Larantuka, Ekorantt.com – Theresia Bunga Hurint, usia 62 tahun, asal Desa Bantala, Kecamatan Lewolema, Kabupaten Flores Timur mempunyai keahlian menjahit. Kecintaan pada bidang ini sudah tertanam jauh sebelumnya saat ia masih duduk di bangku SD.
Keterampilan ini terus diasah dan dikembangkan secara terus menerus baik di rumah maupun melalui pelatihan atau kursus oleh para suster dari Paroki Riangkemie.
“Waktu itu saya masih kelas dua SD. Saya bukan peserta kursus karena waktu itu masih kecil. Saya lihat-lihat dan mengamati saja ketika suster beri pelatihan. Dari situ saya punya niat untuk bisa menjahit,” cerita Theresia, pada Minggu pagi.
Tidak seperti penjahit pada umumnya, ibu dua anak ini justru lebih fokus menjahit pakaian adat budaya Lamaholot. Ia ingin merawat keaslian motif tenunan melalui usaha busana komersial.
Ketertarikannya untuk menjahit pakaian adat ini juga tidak terlepas dari pengaruh mendiang ayahnya Agustinus Pati Hurint yang merupakan seorang Dewan Menteri Kerajaan Larantuka.
“Ada kain-kain sisa dari upacara acara adat dengan Suku Fernandez Ai Koli di Kerajaan Larantuka. Dari kain sisa itu, saya disuruh ayah untuk coba jahit jadi kain meja. Setelah saya coba ternyata bisa. Lalu, ada sisa kain lainnya saya jahit jadi pakaian seragam sekolah,” tutur Theresia.
“Jadi, seragam sekolah saya dulu itu saya jahit sendiri. Beberapa seragam sekolah teman-teman dan keluarga juga saya jahit buat mereka. Akhirnya, dari situ saya mulai terbiasa menjahit,” kenang Theresia.
Selanjutnya, untuk mengasah keterampilan menjahit, ia kemudian mengikuti kursus menjahit bersama para suster di paroki Hokeng, Kecamatan Wulanggitang.
Keterampilan menjahit mulai ia jadikan usaha untuk meningkatkan pendapatan ekonomi sejak tahun 1981.
Kala itu, ia dipercayakan untuk menjahit busana adat bermotif budaya Lamaholot untuk para pelayan dan penerima tamu saat misa tahbisan pastor di kampung.
“Waktu acara tahbisan pastor itu, saya diminta untuk jahit seragam pakaian adat budaya Lamaholot perempuan dan laki-laki, untuk para pelayan, dan penerima tamu. Waktu itu, saya diberi uang. Nah, dari situ saya mulai usaha kecil-kecilan dari menjahit ini untuk tingkatkan ekonomi rumah tangga,” cerita Theresia.
Dilirik Raja Larantuka
Salah satu kekhasan dari buah tangan Theresia adalah mempertahankan motif-motif asli tradisi budaya Lamaholot.
Motif-motif ini diambil dari tradisi ‘Kenirek’ atau tradisi mengukir pada ‘Korke’ atau rumah adat dan tradisi ‘Tato’ dalam budaya Lamaholot khususnya budaya masyarakat di Desa Bantala.
“Saat ini motif-motif pakaian adat yang dikenakan sudah banyak variasinya. Nah, kalau saya punya, masih pertahankan motif-motif yang asli yang diambil dari motif-motif yang ada di Korke atau rumah adat,” ungkap Theresia.
Suatu ketika, cerita keterampilan Theresia dalam upaya mempertahankan keaslian pakaian adat bermotif budaya Lamaholot ini didengar Raja Kerajaan Larantuka, Don Martinus DVG.
Raja Larantuka kemudian memesan sebanyak delapan buah baju budaya Lamaholot untuk diberikan kepada para Ketua Suku Kakang Pou Lema (suku-suku pelaksana ritus Agama Katolik dalam prosesi Semana Santa).
“Saya dapat permintaan delapan buah baju oleh Raja Larantuka. Satu buah baju diberikan untuk Raja Larantuka dan tujuh buah lainnya diberikan untuk Ketua Suku Kakang Pou Lema,” ujar dia.
Menurutnya, menjahit busana adat Lamaholot punya tingkat kerumitannya tersendiri karena terdapat banyak ragam motifnya.
Sebab, setiap motif mempunyai filosofi dan maknanya sendiri. Misalnya motif Oe Nulun (Ketupat dan gerigi) itu bermakna simbol kebesaran seorang raja atau Tuan Tanah.
Setiap suku-suku juga punya motifnya sendiri-sendiri. Motif dopi atau tameng dan pedang itu hanya pada suku-suku tertentu yang punya keahlian berperang.
“Jadi, tidak boleh salah dalam pembuatannya. Belum lagi, motif untuk perempuan dan laki-laki juga berbeda,” ujar Theresia.
Upaya Kaderisasi
Merintis usaha sebagai penjahit sejak era 1980-an di sebuah desa terpencil bukanlah perkara yang mudah.
Bermodalkan mesin jahit tua, warisan sang ayah, niat untuk terus menjahit tetap ditegakkan oleh Theresia. Sayangnya, seiring berjalannya waktu mesin jahit tua itu rusak karena termakan usia.
Usahanya sempat terhenti kurang lebih satu tahun lamanya. Akhirnya, untuk melanjutkan usahanya Ia terpaksa untuk meminjam uang melalui program anggur merah.
“Usaha sebagai penjahit di kampung, tentu pendapatannya tidak banyak. Pendapatan itu hanya bisa untuk bantu makan minum dan biaya anak-anak sekolah. Pendapatan tidak cukup untuk kembangkan usaha,” tutur Theresia.
“Akhirnya, saya pinjam uang lewat program anggur merah. Saya beli dua mesin jahit. Satunya digunakan untuk jahit, satunya untuk bordir”.
Berkat pinjaman itu, pernah sekali ia meraup keuntungan dari hasil jahit mencapai Rp9 juta dari suatu kegiatan pergelaran.
Para pemesan busana adat Lamaholot ini tidak hanya berasal dari Larantuka dan Lembata, namun juga warga diaspora Lamaholot yang ada di Jawa, kata dia.
Theresia menyebutkan satu faktor banyaknya pesanan busana karena ia masih mempertahankan motif asli budaya Lamaholot.
“Kalau kainnya disiapkan pemesan harga per bajunya Rp300 ribu. Kalau, kain saya yang siapkan maka per baju Rp500 ribu,” tutur Theresia.
Ia berharap agar usaha menjahit busana adat budaya Lamaholot ini dapat berkembang dan dapat diwariskan untuk generasi selanjutnya.
“Saya ingin punya bangunan usaha menjahit sendiri dan bisa beli mesin jahit tambah lagi. Sehingga, saya bisa latih anak-anak di sini untuk menjahit pakaian khususnya busana adat Lamaholot,” harap Theresia.
Baginya, usaha menjahit budaya adat Lamaholot bukan hanya sekadar usaha atau bisnis biasa, melainkan suatu ikhtiar yang dipegangnya untuk mewariskan nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh para leluhur Lamaholot melalui motif.
Sebab setiap motif mempunyai filosofi dan nilainya tersendiri, seperti nilai persatuan, nilai kelembutan sebagai perempuan Lamaholot, nilai ksatria sebagai laki-laki Lamaholot, nilai tanggungjawab, dan kerja keras.
“Ketika menjahit pakaian adat ini, saya jadi ingat kembali bagaimana wajah orang tua dan kakek saya dahulu. Mereka mewarisi saya dengan kerja keras, tanggung jawab, dan hal-hal prinsip dalam membangun kampung ini,” tutup Theresia.