Oleh: Rini Kartini *
Apa jadinya jika kritik kehilangan arah, dan amarah publik tak lagi punya rem?
Maka yang tersisa hanyalah letupan-letupan emosi tanpa kontrol. Ruang digital lokal menjadi tempat penyaluran dan ajang sabung emosi warga.
Kita bisa melihat tontonan ini di grup Facebook bernama Forum Peduli Rakyat Sikka (FPRS). Alih-alih menjadi wadah aspirasi publik yang sehat, FPRS kini lebih menyerupai arena penuh asap – tempat kritik bercampur dengan kebencian, dan debat publik digantikan saling lapor polisi.
Fenomena ini bukan hanya soal Sikka. Ia mencerminkan apa yang tengah terjadi di banyak wilayah Indonesia: ruang digital yang seharusnya memperluas partisipasi warga, justru menjadi sarang polarisasi, ujaran kebencian, dan disinformasi.
Demokrasi digital yang dijanjikan oleh perkembangan teknologi seolah tinggal jargon. Realitasnya, kita justru menyaksikan kegaduhan tanpa tata kelola, kebebasan yang lepas kendali dan komunikasi yang kian liar.
Menelisik Ruang Digital yang Tak Lagi Aman
Di banyak kota besar, masyarakat mungkin memilih akses terhadap literasi digital yang lebih memadai, ruang-ruang diskusi yang lebih terkurasi, atau setidaknya respons cepat dari otoritas.
Namun di daerah, situasinya berbeda. Teknologi datang begitu cepat, tapi kesiapan sosial datang begitu lambat.
Orang-orang tiba-tiba dilempar ke arena digital tanpa peta, tanpa kompas, dan tanpa pelatihan bagaimana bersuara secara bertanggung jawab. Semua bisa bersuara dengan bebas dengan dalih “ini adalah akun saya, saya bisa bersuara suka-suka saya”.
Facebook, yang dulunya dianggap sebagai platform sosial untuk menjaga silaturahmi, kini menjadi panggung utama opini publik di daerah.
Dalam konteks seperti Sikka, platform ini bukan hanya media, tapi telah beralih fungsi menjadi parlemen informal, media alternatif, dan bahkan pengadilan sosial – semua dalam satu halaman grup.
Masalahnya, tidak ada mekanisme kontrol dan verifikasi seperti di parlemen sungguhan, media profesional, atau lembaga hukum. Semuanya serba bebas, dan itu membahayakan.
Demokrasi digital membutuhkan literasi, bukan sekedar konektivitas. Tanpa itu, yang tumbuh adalah demokrasi algoritmik – siapa yang viral, dia yang paling berkuasa.
Kita harus bertanya: di mana peran negara? Di mana tanggung jawab platform seperti Meta? Mengapa sampai sekarang belum ada intervensi serius terhadap platform digital yang meluas hingga memasuki wilayah-wilayah periferal, padahal kerusakan sosial yang ditimbulkan nyata dan mengakar?
Tulisan ini mengajak kita semua untuk duc in altum, melihat lebih dalam: bahwa ruang digital yang tidak sehat, bukan hanya masalah teknologi atau konten. Ia adalah masalah kebijakan, pendidikan, ketimpangan sosial, dan kegagalan kolektif dalam membangun budaya digital yang adil dan beradab.
FPRS: Cermin Ketegangan Politik dan Disfungsi Komunikasi Publik
Forum Peduli Rakyat Sikka (FPRS) awalnya tumbuh sebagai ruang publik alternatif, tempat warga bisa bersuara secara bebas dan kritis terhadap kebijakan pemerintah daerah.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, grup ini berubah fungsi secara drastis: dari forum aspiratif menjadi ladang adu kebencian, pelampiasan kekecewaan, bahkan pemicu konflik horizontal.
Grup ini memang ramai – ratusan komentar bisa muncul dalam satu unggahan yang menyinggung kebijakan bupati atau perilaku pejabat.
Tapi keramaian ini jarang mengarah pada dialog yang produktif. Sebaliknya, yang terjadi adalah saling serang, ad hominem, dan penyebaran tuduhan yang seringkali tak berdasar. Dalam beberapa unggahan, mudah sekali menemukan narasi yang cenderung manipulatif, potongan informasi yang digiring seolah fakta, dan komentar yang bernada penuh dendam.
Hal ini memperlihatkan sebuah pola menarik namun juga sekaligus mengkhawatirkan: ketika ruang digital tak lagi didukung oleh kerangka komunikasi publik yang sehat, ia berubah menjadi simulakra demokrasi.
Warga merasa sudah “menyuarakan” sesuatu, padahal yang terjadi hanyalah reaksi emosional tanpa arah, tanpa hasil bahkan tanpa tanggung jawab.
Zeynep Tufekci, dalam bukunya Twitter and Tear Gas (2017), menulis bahwa teknologi memberi ilusi kekuatan politik, padahal yang terjadi hanyalah kemarahan viral tanpa institusionalisasi perubahan. Ini sangat relevan dengan dinamika FPRS: banyak suara, tapi miskin struktur.
Di tengah minimnya moderasi, akun-akun anonim dan palsu dibiarkan aktif, menyebarkan informasi yang tidak terverfikasi. Belakangan, saling lapor ke polisi pun terjadi.
Alih-alih menyelesaikan masalah, pertarungan ini justru memperpanjang kegaduhan. Ini menunjukkan bahwa komunikasi publik di ruang digital lokal kita sangat rapuh, tidak memiliki infrastruktur sosial maupun hukum yang memadai untuk mengelola perbedaan secara sehat.
Fenomena FPRS adalah cermin: ketika pemerintah daerah gagal menyediakan kanal aspirasi yang responsif dan masyarakat tidak dibekali literasi digital yang kuat, maka ruang digital menjadi pelampiasan. Itu bukan demokrasi – itu frustrasi kolektif yang meledak di layar gawai.
Literasi Digital yang Terlupakan: Antara Konektivitas dan Kecanduan Konflik
Jika kita menganggap bahwa hadirnya internet dan media sosial otomatis membuat masyarakat jadi melek digital, maka kita telah menelan mitos modernitas yang keliru. Literasi digital tidak tumbuh seiring koneksi: ia membutuhkan proses, pendidikan, dan pendampingan sosial yang intens.
Di Kabupaten Sikka, sayangnya, proses ini nyaris diabaikan. Yang ada hanyalah keterpaparan; keaktifan tanpa pemahaman, impulsif bukan reflektif, mencipta kegaduhan bukan percakapan.
Masyarakat kita belajar dari Facebook bukan dari kurikulum. Di sinilah paradoksnya: warga dengan cepat bisa menyebarkan postingan dari akun lain di Facebook dan tautan YouTube, membuat meme politik, bahkan mengedit video yang menyudutkan lawan politik, tapi belum tentu bisa membedakan mana kritik dan mana fitnah.
Ujaran kebencian, doxing, dan hoaks menyebar bukan semata karena niat buruk, tapi karena tidak adanya kesadaran etis digital yang memadai. Tak mengherankan jika kita masuk dalam netizen paling tidak sopan menurut Digital Civility Index dari Microsoft di Asia Tenggara.
Lebih menyedihkan, masih banyak warga yang merasa bahwa mengungkapkan kekecewaan secara kasar di media sosial adalah bentuk keberanian politik. Mereka merasa sedang memperjuangkan keadilan – padahal yang terjadi bisa jadi hanya menyebar prasangka, dan memperdalam luka sosial.
Fenomena ini juga tidak bisa dilepaskan dari kultur digital yang dibentuk oleh algoritma. Media sosial seperti facebook dirancang untuk memberi ruang bagi yang paling nyaring, bukan yang paling bernalar.
Semakin emosional dan viral kontenmu, semakin besar kemungkinan ia muncul di linimasa orang lain.
Sosiolog Shosana Zuboff dalam wawancaranya dengan The Atlantic menyebut ini sebagai surveillance capitalism, yakni sebuah sistem di mana emosi manusia dipanen dan dijadikan komoditas. Dalam konteks lokal, kita bisa menyebutnya sebagai kapitalisme kebencian digital”.
Sayangnya, negara tampaknya lamban dalam merespons ini. Literasi digital diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bekerja secara sporadis: satu-dua pelatihan dari Kominfo, selebaran dari BSSN, atau kampanye musiman dari NGO. Tidak ada pendekatan yang terintegrasi, berkelanjutan, dan berbasis komunitas lokal.
Saya membayangkan, jika pemerintah daerah serius menyiapkan satuan tugas literasi digital berbasis desa, menggandeng tokoh adat, guru, dan jurnalis lokal.
Bayangkan jika sekolah-sekolah mengajarkan etika bermedia sosial sejak dini, dan platform seperti Meta dipaksa oleh regulasi untuk menyediakan moderator lokal serta kontrol atas penyalahgunaan platform di wilayah-wilayah rawan.
Negara Tak Hadir di Ruang Digital Daerah
Di tengah riuh rendah dan kekacauan narasi di ruang digital seperti grup FPRS, yang nyaris tak terdengar adalah suara negara. Bukan karena ia dilarang bicara, tetapi karena seolah memilih diam.
Pemerintah daerah tak punya otoritas dan kapasitas untuk menertibkan kekacauan ini. Sementara pemerintah pusat terlihat lebih sibuk dengan jargon transformasi digital yang hidup dalam presentasi seminar-seminar dan baliho.
Kita sedang menghadapi kegagalan kebijakan komunikasi digital yang berpihak pada keadaban publik.
Padahal, pasal 28F UUD 1945 sudah menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi yang benar, dan itu mestinya dibarengi dengan kewajiban negara untuk melindungi warganya dari informasi palsu, serangan digital dan kekerasan berbasis media sosial.
Namun sampai hari ini, Meta masih dibiarkan beroperasi tanpa akuntabilitas sosial yang jelas di Indonesia, apalagi di daerah. Tak ada kebijakan afirmatif yang mewajibkan mereka menempatkan moderator lokal, membatasi algoritma yang memicu polarisasi, atau setidaknya bekerja sama dengan komunitas lokal dalam menangkal hoaks dan ujaran kebencian.
Ketiadaan regulasi yang tegas terhadap platform digital ini seakan-akan memberikan ruang mereka menjadi raja tanpa rakyat. Mereka menentukan arah opini, menyebarluaskan konten ekstrem tanpa pernah diminta pertanggungjawaban oleh negara.
Ketika ruang digital menjadi ajang baku hantam naratif, masyarakat dibiarkan saling menghakimi tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Seperti kondisi Sikka saat ini, warga terjebak dalam arus informasi tanpa pelampung. Lebih parah lagi, ketegangan ini sering kali dibaca sebagai demokrasi yang hidup oleh elite di pusat – padahal yang terjadi justru pembusukan di ruang publik.
Memang platform-platform ini menyediakan menu laporkan konten, namun ini tidak cukup. Negara harus lebih aktif mendesain sistem perlindungan digital berbasis komunitas lokal; memperkuat posisi lembaga penyiaran lokal, mendanai pusat-pusat edukasi digital di desa dan menekan platform global seperti Facebook agar bertanggung jawab secara sosial, bukan hanya secara ekonomi.
Negara juga harus menyadari bahwa ketimpangan digital tak hanya terjadi pada soal akses internet, tetapi juga pada akses perlindungan dan kontrol sosial atas ruang digital. Ketika Jakarta bicara tentang AI dan big data, Sikka masih bergelut dengan hoaks dan doxing. Menyedihkan.
Kita butuh negara yang tidak hanya hadir di infrastruktur, tetapi juga hadir dalam menjaga kesehatan mental dan sosial ruang publik digital.
Dan itu harus dimulai dari daerah – dari tempat seperti Sikka – yang selama ini selalu datang belakangan dalam daftar prioritas kebijakan.
Ketika Demokrasi Berubah menjadi Simulasi Kekuasaan Netizen
Di titik ini, kita patut bertanya ulang: benarkah apa yang terjadi di grup FPRS dan ruang digital Sikka adalah bentuk dari demokrasi digital? Atau kah hanya simulakra (tiruan demokrasi yang kehilangan substansi) – sebuah arena di mana rakyat merasa berdaulat hanya karena bisa berteriak paling keras?
Apa yang kita saksikan hari ini sebenarnya adalah gejala demokrasi digital yang terdistorsi oleh performativitas dan algoritma.
Netizen merasa memiliki kekuasaan karena bisa menghujat, melaporkan atau membuat petisi online. Tapi kekuasaan macam apa yang tak pernah diikuti tanggung jawab? Ini bukan demokrasi, ini ilusi partisipasi.
Evgeny Morozov dalam bukunya berjudul The Net Delusion menyebut fenomena ini sebagai cyber utopianism, sebuah kepercayaan buta bahwa internet secara otomatis membawa kebebasan dan perubahan sosial. Kenyataannya, media sosial justru sering memperkuat otoriatarianisme baru yang tak lagi berbaju seragam militer, tapi berbentuk trending topik dan buzzer.
Di Sikka, kita melihat bagaimana narasi politik dibajak oleh akun-akun anonim, konflik horizontal dibiarkan subur di forum yang konon peduli pada Rakyat Sikka, dan kemarahan dipelihara sebagai bahan bakar algoritmik.
Warga yang mestinya jadi pemilik ruang publik digital malah menjadi objek dalam sistem yang mempermainkan emosi mereka demi klik dan komentar.
Yang lebih menyedihkan, tidak ada yang menang dalam pertarungan ini. yang satu dilaporkan, yang lain melaporkan balik. Yang tersisa hanya masyarakat yang makin curiga satu sama lain, diskursus publik yang kehilangan arah, dan demokrasi lokal yang lumpuh karena tak ada lagi ruang bagi dialog yang tulus dan setara.
Sebagian warga mungkin merasa sedang memberantas ketidakadilan, tapi tanpa disadari mereka sedang memperpanjang rantai kekerasan simbolik.
Kekuasaan netizen dalam ruang digital ini, seperti kata Foucault, bukan kekuasaan dalam arti konvensional, tetapi bentuk disiplin sosial yang menundukkan lewat pandangan, pengawasan dan stigma kolektif.
Jika ini terus dibiarkan, maka yang kita wariskan kepada generasi mendatang bukanlah budaya demokrasi, melainkan budaya dendam dan ketakutan. Budaya di mana suara terbanyak bukan berarti kebenaran dan yang viral belum tentu visioner dan belum tentu benar.
Kita membutuhkan reset (pengaturan ulang) dalam membayangkan ulang ruang digital lokal. Demokrasi digital yang sehat tak lahir dari kebebasan mutlak, tapi dari keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara ekspresi dan etika, antara teknologi dan kemanusiaan.
Perlu Gerakan Kultural dan Kebijakan Serius
Setelah menyelami kebisingan di ruang digital Kabupaten Sikka dan menyelidiki peran media sosial dalam membentuk dinamika sosial politik lokal, kita harus sampai pada sebuah kesimpulan yang tidak bisa ditunda: perubahan nyata hanya bisa tercapai melalui gerakan kultural yang mendalam dan kebijakan yang berani dan serius.
Selama ini, kita telah terlalu lama bergantung pada kebijakan reaktif, yang hanya berupaya meredakan gejolak sementara tanpa memahami akar masalahnya. Literasi digital masih dianggap hanya sebagai pelatihan teknis dan administratif.
Padahal, yang dibutuhkan adalah transformasi budaya digital yang mengedepankan etika, empati dan pemahaman kontekstual atas dinamika lokal.
Gerakan kultural ini harus dimulai dari tingkat yang paling dasar: pendidikan digital yang humanis. Media sosial tidak hanya diajarkan sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai ruang untuk membangun kewarganegaraan digital yang bertanggungjawab.
Penggunaan platform seperti Facebook harus dihadirkan bukan hanya untuk berbagi informasi, tetapi juga untuk menyuarakan keberagaman, memperjuangkan keadilan sosial dan memfasilitasi partisipasi politik yang inklusif. Tanpa pendidikan ini, kita hanya terus terperangkap dalam lingkaran hoaks dan kebencian.
Gerakan ini tidak akan efektif tanpa kebijakan yang mendukung. Pemerintah, dengan wewenang dan sumber daya yang dimilikinya, harus segera hadir dalam regulasi yang tidak hanya mengatur tentang konten yang berbahaya, tapi juga menyentuh aspek tata kelola digital secara lebih mendalam.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu memainkan peran aktif. Tanpa kesadaran kolektif ini, ruang digital akan terus dipenuhi hiruk pikuk yang tidak produktif.
Sebagaimana dunia fisik yang memerlukan ruang publik yang aman, nyaman, inklusif, dunia digital pun membutuhkan upaya bersama untuk menjadikannya ruang yang sehat, beretika dan dapat memberdayakan semua warganya.
Akhirnya, demokrasi digital yang kita idamkan tidak hanya bergantung pada kebebasan berpendapat, tetapi juga pada kemampuan kita untuk berkomunikasi dengan bijak dan bertanggung jawab – baik secara lokal maupun global.
Gerakan ini harus dimulai dari kita – di Sikka, di pelosok-pelosok lainnya, dan di seluruh dunia. Jika ruang digital kita dibiarkan terjerumus lebih dalam ke dalam kecanduan konflik dan kebencian, maka kita hanya akan kehilangan ruang untuk berdebat secara adil, berdiskusi dengan bijaksana, dan membangun masyarakat yang lebih baik.
*Rini Kartini, ibu rumah tangga dan pengamat media