Kupang, Ekorantt.com – Insiden keracunan makanan yang menimpa ratusan siswa SMP Negeri 8 Kota Kupang telah menimbulkan keprihatinan luas dan memicu desakan agar program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) dievaluasi secara menyeluruh.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona menilai pelaksanaan program ini di Nusa Tenggara Timur (NTT) perlu dihentikan sementara sambil dilakukan evaluasi total.
“Program ini perlu evaluasi dari hulu ke hilir. Semua pihak harus dilibatkan untuk menjamin akuntabilitasnya,” kata Mikhael di Kupang, Kamis, 24 Juli 2025.
Ia menyebutkan, pengawasan terhadap proses produksi dan distribusi makanan masih sangat terbatas.
Mikhael mendorong keterlibatan lebih besar dari media dan masyarakat sipil atau civil society sebagai pengawas independen terhadap pelaksanaan harian program MBG agar mutu dan keamanan makanan terjamin.
“Pengawasan dan pemantauan itu penting dan urgen karena menyangkut kesehatan dan nyawa anak-anak bangsa ini. Hal ini dilakukan untuk menghindari kasus keracunan tidak terulang atau dipertahankan,” katanya.
Lebih jauh, ia mendesak agar Gubernur NTT dan Wali Kota Kupang segera mengambil tindakan tegas serta meminta pertanggungjawaban dari para vendor penyedia makanan dan pelaksana program.
“Rakyat yang menjadi korban adalah anak-anak NTT,” ujarnya.
Tak hanya itu, Mikhael menyoroti pentingnya transparansi hasil uji laboratorium dari BPOM dan Dinas Kesehatan agar publik tetap percaya pada sistem yang ada.
“Dan jangan juga hasil analisis itu diatur-atur untuk kepentingan kekuasaan. Hasilnya harus objektif demi keselamatan masyarakat,” ucap Mikhael.
Ia memperingatkan bahwa tanpa evaluasi menyeluruh dan langkah tegas, program ini justru dapat menimbulkan masalah yang lebih besar ke depannya.
“Karena jika tidak ada langkah berani dalam mengevaluasi program ini, ke depannya bisa menjadi masalah baru yang lebih berisiko,” tambahnya.
Menurutnya, program MBG tidak boleh hanya dilihat dari sisi politik, tetapi harus didasari pada pertimbangan kemanusiaan dan keselamatan generasi muda.
“Jangan sampai menimbulkan preseden buruk terhadap program presiden dari anak-anak sekolah seluruh Indonesia,” jelasnya.
Gubernur NTT, Melki Laka Lena menyatakan, evaluasi pelaksanaan program MBG menjadi agenda penting yang kini tengah dibahas secara intensif antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
“Program MBG ini sudah berjalan, dan saat ini sudah waktunya bagi kita untuk lakukan evaluasi pelaksanaannya di NTT agar kita bisa mengakselerasinya lebih cepat sesuai dengan arahan dan tugas yang diberikan oleh pemerintah pusat bagi kita semua,” ujar Melki dalam rapat di Ruang Gubernur, Rabu, 23 Juli 2025.
Melki menjelaskan, NTT telah menerima kuota pendirian 800 dapur MBG, dengan target minimum 600 dapur. Ia mendorong percepatan pembangunan dapur agar cakupan layanan dapat segera diperluas.
“Intinya adalah jumlah dapur di NTT ini makin lama makin mendekati yang memang harus didirikan di NTT,” tegasnya.
Lebih dari sekadar pemenuhan gizi, menurut Melki, program ini juga diharapkan mampu menggerakkan roda perekonomian lokal dan menciptakan lapangan kerja.
“Aspek gizi mestinya bagus untuk siswa-siswi, balita dan anak PAUD. Aspek ekonomi, program ini berpotensi memutar perekonomian di daerah sekitar sekolah dan dapur yang bergerak. Membuka lapangan kerja dan memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat yang menjadi bagian dari dapur MBG atau juga supply chainnya,” ucap Melki.
Ia meminta seluruh kepala daerah di NTT untuk memastikan pelaksanaan program tidak lagi terhambat oleh kendala teknis ataupun administratif.
“Intinya adalah tidak boleh lagi ada kata tidak bisa untuk pelaksanaan MBG untuk alasan apapun juga,” ujarnya.
Sebagai langkah konkret, Gubernur Melki menyampaikan rencana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Pelaksanaan MBG di tingkat provinsi.
Ia juga akan mendorong pembentukan Satgas serupa di tingkat kabupaten dan kota.
Dalam pertemuan itu, ia turut mendengarkan langsung laporan dari sejumlah daerah mengenai perkembangan dan hambatan dalam pelaksanaan program MBG.
Melki mengakui bahwa insiden keracunan makanan yang terjadi di Kota Kupang dan Sumba Barat Daya baru-baru ini menjadi pukulan bagi reputasi program.
Namun ia menegaskan, persoalan utama terletak bukan pada konsep programnya, melainkan pada tata kelola di tingkat pelaksanaan.
“Kalau kita kerja sesuai dengan arahan yang dibuat oleh BGN dan beberapa pihak terkait seperti Badan POM dan yang lainnya, tidak mungkin keracunan. Ini persoalan tata kelola yang perlu dibenahi,” pungkasnya.