Maumere, Ekorantt.com – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Maumere memvonis hukuman pidana 10 bulan penjara bagi delapan masyarakat adat yang merusak plang milik PT Kristus Raja Maumere (Krisrama), perusahaan kepunyaan Keuskupan Maumere, pada 29 Juli 2024 lalu.
Kedelapan masyarakat adat tersebut adalah Nikolaus Susar, Bernadus Baduk, Thomas Tobi, Germanus Gedo, Yohanes Woga, Yosep Joni, Magdalena Marta, dan Maria Magdalena Leny.
Putusan pidana disampaikan dalam sidang di PN Maumere, Senin, 17 Maret 2025 yang dipimpin Hakim Ketua Rokhi Maghfur.
“Para terdakwa terbukti melakukan tindak pidana secara bersama-sama di depan muka umum melakukan perusakan terhadap properti milik PT Krisrama,” kata Rokhi.
Ia menyebutkan bahwa kerugian yang dialami PT Krisrama sebesar Rp2 juta rupiah.
Majelis hakim sependapat dengan saksi ahli yang dihadirkan kuasa hukum terdakwa, Widodo Dwi Putro terkait asas pemisahan horizontal yang disampaikan dalam persidangan pada 26 Februari lalu.
Asas pemisahan horizontal menyatakan bahwa kepemilikan atas tanah dan kepemilikan atas bangunan atau tanaman yang ada di atasnya dipisahkan. Artinya, seorang pemilik tanah tidak bisa merusak properti milik orang lain yang berada di atas tanahnya sendiri.
Majelis hakim dalam pembacaan putusan juga menyebut salah satu contoh yang disampaikan Profesor Widodo yakni kasus di Dompu dalam Putusan Mahkamah Agung nomor 249.K/Pid/2009. Pemilik tanah dihukum karena merusak rumah orang lain di atas tanahnya.

Dilaporkan oleh Pastor Yan Varoka
Nikolaus dan kawan-kawan dilaporkan oleh Pastor Robertus Yan Varoka, yang menjabat sebagai Direktur Pelaksanaan PT Krisrama. Romo Yan kala itu hadir di lokasi saat mereka merusak plang.
Tindakan perusakan dilakukan karena masyarakat kecewa dengan tindakan PT Krisrama yang menebang sejumlah tanaman milik mereka.
Kemudian, pada 18 Agustus 2024, kedelapan masyarakat adat dipanggil Polres Sikka. Selanjutnya pada 25 Oktober mereka ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Proses persidangan dimulai pada 15 Januari 2025.
Kuasa hukum masyarakat adat Nangahale, John Bala mengatakan, para terdakwa menerima putusan pengadilan sebagai bagian dari perjuangan.
“Kami bukan pencuri, tapi pejuang,” kata Yosep Joni, sebagaimana disampaikan John setelah persidangan di PN Maumere.
Kata John, putusan pengadilan bukan bentuk kekalahan, melainkan bentuk kemenangan masyarakat adat. Aparat penegak hukum pun diminta bertindak yang sama sebagaimana yang dilakukan terhadap kedelapan masyarakat adat.
“Hakim menerima keterangan saksi ahli. Artinya apa yang terjadi pada masyarakat juga mestinya terjadi pada tindakan yang dilakukan PT Krisrama, terutama untuk penerbangan tanaman dan penggusuran paksa terhadap,” kata John.

Adanya Penyimpangan
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang menjadi pendamping hukum masyarakat adat Nangahale mencium adanya “penyimpangan dari asas hukum yang berlaku, serta berpotensi memperburuk ketimpangan akses keadilan bagi masyarakat adat yang sering kali menjadi korban konflik dengan korporasi.”
Syamsul Alam mengatakan, putusan terhadap para terdakwa mengabaikan fakta-fakta hukum bahwa masyarakat adat dalam perkara ini hanya berusaha mempertahankan tanah leluhur, yang dieksploitasi oleh pihak perusahaan.
“Hakim gagal memahami bahwa masyarakat menjadi terdakwa karena mempertahankan haknya akibat perlakuan melawan hukum yang dilakukan perusahaan,” kata Syamsul Alam.
Menurut Syamsul Alam, dalam perkara pidana seharusnya hakim tidak boleh menjatuhkan pidana yang lebih berat dari apa yang dituntut oleh penuntut umum.
Hal ini sesuai dengan Asas Ultra Petita sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 181 yang menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang dituntut oleh penuntut umum.”
Belum dipastikan adanya upaya banding, kata Syamsul. Namun, upaya banding bisa saja dilakukan karena putusan tidak adil.
Tuntutan
Karena itu, PPMAN mendesak Mahkamah Agung atau lembaga peradilan terkait untuk meninjau kembali keputusan yang bersifat ultra petita ini demi memastikan keadilan ditegakkan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Lalu, pemerintah dan aparat penegak hukum diminta lebih serius dalam melindungi hak-hak masyarakat adat sesuai dengan UUD 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat;
“Kami menyerukan adanya evaluasi independen terhadap proses peradilan dalam kasus ini untuk memastikan tidak adanya intervensi dari pihak berkepentingan serta menjamin peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak.”
PPMAN juga menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas tindakan mereka yang telah menyebabkan konflik dengan masyarakat adat, termasuk penguasaan tanah tanpa persetujuan, perusakan lingkungan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
“Kami percaya bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa diskriminasi. Putusan ultra petita dalam kasus ini mencerminkan ketidakberpihakan hukum terhadap masyarakat adat yang selama ini berjuang mempertahankan hak-haknya. Kami akan terus mengawal kasus ini dan mengambil langkah-langkah hukum serta advokasi demi memastikan hak-hak masyarakat adat tetap terlindungi,” tegas Syamsul Alam.
“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi hak asasi manusia untuk bersolidaritas dalam memperjuangkan keadilan bagi masyarakat adat,” pungkasnya.