Oleh: Erlyn Lasar*
Di tengah derasnya arus digitalisasi, media sosial tak lagi sekadar ruang ekspresi, tetapi telah menjelma menjadi ladang ekonomi baru. Platform seperti Facebook Pro kini menawarkan peluang monetisasi yang menggiurkan: siapa pun bisa menjadi kreator konten berbayar, termasuk para guru. Fenomena ini bahkan tak terelakkan.
Banyak pendidik mulai aktif membagikan kehidupan sehari-hari mereka; mulai dari rutinitas pagi di dapur atau halaman rumah hingga gaya berpakaian ke sekolah alias outfit of the day check demi menjangkau audiens yang lebih luas dan, tak jarang, mengejar penghasilan tambahan.
Namun dalam semangat berbagi itu, muncul praktik yang patut kita renungkan bersama: guru yang merekam atau bahkan menyiarkan langsung proses mengajarnya di kelas.
Tentu, teknologi dapat memperkaya pengalaman belajar. Tapi ketika kamera diarahkan bukan untuk refleksi atau dokumentasi pembelajaran, melainkan untuk memburu likes, viralitas, dan selera algoritma, kita berhadapan dengan pertanyaan penting: untuk siapa sebenarnya proses itu dilakukan?
Profesi guru menuntut lebih dari sekadar kemampuan berbicara di depan kelas. Ia adalah panggilan untuk hidup dalam nilai-nilai pendidikan: keteladanan, empati, dan kehadiran autentik.
Seperti diingatkan Paulo Freire (1970), pendidikan adalah praktik pembebasan, bukan sekadar pertunjukan. Ketika proses belajar menjadi konten konsumsi publik tanpa perlindungan terhadap privasi dan martabat peserta didik, maka ada risiko pendidikan tergelincir menjadi tontonan. Kita tidak lagi mendidik, tetapi memproduksi citra.
Ada bahaya yang tak kasatmata saat guru merasa lebih “hidup” karena tampil di feed ketimbang hadir penuh dalam proses belajar. Ketika validasi lebih banyak datang dari penonton anonim dibandingkan dari peserta didik yang nyata, maka identitas profesional pun bisa kabur.
Parker J. Palmer dalam The Courage to Teach (1998) mengingatkan bahwa kualitas pengajaran lahir dari integritas pribadi, bukan semata teknik atau visualisasi. Mengajar bukanlah performa, melainkan praktik relasional yang jujur.
Tentu saja, ini bukan seruan untuk menjauhi media sosial. Justru ruang digital bisa menjadi alat penting untuk berbagi praktik baik, membangun komunitas belajar, dan memperluas pengaruh pendidikan. Namun perlu ada kejelasan arah: apakah kehadiran guru di media sosial memperkuat misi pendidikannya, atau justru memperlemah kompas etiknya?
Di tengah derasnya notifikasi, tren, dan target digital, mungkin sudah saatnya guru memiliki ruang jeda untuk menata ulang prioritas. Alat refleksi sederhana seperti Eisenhower Matrix bisa menjadi teman harian yang membantu memilah antara hal-hal yang penting dan mendesak.
Membuat konten bisa terasa mendesak, tetapi apakah itu sungguh penting bagi perkembangan peserta didik? Sebaliknya, menemani siswa yang sedang patah semangat atau merancang pembelajaran bermakna mungkin justru tidak mendesak, tapi sangat penting.
Pilihan-pilihan kecil inilah yang secara perlahan membentuk siapa kita; di ruang-ruang sunyi yang tak terekam kamera, seorang guru membangun nilai dan pengaruh yang tahan waktu. Sebab identitas guru tidak dibentuk oleh sorotan, tetapi oleh kesetiaan terhadap hal-hal yang mungkin tak terlihat namun justru paling berdampak.
*Penulis adalah mahasiswa di Monash University