Terranusa Kritik Tajam Laporan Satgas Geotermal Flores, Minim Fakta dan Keberpihakan

Ruteng, Ekorantt.com – Laporan investigasi Satuan Tugas Penyelesaian Masalah Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Pulau Flores menuai kritik tajam dari lembaga Terranusa Indonesia. Laporan itu disampaikan dalam Rapat Koordinasi Uji Petik yang digelar di Hotel Harper, Kota Kupang, Jumat, 4 Juli 2025.

Satgas ini dibentuk oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur, Melki Laka Lena, untuk merespons berbagai penolakan masyarakat terhadap proyek-proyek geotermal di wilayah tersebut.

Terranusa, lembaga yang fokus pada isu hak asasi manusia dan demokrasi, mengaku telah menerima sejumlah dokumen digital dari hasil presentasi satgas tersebut.

Direktur Eksekutif Terranusa Indonesia, Emilianus Afandi, mempertanyakan integritas dan objektivitas laporan itu.

“Laporan ini diberi embel-embel diksi ‘investigasi’. Sebuah langkah baik namun hasilnya minim fakta dan keberpihakan,” kata Emilianus dalam keterangannya yang diterima Ekora NTT, Kamis, 10 Juli 2025.

Menurutnya, sejak awal pembentukan tim satgas tersebut, pihaknya telah menyuarakan kekhawatiran atas kurangnya keterlibatan kelompok independen.

Ia menilai komposisi tim yang didominasi oleh unsur pemerintah membuat laporan sulit dipercaya publik.

“Bagaimana mungkin sebuah laporan itu diterima publik apabila di dalam tim adalah orang-orang pemerintahan, yang justru dipandang sebagai sumber masalah, baik dari aspek kebijakan maupun pendekatan proyek,” lanjut Emilianus.

Dari enam lokasi pengembangan panas bumi yang dikunjungi, Atadei, Sokoria, Mataloko, Ulumbu, Wae Sano, dan Nage, Terranusa mempertanyakan validitas data dan sumber informasi yang digunakan dalam laporan tersebut.

Di Ulumbu, misalnya, Emilianus menyoroti keberpihakan laporan pada kelompok pendukung proyek.

“Ambil contoh Ulumbu. Laporan tersebut hanya memperlihatkan aksi dukungan dari kelompok yang pernah mengungkapkan bahwa mayoritas massa aksi pendukung geotermal adalah bukan orang Poco Leok asli,” ungkapnya.

Ia juga menyayangkan tidak dimasukkannya temuan KfW Development Bank yang menyoroti adanya pelanggaran terhadap prinsip Free, Prior, Informed, and Consent (FPIC) di lokasi tersebut.

Lebih jauh, Terranusa mengkritik laporan karena dinilai abai terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak-hak mereka.

Emilianus menyebut, laporan tidak mengandung perspektif Indigenous Peoples Plan (IPP), yang semestinya menjadi bagian dari proses perencanaan pembangunan.

“Jangan-jangan, para peneliti satuan tugas ini tidak pernah tahu atau bahkan mengingkari adanya entitas masyarakat adat yang hidup di berbagai lokasi proyek tersebut,” katanya.

Emilianus juga menilai laporan terkait PLTP Atadei dan Ulumbu membingungkan dan memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.

“Ambil contoh laporan terkait PLTP Atadei dan Ulumbu. Di dalam bagian rekomendasi disinggung terkait tokoh adat. Akan tetapi tidak dijelaskan apakah ada Indigenous Peoples Plan (IPP),” tegasnya.

Sorotan lain adalah ketiadaan pembahasan mengenai pendanaan proyek panas bumi, termasuk potensi keterlibatan entitas asing.

“Tim juga tidak menyinggung apakah terdapat skema Geothermal Resource Risk Management (GREM) World Bank melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) yang diakses oleh PT PLN?” tukasnya.

Menurutnya, hal ini sangat krusial mengingat keterlibatan lembaga pembiayaan internasional mensyaratkan kepatuhan pada standar perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Secara metodologis, laporan juga dianggap bermasalah. Emilianus menilai waktu penelitian terlalu singkat, sumber informasi kurang diverifikasi, serta netralitas tim diragukan.

“Masa waktu penelitian yang menurut kami kurang, verifikasi informasi dan sumber informasi, netralitas dan objektivitas tim satuan tugas merupakan pertanyaan kunci atas laporan tersebut,” beber Emilianus.

Ia mencontohkan kasus Poco Leok di Ulumbu. Menurutnya, laporan tidak mengakui adanya penolakan mayoritas masyarakat adat terhadap pengembangan proyek PLTP Ulumbu 5-6.

“Apa arti laporan ini bagi kami? Tidak lebih dari sebuah upaya pemaksaan kehendak agar setiap rencana pembangunan geotermal di Flores diterima karena dinilai baik, tidak menjadi masalah apabila ada pelanggaran HAM di sana,” jelasnya.

Lebih jauh, ia menilai laporan itu justru berpotensi memicu konflik horizontal baru ketimbang meredamnya.

“Dengan kata lain, menyedihkan!” tegas Emilianus.

Sebagai informasi, Pulau Flores telah ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi oleh Kementerian ESDM melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 2.268 K/30/MEM/2017 tertanggal 19 Juni 2017.

Sejumlah proyek geotermal seperti di Ulumbu, Poco Leok, Wae Sano, Mataloko, dan Sokoria, masih terus menghadapi gelombang penolakan dari masyarakat setempat, termasuk lembaga keagamaan.

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img