Larantuka, Ekorantt.com – Mesin penyedot air sumur yang menyuplai kebutuhan air bersih bagi pengungsi Lewotobi Laki-laki, di hunian sementara (Huntara) 1 dan 2 Desa Konga, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, NTT, rusak dan tidak berfungsi lagi.
Akibatnya, suplai air untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK) bagi 479 kepala keluarga atau lebih dari 700 jiwa penyintas Lewotobi terhambat.
Pengungsi pun kesulitan mengakses air bersih. Mereka terpaksa menempuh sejauh tiga kilometer ke Desa Nobo untuk menimba air. Sementara pemerintah daerah setempat belum mengambil langkah penanganan.
Kepala Pelaksana BPBD Flotim, Fredy Moat Aeng, mengatakan bahwa telah menerima keluhan pengungsi terkait kesulitan akses air bersih sebulan terakhir.
“Secepatnya kita akan ambil (tandon air) dari posko lapangan untuk ditempatkan di huntara,” kata Fredy saat dikonfirmasi Ekora NTT di ruang kerjanya, Kamis, 26 Juni 2025.
Pemerintah, kata dia, berencana memperbaiki atau mengadakan alat mesin genset baru untuk memanfaatkan air sumur. Pasalnya, dinamo penyedot air sumur sudah tidak dapat berfungsi.
“Biaya menggantikan dinamo baru dan biaya instalasi pengerjaan itu bisa mencapai 15 juta. Jadi saya suruh cek. Apakah rusak keseluruhan kah, atau hanya alat atau item tertentu saja yang rusak,” kata Fredy.
Fredy bilang pihaknya telah meminta pemerintah kecamatan untuk melaporkan kondisi peralatan penyedot air di lokasi pengungsian.
“Tapi, sampai sekarang juga belum disampaikan alat apa yang rusak dan mereka belum datang ke sini untuk ambil biaya perbaikan dan pengerjaan,” kata Fredy.
Sementara itu, Veronika Renggi, 45 tahun, warga Desa Boru, mengatakan bahwa dari tiga sumur bor yang ada di sekitar lokasi pengungsian, hanya satu sumur yang dapat digunakan.
“Itu pun debit airnya kecil,” kata Veronika di Konga, Rabu, 25 Juni 2025.
Sedangkan dua sumur lainnya tidak digunakan karena permasalahan teknis. Dua mesin genset tidak berfungsi karena kehabisan bahan bakar dan persoalan upah penjaga yang belum dibayar.
Veronika menuturkan air sumur bor yang selama ini dikonsumsi penyintas tidak layak dari segi kesehatan karena memiliki kadar kapur yang tinggi.
Demi memenuhi kebutuhan air minum yang layak, Veronika dan para pengungsi lain terpaksa mengocek saku membeli air galon yang terdekat seharga Rp7.000 per galon.
“Apa yang bisa kami buat pak. Kami uang dapat dari mana? Omong jujur. Kalau di kampung itu bagus ada hasil bumi. Seperti kopra, kemiri, kelapa, kami bisa ambil jual, bisa dapat uang pak. Tapi di sini tidak ada pak,” jelas Veronika.