Sebuah Pelajaran Menjadi Guru: Mengenali Diri Lebih Dulu

Raut wajah mereka tetap tenang, seperti biasa, seolah pertanyaan itu wajar saja dilemparkan setelah satu jam diskusi metodologi yang rumit.

Oleh: Erlyn Lasar

Dalam salah satu sesi bimbingan yang cukup menegangkan, saya dibuat terdiam oleh satu pertanyaan yang dilontarkan pembimbing saya di akhir pertemuan: “Anyway, who are you, really?”

Raut wajah mereka tetap tenang, seperti biasa, seolah pertanyaan itu wajar saja dilemparkan setelah satu jam diskusi metodologi yang rumit.

Tapi saya tahu, itu bukan pertanyaan iseng. Ia datang seperti tamu tak diundang yang mengetuk kesadaran. “Sudah satu semester lebih saya dibimbing, dan sekarang mereka masih bertanya siapa saya?” batin saya. Tapi di situlah justru letak kekuatannya.

Pertanyaan itu menggantung, sekaligus menyulut harapan. Saya merasa diajak masuk lebih dalam, bukan hanya ke soal-soal penelitian, tetapi ke dalam lapisan paling awal dan paling jujur dari kerja pendidikan: mengenali diri. Dan semakin saya renungkan, pertanyaan itu sebenarnya sangat relevan untuk siapa pun yang berdiri di depan kelas.

Siapa kita, sungguh-sungguh, sebagai manusia, sangat memengaruhi siapa kita sebagai guru. Sebab setiap guru membawa cerita hidupnya ke dalam kelas: nilai-nilai yang ia hidupi, pengalaman masa kecil yang membekas, guru-guru yang menginspirasi atau menyakiti, luka yang belum sembuh, pun harapan yang belum padam. Semua itu ikut duduk juga di bangku guru bersama kita, kadang diam-diam, tapi terus bekerja dalam setiap keputusan pedagogis yang kita ambil.

Parker J. Palmer, dalam bukunya The Courage to Teach (1998), berulang-ulang menekankan tentang kesadaran, tentang narasi pribadi yang sebenarnya sungguh mendasari bagaimana seorang guru mendidik.

Ia mengatakan, “we teach who we are”: kita mengajar dari siapa diri kita, bukan sekadar dari apa yang kita ketahui. Kalimat ini sederhana namun cukup menukik. Sebab kita bisa menguasai teori pendidikan dan strategi pembelajaran, tapi kalau kita tak pernah menengok ke dalam dan bertanya: siapa saya sebenarnya, dan mengapa saya memilih jalan ini? maka proses mengajar bisa saja berubah jadi sekedar aktivitas mekanis belaka.

Sayangnya, sistem pendidikan kita jarang memberi ruang untuk pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti itu. Guru lebih sering dilatih untuk menyusun RPP yang sesuai format, mengejar ketercapaian indikator, atau menyesuaikan gaya ajar dengan profil peserta didik berbasis data. Semuanya penting, tentu. Tapi terlalu lama kita bergerak di permukaan, dan lupa bahwa di bawah semua teknik mengajar itu, ada dimensi batin yang jauh lebih menentukan yakni narasi pribadi seorang guru.

Narasi pribadi ini bukan sekadar biografi. Ia adalah cara kita mengisahkan hidup kita, bagaimana kita memaknai masa lalu, apa yang kita anggap penting hari ini, dan untuk siapa kita melangkah ke depan, dalam kerangka menjadi seorang pendidik.

Dalam riset-riset pendidikan, seperti yang digagas Kelchtermans dan Palmer misalnya, narasi ini terbukti sangat memengaruhi bagaimana guru mengambil keputusan, merespons konflik, mengelola perbedaan, bahkan memahami “keberhasilan” peserta didik di kelas.

Guru yang pernah merasa ditolong oleh seorang guru lain, cenderung hadir lebih empatik di kelas. Guru yang pernah tumbuh dalam sistem yang menekan, mungkin akan lebih sadar untuk menciptakan ruang belajar yang bebas dan manusiawi. Ini bukan soal teknik, tapi soal cara memaknai peran dan hubungan dengan peserta didik. Dan ini semua lahir dari narasi diri yang jujur.

Kabar baiknya, narasi itu bukan sesuatu yang baku. Ia bisa diolah, dipertanyakan, ditulis ulang, dan dibentuk ulang dengan sadar. Melalui refleksi, melalui percakapan jujur antar guru, melalui tulisan pribadi, atau bahkan lewat momen-momen hening di ujung hari mengajar yang melelahkan. Kita bisa mengolah narasi itu agar makin jernih, otentik, dan memberdayakan.

Sebab melalui refleksi mendalam, dialog sejawat, menulis jurnal harian, atau praktik pedagogi naratif, guru bisa terus bertanya dan menyusun ulang cerita tentang dirinya. Bahkan luka atau kegagalan pun, jika dilihat secara reflektif, bisa menjadi sumber makna baru.

Palmer menyebut proses ini sebagai inner work, atau kerja ke dalam, yang tak kalah penting dari kerja ke luar. Mengapa ini penting? Karena sekali lagi, otentisitas guru terasa di ruang kelas. Peserta didik bisa membedakan guru yang hadir dengan tulus dan guru yang sekadar menjalankan peran. Guru yang mengenal dirinya akan lebih mudah menciptakan ruang aman bagi murid untuk juga mengenal dirinya sendiri. Dan dalam dunia yang kian penuh tekanan sosial ini, kemampuan menjadi diri sendiri adalah bekal hidup yang sangat berharga.
Tentu ini bukan perkara mudah. Tak semua guru punya waktu, ruang, atau keberanian untuk menengok ke dalam. Tapi membangun narasi yang jujur bukan berarti membuka semua luka. Ia justru soal menerima kompleksitas diri: bahwa kita pernah gagal, pernah ragu, pernah marah, dan itu manusiawi. Justru dari situ kehangatan muncul, bukan dari kepura-puraan.

Lagi-lagi, tentu ini bukan proses yang instan sebab tak semua guru punya ruang untuk merenung, apalagi menuliskan ulang narasi hidupnya. Tapi sekolah dan lembaga pendidikan bisa mulai menciptakan ruang kecil: sesi-sesi refleksi yang sungguh-sungguh, bukan sekadar formalitas dan laporan supervisi; komunitas pembelajar yang saling mendengarkan, bukan saling menilai apalagi saling membentuk kubu; dan pelatihan yang menghidupkan kembali semangat, bukan sekadar keterampilan teknis. Karena guru bukan hanya pelaksana kurikulum, ia adalah manusia yang tengah menjalani proses pembentukan dirinya sendiri, terus-menerus.

Lagipula, mengajar adalah kerja hati, bukan hanya kerja otak. Dan hati itu dibentuk dari perjalanan panjang yang kita lalui sebagai manusia. Maka mari kita mulai melihat tugas kita sebagai guru bukan hanya dari tentang teknis mengajar saja, tapi juga dari cerita hidup yang kita bawa ke kelas, secara jujur dan sadar. Karena di balik setiap pelajaran yang sampai ke peserta didik kita, selalu ada kisah yang lebih besar, kisah tentang bagaimana menjadi manusia.

Bagi kita para guru, Palmer menulis, “Good teaching comes from the identity and integrity of the teacher.” Dan identitas dan integritas itu tumbuh dari keberanian untuk menengok ke dalam. Maka, sebelum bicara soal kurikulum, asesmen, atau teknologi pengajaran, barangkali kita perlu lebih dulu menjawab satu pertanyaan penting: Who are you, really? Sebab dari situlah semuanya bermula, pembelajaran yang kita harapkan sungguh memanusiakan manusia itu.

*Erlyn Lasar.Mahasiswa di Melbourne.

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img