Bajawa, Ekorantt.com – Ratusan warga dari berbagai daerah terdampak proyek industri ekstraktif di Indonesia mendeklarasikan Hari Anti Tambang (Hatam) 2025 sebagai bentuk perlawanan terbuka terhadap praktik ekstraktivisme yang dianggap merusak ruang hidup dan merendahkan martabat masyarakat adat.
Deklarasi dibacakan pada Kamis, 29 Mei 2025 di Kemah Tabor Mataloko, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
Dalam pernyataan bertajuk “Pulihkan Bumi, Hentikan Perampokan dengan Dalih Mitigasi Krisis Iklim!”, perwakilan komunitas dari Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara, hingga Maluku menegaskan sikap mereka terhadap ekspansi industri tambang dan energi.
Seruan ini datang dari puluhan wilayah yang selama ini menjadi tapak proyek geotermal, nikel, hingga tambang batubara.
Warga membawa poster dengan pesan-pesan tajam, di antaranya “Hijau Palsu Luka Nyata”, “Flores Bukan Pulau Panas Bumi”, dan “Dari Batubara ke Nikel: Sistem Tetap Menindas”. Aksi juga disertai kampanye media sosial melalui tagar #ilusitransisienergi.
Dalam deklarasi disebutkan bahwa proyek-proyek ekstraktif yang dibungkus narasi pembangunan justru menjadi dalih bagi perampasan ruang hidup.
Gunung digali, laut ditimbun, dan hutan dihancurkan demi keuntungan korporasi.
Negara dinilai turut andil sebagai fasilitator melalui pemberian izin investasi dan pengerahan aparat keamanan.
“Dari Sumatera Utara hingga Flores Timur, kami bersatu menjaga ruang hidup terakhir yang tersisa,” ujar salah satu orator.
“Kami bukan menolak pembangunan, tapi menolak pembangunan yang menindas.”
Suara-suara Perlawanan
Harwati, warga Porong, Sidoarjo, menyampaikan bahwa dampak proyek ekstraktif paling dirasakan oleh perempuan. Ia menyerukan agar perempuan di seluruh komunitas tidak tinggal diam.
“Jika perempuan dibiarkan lemah, maka generasi yang akan dilahirkan pun akan tumbuh dalam kelemahan. Perempuan harus berani melawan,” tegasnya.
Dari Sumatera Utara, Ahmad Royhan Nasution, warga Mandailing Natal, mengungkap bagaimana perusahaan dan negara menyusun narasi menyesatkan demi melanggengkan proyek ekstraktif.
“Perusahaan menyebarkan kebohongan. Aparat keamanan digunakan untuk menekan warga, dan sebagian akademisi ikut melegitimasi proyek-proyek yang menyengsarakan rakyat,” katanya.
Johntar Sinaga, warga Sarulla, menggambarkan bagaimana tambang telah menghancurkan pertanian mereka.
“Sawah kami mulai mendidih, hutan kemenyan kami tidak lagi bergetah. Kami menghadapi tekanan ekonomi yang berat. Tambang telah membuat kami jatuh dalam kemiskinan,” ucapnya.
Dari dataran tinggi Dieng, Atika Zenit menyuarakan kekhawatiran atas dampak proyek geotermal terhadap kesehatan.
“Gas hidrogen sulfida (H2S) membuat lingkungan kami tercemar. Banyak warga menderita gangguan paru-paru. Bernapas pun menjadi sulit. Ini bukan kehidupan yang layak,” tuturnya.
Cece Jaelani, warga Gunung Gede Pangrango, menyebutkan bahwa tanah yang dirampas atas nama pembangunan justru melahirkan para pejuang.
“Desa, kampung, dan pulau seharusnya menjadi ruang hidup masyarakat, bukan milik segelintir orang yang serakah,” ujarnya.
Sementara itu, Andreas Ledjap dari Atakore, Lembata, mengecam upaya pemerintah dan korporasi yang memecah belah solidaritas warga.
“Mereka menuduh kami provokator, padahal merekalah yang menciptakan konflik dan perpecahan,” katanya.
Penolakan Flores sebagai Pulau Panas Bumi
Perwakilan warga dari Flores Timur dan Nagekeo, Darius Boro Beda dan Irminus Deni, mengecam keputusan pemerintah yang menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi sejak 2017.
“Ketika tanah digusur, nama-nama leluhur pun hilang. Ini bukan sekadar perampasan fisik, tapi juga penghancuran identitas,” tegas Irminus.
Goris Lako, salah satu warga yang hadir berkata, “Jika tanah kami dirampas, di mana kami harus hidup? Kita tidak bisa berpijak di langit atau angin. Kita harus bela tanah ini, anugerah Tuhan yang paling mulia.”
Valentinus Emang, dari Wae Sano menegaskan, “Pohon adalah rambut, batu adalah tulang, air adalah darah, dan tanah adalah daging dari ibu kita.”
Imanuel Tampani, warga Besipae, Pulau Timor menyatakan, “Jangan beri celah sedikit pun bagi penguasa untuk merebut ruang hidup kita.”
Atry Dahelen, dari Poco Leok menegaskan, “Jangan relakan rahimmu melahirkan generasi baru di bumi yang keropos dan sekarat.”
Veronika Lamahoda, warga Adonara mengatakan, “Jangan takut menghadapi ketidakadilan, karena keadilan akan menemukan jalannya sendiri.”
Ekstraktivisme: Pembangunan yang Menyesatkan
Pastor Reginald Piperno dari JPIC Keuskupan Agung Ende menyebut ekstraktivisme sebagai bentuk baru penjajahan yang datang dengan janji palsu.
“Mereka mengatasnamakan pembangunan, tapi yang tumbuh hanyalah konflik dan penderitaan. Hutan dirampas, tanah dihancurkan, sungai dikotori, dan masyarakat terusir dari tanah leluhurnya,” tegasnya.
Sementara itu, Melki Nahar, Koordinator Nasional JATAM, menegaskan bahwa perjuangan melawan industri ekstraktif tidak bisa dilakukan secara terpisah.
Ia menekankan pentingnya membangun solidaritas lintas sektor untuk menghadapi sistem yang merusak kehidupan.
“Satukan barisan. Petani, nelayan, seniman, buruh, jurnalis, aktivis, dan semua yang mencintai kehidupan harus berdiri bersama. Satukan suara dan langkah, karena perlawanan ini harus terhubung. Yang kita hadapi adalah sistem yang sama—sistem rakus yang menukar kehidupan dengan keuntungan jangka pendek,” tegasnya.