Ende, Ekorantt.com – Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Provinsi SVD Ende mengkritik keras proyek geotermal yang ada di Mataloko, Kabupaten Ngada, dan Sokoria, Kabupaten Ende.
Dalam surat dikirimkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, KPKC menilai proyek geotermal gagal memenuhi standar hak asasi manusia (HAM).
Surat yang ditandatangani oleh Ketua JPIC SVD Ende, Pater Ignasius Ledot, dan Rektor IFTK Ledalero, Otto Gusti Madung, menyampaikan kekhawatiran lembaga ini terhadap dampak proyek geotermal di dua wilayah tersebut.
KPKC Provinsi SVD Ende telah mengumpulkan sejumlah data terkait proyek PLTP Mataloko dan Sokoria untuk mengukur apakah proyek tersebut dibangun sesuai dengan prinsip-prinsip HAM yang berlaku.
Untuk menilai kelayakan proyek ini, KPKC menggunakan Tes Litmus, yang mencakup empat prinsip utama: tidak membahayakan (do no harm), pengentasan kemiskinan, penghormatan terhadap masyarakat sebagai pemangku hak (people as rights holders), dan keberlanjutan (sustainability).
Salah satu prinsip yang menjadi sorotan adalah do no harm, yang menuntut proyek untuk tidak melanggar hak hidup, kesehatan, tanah, pekerjaan, serta budaya masyarakat setempat.
KPKC mengajukan beberapa pertanyaan penting mengenai dampak proyek terhadap ekosistem, diskriminasi terhadap kelompok marginal, dan potensi pelanggaran HAM seperti perdagangan manusia dan pencaplokan tanah.
Berkaitan dengan prinsip pengentasan kemiskinan, KPKC juga mempertanyakan apakah proyek ini benar-benar membawa manfaat bagi komunitas lokal, termasuk kelompok marginal, dan apakah proyek ini secara efektif mengurangi kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya, prinsip people as rights holders juga menjadi perhatian, di mana KPKC menilai apakah masyarakat yang terdampak memiliki akses yang cukup untuk informasi dan partisipasi dalam pengambilan kebijakan, serta pemulihan hak jika terjadi pelanggaran.
Prinsip terakhir, keberlanjutan, menilai apakah proyek ini memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan, serta apakah potensi risiko dapat diatasi dengan kebijakan kehati-hatian yang ketat.
Dalam kesimpulannya, KPKC menyatakan bahwa proyek geotermal Mataloko dan Sokoria gagal memenuhi standar HAM yang ditetapkan.
“Setelah memperlihatkan dan menganalisis fakta-fakta di atas secara cermat berdasarkan Litmus Test, kami menyimpulkan bahwa proyek-proyek ini telah gagal memenuhi standar hak asasi manusia,” tulis KPKC Provinsi SVD Ende dalam surat tersebut.
Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip HAM sejalan dengan pelanggaran terhadap instrumen-instrumen HAM yang diatur dalam Pasal 28 A-1 UUD Negara Republik Indonesia 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, serta Keputusan Presiden Nomor 76 Tahun 2020 tentang Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Pembangkitan Tenaga Listrik, dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pelanggaran ini juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
“Kami merasa terpanggil untuk menyampaikan hal ini kepada Menteri, para Bupati, serta pihak-pihak yang bertanggung jawab, karena perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab negara, khususnya pemerintah,” tulis KPKC Provinsi SVD Ende.
Menurut mereka, sikap ini diambil berdasarkan rasa solidaritas terhadap masyarakat miskin dan terpinggirkan, karena Gereja memiliki tugas untuk mewartakan kabar baik kepada orang miskin (Luk. 4:18-19).
Dengan demikian, “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan, orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus” (Gaudium et Spes 1).
“Oleh karena itu, sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, kami menolak dengan tegas proyek geotermal di Mataloko dan Sokoria, serta mendesak pembatalan izin proyek tersebut oleh Menteri ESDM RI,” tulis mereka.

Kurang Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat
Menurut KPKC, PLTP Mataloko dan Sokoria menunjukkan adanya kekurangan dalam sosialisasi dan partisipasi masyarakat yang berpotensi merugikan hak-hak warga setempat.
Pertama, sosialisasi yang tidak memadai. Sosialisasi terkait dampak dari proyek-proyek geotermal ini terbilang sangat kurang, sebuah pelanggaran terhadap prinsip “masyarakat sebagai pemangku hak” (people as rights holder), di mana masyarakat harus menjadi pihak utama yang mendapatkan manfaat dan informasi yang jelas mengenai proyek tersebut.
Proyek geotermal di Mataloko telah dimulai sejak survei oleh Direktorat Vulkanologi pada tahun 1984, dengan eksplorasi dimulai pada tahun 1997.
Namun, sosialisasi pertama baru dilakukan pada tahun 2000, dan beberapa warga yang setuju akhirnya menjual tanah mereka dengan harga yang sangat rendah, sekitar Rp35 juta untuk tanah seluas 1,5 hektare.
Sosialisasi lebih lanjut baru diadakan pada 28 Mei 2021, yang melibatkan pemerintah setempat, camat, kepala desa, serta tokoh masyarakat dan agama.
Namun, banyak warga merasa sosialisasi ini tidak cukup untuk memberikan pemahaman yang mendalam, sehingga mereka merasa hak mereka untuk memilih secara bebas dan terinformasi tidak dihargai.
Sosialisasi yang kurang juga terjadi di proyek geotermal Sokoria. KPKC menyebut, Adi Gunawan, Official Manager PT Sokoria Geothermal Indonesia (SGI) mengatakan, sosialisasi dilakukan bersama pemerintah mulai dari tingkat kabupaten hingga desa, serta melibatkan tokoh adat dan pemilik tanah.
Namun, HSE Coordinator PT SGI, Douglas Gregor Hutauruk, mengakui bahwa satu kelemahan utama adalah kurangnya pemberitaan kepada publik melalui media massa.
Menurut warga di Dusun Kewole, sosialisasi awal hanya melibatkan sebagian orang tertentu seperti Mosalaki dan pemilik tanah, dengan janji bahwa kontrak antara PT SGI dan Mosalaki berlangsung selama 30 tahun.
Selanjutnya, terjadi intimidasi terhadap Mosalaki, dengan keterlibatan aparat militer yang memaksa mereka menandatangani surat hibah tanah tanpa membaca isi dokumen tersebut.
Kedua, keterlambatan dalam penyusunan AMDAL. Dalam proyek geotermal Mataloko, analisis dampak lingkungan (AMDAL) baru disusun pada tahun 2021, meskipun eksplorasi dimulai jauh sebelumnya.
Sementara itu, di Sokoria, AMDAL baru mulai diproses pada tahun 2022, setelah adanya perubahan peraturan yang mewajibkan AMDAL untuk semua proyek geotermal.
Padahal, sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, AMDAL seharusnya disusun sejak awal proyek dimulai untuk mengidentifikasi potensi dampak negatif terhadap lingkungan.
Ketiga, dampak negatif terhadap masyarakat. Proyek geotermal ini telah membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat setempat.
Di Mataloko, beberapa masalah yang timbul antara lain penurunan kualitas hidup warga, yang terlihat dari gangguan kesehatan, rusaknya lingkungan, serta hilangnya mata pencaharian masyarakat seperti kebun kopi, cengkih, alpukat, dan sayur-sayuran.
Selain itu, terjadi konflik sosial dan rusaknya tatanan komunal di sekitar wilayah tersebut, yang berdampak pada 11 desa dan 2 kelurahan di sekitarnya.
Di Sokoria, masyarakat melaporkan pencemaran mata air Lowo Tonggo akibat pembuangan limbah dari proyek geotermal.
Meski PT SGI berjanji untuk menyediakan pipa air dari mata air Wolo Koro, instalasi pipa tersebut tidak kunjung selesai.
Proyek juga menghalangi akses masyarakat terhadap jalan umum dan listrik yang dihasilkan dari proyek tersebut, serta menambah ketegangan sosial di antara masyarakat.
Keempat, ganti rugi yang tidak memadai. Salah satu isu besar adalah ketidakcukupan ganti rugi yang diberikan oleh perusahaan.
Sementara tanah yang digunakan oleh perusahaan diganti rugi, kerusakan yang dialami warga di sekitar lokasi proyek tidak diperhatikan.
“Ini telah menimbulkan konflik sosial dan merusak sistem kepemilikan tanah komunal serta tatanan kekerabatan masyarakat. Tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat sangat minim, dan ini mengancam keberlanjutan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.”