Masyarakat Adat Poco Leok Tolak Pertemuan dengan KfW Bank, Hentikan Pendanaan Proyek Geotermal

Permintaan ini disampaikan melalui surat yang dikirim ke Pimpinan Kreditansalt fur Widederaufbau Bank (KfW Bank) Jerman pada 18 Mei 2025.

Ruteng, Ekorantt.com — Warga dari 10 gendang (komunitas adat) di wilayah Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, secara tegas meminta agar KfW Bank asal Jerman menghentikan pendanaan untuk proyek panas bumi (geotermal) yang akan dikembangkan di daerah mereka.

Permintaan ini disampaikan melalui surat yang dikirim ke Pimpinan Kreditansalt fur Widederaufbau Bank (KfW Bank) Jerman pada 18 Mei 2025.

Dalam surat ini, warga menyoroti kekhawatiran mereka terkait dampak proyek terhadap lingkungan, tanah ulayat, dan kehidupan sosial budaya masyarakat adat setempat.

“Kami, warga adat dari sepuluh (10) Gendang Adat Poco Leok (Mucu, Mocok, Mori, Nderu, Ncamar, Cako, Rebak, Tere, Jong dan Lungar) di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, menyampaikan kembali sikap penolakan kami terhadap pendanaan oleh KfW Bank untuk proyek pengembangan PLTP Ulumbu 5-6 yang rencananya akan dibangun di wilayah adat Poco Leok, ruang hidup kami,” demikian cuplikan isi surat tersebut.

Mereka juga telah menyampaikan penolakan secara langsung kepada KfW Bank, baik melalui surat maupun saat kunjungan tim konsultan independen bank tersebut ke Poco Leok pada 3 September 2024.

Tim tersebut terdiri dari dua antropolog, Nestor Castro (University of the Philippines) dan Andi Prasetyo (Universitas Diponegoro), dengan Indra Susanto (Universitas Katolik St. Paulus Ruteng) sebagai penerjemah.

“Dalam pertemuan itu, kami menyampaikan dengan jujur dan lantang bahwa proyek ini tidak kami inginkan,” tegas perwakilan warga.

Mereka menolak proyek karena dinilai mengancam ruang hidup, tanah adat, keselamatan ekologis, dan masa depan generasi penerus.

Warga mempertanyakan tujuan pertemuan yang kembali diadakan setelah sembilan bulan tanpa kejelasan. Mereka menilai pendekatan KfW cenderung manipulatif dan hanya bertujuan memenuhi syarat administratif demi melanggengkan pendanaan.

“Jika itu benar, maka hal tersebut adalah bentuk penipuan dan penghinaan terhadap martabat kami sebagai manusia, khususnya sebagai masyarakat adat,” tulis mereka.

Mereka juga mengungkapkan bahwa selama proses proyek berlangsung, berbagai bentuk kekerasan terus terjadi terhadap warga, termasuk intimidasi, kriminalisasi, pelecehan, hingga pelaporan ke kepolisian, hanya karena mempertahankan tanah dan hak adat mereka.

“Situasi ini tidak terlepas dari proyek yang kalian danai. Jika KfW Bank tidak ingin tercatat sebagai bagian dari kejahatan kemanusiaan ini, hentikan segera seluruh rencana pendanaan kalian untuk Geotermal Poco Leok,” tegas warga.

Sebagai penutup, masyarakat Poco Leok menegaskan bahwa tanah adat mereka bukanlah zona investasi, melainkan wilayah sakral tempat mereka hidup, beranak-pinak, berdoa, dan berhubungan dengan leluhur serta alam.

“Kami tidak akan menyerahkan tanah ini untuk proyek yang kami tolak. Hentikan pendanaan. Hentikan keterlibatan kalian dalam kekerasan. Hentikan proyek Geothermal di tanah adat Poco Leok.”

Tidak Bisa Hanya melalui Bupati

Terpisah, Menteri Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Natalius Pigai menegaskan, persetujuan masyarakat dalam proyek investasi, termasuk geotermal, tidak bisa hanya melalui kepala daerah seperti bupati.

Hal itu disampaikan dalam kuliah umum bertajuk “Pembangunan HAM di Indonesia” yang digelar Universitas Katolik Indonesia (Unika) Santu Paulus Ruteng di Lapangan Missio, Rabu, 21 Mei 2025.

Acara yang dihadiri ribuan peserta, termasuk mahasiswa, dosen, dan civitas akademika Unika Santu Paulus Ruteng itu menjadi forum penting untuk membahas isu-isu aktual terkait hak asasi manusia, termasuk konflik yang muncul dari rencana pembangunan proyek geotermal di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Dalam sesi tanya jawab, Ayentonia Indra Kurnia, mahasiswi Prodi D3 Kebidanan, menanyakan langkah konkret Kementerian HAM RI dalam melindungi kelompok rentan, khususnya terkait polemik proyek geotermal yang saat ini masih menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.

Menanggapi hal tersebut, Natalius Pigai menjelaskan, kementeriannya telah menetapkan delapan kriteria utama yang harus dipenuhi dalam setiap proses investasi, khususnya di daerah. Tiga di antaranya adalah right to know (hak untuk tahu), clean and clear (kejelasan status lahan), dan pelibatan masyarakat secara langsung dalam pengelolaan investasi.

Right to know atau partisipasi, diberitahu, panggil orangnya, panggil masyarakatnya, datangi mereka bahwa saya akan mau investasi di tempat ini,” jelas Pigai.

Ia menambahkan, persetujuan masyarakat tidak bisa digantikan dengan persetujuan pejabat, seperti camat atau bupati.

“Kalau dia tidak terbuka, dia hanya datang ketemu camat, bupati lalu persetujuan Bupati, itu dianggap atau ditempatkan sebagai persetujuan warga nggak bisa. Itu menentang apa yang namanya partisipasi atau right to know,” tegas Pigai.

Selain itu, Pigai menekankan pentingnya prinsip clean and clear dalam kepastian hukum atas lahan yang akan digunakan. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada konflik agraria atau sengketa lahan yang dapat merugikan masyarakat.

“Jadi dipastikan clean and clear terhadap lahan,” tegas Pigai.

Ia mengingatkan agar masyarakat sekitar dilibatkan dalam pengelolaan investasi, baik dalam bentuk usaha mikro, pemberdayaan ekonomi lokal, maupun kesempatan kerja, mulai dari level buruh hingga manajemen.

“Kita ingin agar masyarakat lokal juga mendapat manfaat langsung dari keberadaan investasi itu,” pungkasnya.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA