Ruteng, Ekorantt.com – Warga dari berbagai wilayah di Flores dan Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), kembali angkat suara terkait proyek panas bumi yang dinilai merusak ruang hidup mereka.
Pada Jumat, 11 Juli 2025, mereka menggelar konferensi pers melalui Zoom, disiarkan langsung oleh kanal YouTube JATAM, sebagai respons terhadap klaim tim satuan tugas bentukan Gubernur NTT, Melki Laka Lena, yang menyebut mayoritas masyarakat mendukung proyek tersebut.
Warga dari Wae Sano (Manggarai Barat), Poco Leok (Manggarai), Mataloko (Ngada), Sokoria (Ende), dan Atakore (Lembata) menyampaikan fakta berbeda dari yang dilaporkan oleh pemerintah.
Yoseph Erwin, warga Wae Sano, Manggarai Barat menyatakan bahwa laporan tersebut tidak mencerminkan kenyataan. Ia menegaskan bahwa masyarakat tidak pernah memberikan persetujuan terhadap proyek tersebut.
“Data itu kita tidak tahu ambil dari mana,” kata Erwin.
Ia menambahkan, hingga kini, warga tetap menolak eksplorasi panas bumi di wilayah mereka.
“Kami konsisten menolak eksplorasi geotermal di Wae Sano,” lanjutnya.
Menurut Erwin, persoalan utama bukan teknologi pengeboran, melainkan dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat dan lingkungan.
“Kami memprotes kehadiran mata bor yang menghancurkan kehidupan warga dan kampung kami di Wae Sano,” ujarnya.
Lebih dari sekadar wilayah tinggal, alam bagi masyarakat adat Wae Sano adalah bagian dari kosmos yang suci.
“Jika perusahaan tetap memaksa bor, maka warga Wae Sano akan punah dan kebudayaannya akan hilang. Panas bumi akan menjadi alat pemusnahan dan membunuh kehidupan dan kesatuan alam kami,” kata Erwin.
Ia juga mengungkapkan bahwa proyek ini bukan sekadar proyek energi, tetapi juga bentuk perampasan tanah adat.
“Mereka datang dengan peta konsesi yang mencaplok ladang, kebun, mata air, dan ruang hidup kami,” katanya.
Kondisi Mengerikan di Mataloko dan Sokoria
Antonius Anu dari Mataloko menggambarkan kondisi yang semakin memburuk. Uap panas dan lumpur mulai menyembur di kebun warga, menyebar hingga dua ribu meter persegi.
“Bau belerang menguasai udara. Setiap dini hari, kami menghirup aroma belerang dalam setiap tarikan napas,” keluhnya.
Masalah kesehatan pun muncul, terutama penyakit kulit yang banyak menyerang anak-anak. Namun, pihak proyek menyatakan situasi masih terkendali.
“Tetapi laporan tim teknis menyebut semuanya terkendali,” ujar Anu dengan nada sinis.
Di desa Wogo, gangguan geotermal ditandai dengan suara mendesis dari dalam tanah, dan sumber air pun mulai dikeruk.
“Sungai kami, Sungai Tiwu Bala di Ladja, telah ditanami batang-batang pipa besi yang kemudian menyedot dan mengalirkan airnya untuk mencoblos perut bumi,” ungkap Anu.
Sementara itu, Yosan dari Sokoria menyampaikan kerusakan ekosistem air dan sulitnya akses air bersih bagi masyarakat.
“Air yang semestinya kami dapatkan dari alam, kini kami harus beli dan berebut tangki air, bahkan untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari,” katanya.
Penurunan produktivitas pertanian juga menjadi persoalan besar.
“Kami hanya memanen kerugian,” lanjut Yosan.

Kekerasan dan Intimidasi
Di Poco Leok, Manggarai, situasi lebih mengkhawatirkan. Kekerasan fisik dilaporkan terjadi terhadap warga yang mempertahankan hak atas tanah.
“17 orang lainnya dikriminalisasi,” tutur Tedy Sukardin. Bahkan, media yang meliput juga turut diintimidasi.
Sukardin menambahkan, manipulasi informasi digunakan untuk membungkam penolakan warga.
“Bupati Manggarai Hery Nabit, alih-alih mendengar suara kami, justru memobilisasi massa tandingan untuk mengintimidasi kami,” katanya.
Andreas dari Atakore menyatakan, masyarakat tak pernah dilibatkan dalam proses konsultasi dan tidak memiliki akses terhadap dokumen resmi proyek.
“Kami tidak tahu apa isi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), tak diberi akses terhadap dokumen,” ungkapnya.
Ia menyoroti upaya pecah-belah komunitas oleh pihak perusahaan dan pemerintah melalui janji-janji manis dan tekanan politik.
“Ketika komunitas terpecah, perusahaan dan pemerintah merangsek masuk untuk membakar konflik. Saat konflik merekah, mereka buru-buru masuk, bukan untuk menyelesaikan secara tulus, tetapi untuk memberi sanksi kepada warga yang masih gigih menolak,” ujarnya.
Warga juga mengkritik sikap Gubernur NTT yang dinilai pasif dan menyerahkan masalah ini kepada tim teknis tanpa mendengarkan langsung keluhan masyarakat.
“Mereka (tim teknis) tidak pernah tinggal di tengah-tengah warga untuk mencicipi rasanya menjadi warga yang harus menghirup aroma belerang nyaris setiap detik,” jelas Andreas.
Seruan Warga: Hentikan Proyek, Pulihkan Kehidupan
Dalam konferensi ini, warga yang terdampak menyampaikan seruan tegas mereka: pertama, hentikan seluruh aktivitas proyek geotermal di Nusa Tenggara Timur.
Kedua, batalkan seluruh izin proyek geotermal di wilayah yang tidak memiliki persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat.
Ketiga, tarik semua aparat militer dan polisi dari wilayah konsesi panas bumi.
Keempat, bebaskan seluruh warga yang dikriminalisasi karena mempertahankan tanah dan airnya.
Kelima, pulihkan lahan, air, dan ruang hidup yang telah rusak akibat aktivitas eksplorasi maupun pembukaan akses.
Keenam, lakukan audit lingkungan independen dengan partisipasi penuh warga.
Ketujuh, hentikan pemecahbelahan komunitas melalui manipulasi sosialisasi, janji CSR, dan tekanan politik.
Kedelapan, tempatkan perempuan sebagai subjek dalam seluruh proses keputusan dan pemulihan.
Kesembilan, adili seluruh tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi selama operasi proyek geotermal di Flores dan Lembata.
Maria Suryanti Jun, perempuan dari Poco Leok menambahkan bahwa perempuan dan anak-anak juga merasakan dampak besar dari proyek ini.
“Kami menolak bukan karena kebencian, tapi karena cinta pada tanah, air, dan kehidupan kami,” tegasnya.