bambu untuk rumah. Sekarang sudah jarang pakai bambu. Perubahan zaman sudah,” katanya sambil menerawang.

Akibat minat orang menanam bambu makin berkurang, kata dia, sebagian besar bambu yang kini ada berasal dari peninggalan leluhur.

Berangkat dari kondisi itu, usaha untuk kembali menghadirkan bambu bagi masyarakat Ngada dilakukan oleh Yayasan Bambu Lestari.

Sejak tahun 1990-an, Linda Gartland, pendiri Yayasan Bambu Lestari mengajak masyarakat untuk menanam bambu melalui program gerakan sejuta bambu. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, masyarakat enggan menanamnya kembali.

Beberapa tahun belakangan, yayasan tersebut bersama Yayasan KEHATI yang didukung oleh PT. CIMB Niaga berusaha kembali mengajak masyarakat untuk menanam bambu.

Bersama masyarakat, mereka menanam bambu di Desa Ubedolumolo 1, Desa Tiworiwu, Desa Turekisa, Desa Ubedolumolo II, dan Desa Mukuvoka. Desa-desa tersebut menjadi desa dampingan mereka.

Puji Sumedi dari Yayasan KEHATI mengatakan, sekitar 10.444 bibit atau setara dengan 52 hektare selesai ditanam di Desa Ubedolumolo 1 akhir Februari lalu.

“Total penanaman tahun 2024-2025 sebanyak 20 ribu bibit. Terdiri dari tiga jenis bambu, bambu betung, bambu ampel, dan bambu ater,” jelas Puji.

Di tahun sebelumnya, pihaknya menanam 10 ribu bibit bambu di beberapa Desa di Ngada.

“Ke depan, penanaman serupa akan terus di lakukan di Kabupaten Ngada,” pungkasnya.

TERKINI
BACA JUGA