Larantuka, Ekorantt.com – Bangunan Integrated Cold Strorage (ICS) atau pabrik pengolahan ikan beku berkapasitas 100 ton di Desa Wailolong, Kecamatan Ilemandiri, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terkesan dibiarkan terlantar alias mubazir.
Gedung itu dibangun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui PT Titian Mandiri Jakarta pada tahun anggaran 2017. Nilai anggarannya sebesar Rp15,4 miliar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Sejak selesai dibangun pada tahun 2018, tidak ada aktivitas kerja, keluar dan masuk di bangunan tersebut. Hanya warga di sini yang menggunakan jalan masuk pabrik menuju ke kebun sayur mereka,” tutur Safer Tukan, 33 tahun, warga Wailolong kepada Ekora NTT, pada Sabtu pekan lalu.
Kondisi Terkini
Pemandangan tak terawat sudah menjadi hal biasa bagi Safer atau warga sekitar yang sering melintasi jalur trans Flores Larantuka-Maumere.
Rumput liar sudah menyambut di pintu masuk pabrik. Dan rumput liar setinggi pinggang orang dewasa itu, tumbuh di sekeliling gedung.
Bangunan penginapan karyawan nyaris tak terlihat dari sisi depan karena tertutup rumput tinggi. Bangunan yang semula bagus, kini berubah menjadi kotor dan kumuh.
Ruangan penginapan itu tampak tidak terurus lagi. Sarang tawon penyengat menempel dan bertebaran di sudut-sudut dan langit-langit ruangan.
Sementara di bagian utara pabrik, sebuah pipa air minum tampak terlepas dan air dibiarkan mengalir menuju ke lokasi kebun sayur warga.
Begitu pula talaud pelindung pantai bagian selatan nyaris ambruk. Sebagiannya sudah jebol. Kala pasang naik, air laut masuk hingga ke wilayah pabrik. Kotoran pun menumpuk di sana.
Pagar besi pembatas wilayah pantai dan pabrik yang terpasang di atas talaud pun sudah rusak. Nyaris tidak terlihat lagi sisa-sisa pagar besi itu karena raib termakan abrasi laut.
Safer bilang, ada beberapa warga setempat digaji untuk menjaga bangunan saat awal dibuka. Namun, hanya bertahan beberapa bulan, kemudian tidak terlihat lagi.
“Setelah itu kosong saja bertahun-tahun dari dulu. Baru-baru ini, beberapa bulan baru listrik di situ menyala. Dulu, gelap dan tidak berpenghuni, jadinya seram kita lewat di situ,” kata Safer.
‘Tidak Siap Pakai’
Setelah pembangunan rampung pada 2018, Pemerintah Kabupaten Flores Timur membuka ruang bagi pihak ketiga untuk mengelola pabrik ikan beku. Pemerintah pun membuka tender.
Dari sejumlah perusahaan yang mengikuti tender, PT Tritunggal Lintas Benua (TLB) Cabang Flores Timur dinyatakan sebagai pemenang dengan penawaran tertinggi.
“Dari Pemda menawarkan Rp500 juta per tahun untuk sewa pakai. Ada perusahaan yang tawarkan Rp250 juta, ada yang Rp300 juta per tahun. Dan kita tawarkan Rp400 juta. Kita yang tertinggi dan sebagai pemenang,” kata Roi selaku Manajer PT Tritunggal Lintas Benua (TLB).
Namun, pihak perusahaan tidak menandatangani dokumen kontrak lantaran terdapat beberapa komponen vital pada pabrik yang tidak sesuai standar.
Rio bilang, komponen mesin pipa pendingin, koneksi kelistrikan dari gardu menuju mesin, dan lantai tempat pemasangan mesin tidak memenuhi standar sebagaimana pada pabrik ikan beku umumnya.
“Secara teknisnya tempat itu tidak siap pakai. Mesin pipa pendinginnya berbahan dasar amonia. Pipa pendingin yang standar adalah alpani. Kalau amonia itu gampang bocor dan tidak ramah lingkungan. Sebab kalau bocor dapat menimbulkan polusi udara karena bau sangat menyengat. Orang bisa pingsan dan warga sekitar bisa terganggu,” tutur Rio.
Ia menambahkan bahwa koneksi kelistrikan dari gardu kedua mesin pembekuan dan mesin pendingin mesti diperbaiki. Begitu pula lantai mesin harus dibongkar ulang.
“Mulai dari kita pakai piu hingga kita beton agar kuat menahan mesin. Itu bagian-bagian vital yang biaya perbaikannya tidak sedikit mencapai Rp1,2 miliar,” tutur Rio.
Pihak perusahaan, kata Rio, meminta Pemkab Flotim memperbaiki komponen-komponen vital ini agar dapat digunakan.
“Namun, dalam perjalanan waktu, usaha perbaikan tidak dilakukan karena kondisi daerah disambut pandemi Covid-19.”
Warga Kecewa
Kehadiran pabrik ikan beku tentu saja membawa angin segar bagi warga Wailolong, termasuk Safer. Mereka sempat senang karena ada kesempatan bagi tenaga kerja lokal.
“Waktu awal, warga sekitar sini, dari Oka, Wailolong, Badu, dan Waitiu sudah sangat senang. Saya dengar, pabrik ikan ini merupakan pabrik ikan paling besar di Flores Timur. Tentu, bisa serap tenaga kerja lokal di sini,” tutur Safer.
“Tapi, sampai sekarang tidak ada aktivitas perusahaan apapun di situ. Anak-anak di sini lebih banyak sudah pergi merantau,” tandasnya.
Sementara itu, Siprianus Atawolo, warga Waitiu, menyesalkan kondisi pabrik yang telah dibangun dengan anggaran miliaran rupiah.
“Kita bingung. Sebenarnya mengapa pabrik ini bertahun-tahun tidak dikelola?” tanya Siprianus, bingung.
Ia berharap agar pemerintah bisa mengaktifkan pabrik ini agar bisa menampung tenaga kerja lokal, sebagaimana yang sudah digembar-gemborkan sejak awal.
“Sekarang ini cari kerja susah. Ini bantuan pemerintah pusat sudah beri ke daerah kita, disia-siakan. Sudah ada potensi tapi tidak dimanfaatkan. Ini yang buat kita kecewa,” kata Siprianus.
Perbaikan Belum Menyeluruh
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur, Muhammad Ikram, kepada Ekora NTT, mengklaim bahwa pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki komponen mesin dan mencari pihak ketiga untuk mengelola pabrik tersebut.
Pada 2024, pihaknya mendapat alokasi anggaran sebesar Rp1,3 miliar dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Alokasi DAK dipakai untuk perbaikan jaringan listrik, perbaikan instalasi buangan air domestik, ruang istirahat karyawan, mesin pendingin, dan belanja suku cadang dinamo mesin. Sementara dana DAU digunakan untuk rabat beton lantai dan pintu-pintu yang sudah rusak.
“Pembangunan untuk perbaikan beberapa komponen itu sudah selesai. Sudah dilakukan 100 persen,” kata Ikram.
Namun, kata dia, alokasi anggaran yang ada belum menyentuh seluruh komponen. Untuk perbaikan yang menyeluruh, dibutuhkan biaya tambahan sekitar Rp500 hingga Rp600 juta.
Pemerintah, kata Ikram, menyiasati pemanfaatan pabrik pengolahan ikan beku lewat sistem kerja sama dengan pihak ketiga. Adapun opsi kerja sama antara lain, pertama, pemerintah mengalokasikan anggaran pada APBD 2026 untuk memperbaiki seluruh komponen yang ada dan menawarkannya kepada pihak ketiga.
“Namun, opsi ini terdapat kelemahan. Karena, pasti barang atau komponen yang sudah kita perbaiki di ICS ada yang tidak sesuai dengan standar yang digunakan oleh pihak ketiga,” tutur Ikram.
Sedangkan opsi kedua adalah memberikan hak kepada pihak ketiga untuk memperbaiki peralatan yang sesuai dengan standar mereka.
“Nanti akan dilakukan perhitungan itu di KSO. Sehingga pemerintah tidak mengeluarkan lagi anggaran dari APBD,” jelas dia.
Ikram bilang, telah melakukan pendekatan dengan beberapa perusahaan. Namun, kerja samanya belum terealisasi.
“Namun ada beberapa yang memilih mundur, tidak tahu alasannya apa. Mereka hanya sampaikan kami tidak melanjutkan rencana kerja sama,” kata Ikram.
“Tugas saya sekarang adalah berusaha untuk mencari dan terus mencari pihak ketiga. Ada dua perusahaan ikan yakni PT Mitra Timur Raya Utama dan PT Bahana Bahari yang sedang kita upayakan untuk dekati untuk mengelola ICS tersebut,” tutup Ikram.
Pemerintah Mesti Serius
Anggota DPRD, Komisi II Kabupaten Flores Timur, Yuven Hikong, menyayangkan kondisi pabrik pengolahan ikan beku yang tidak terawat itu. Padahal, kalau pabrik beroperasi, ekonomi bisa tumbuh hingga memberikan manfaat bagi masyarakat setempat.
“Hasil tangkapan ikan oleh nelayan di Larantuka, Lembata, dan Alor akan menjadi supplier utama di perusahaan ini. Tentunya, akan terjadi persaingan harga ikan dan ini akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat nelayan, terutama nelayan di Flores Timur,” tutur Yuven.
Jika dikelola oleh pihak ketiga, lanjut Yuven, pabrik ini dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Tidak sedikit nilai kontraknya. Bisa mencapai 400 juta per tahun,” ujarnya.
Sebab itu, Yuven berharap pemerintah lebih serius mencari pihak ketiga untuk bisa bekerja sama mengelola aset daerah tersebut.
“Bagaimanapun caranya. Dengan formula sistem kerja sama yang tidak merugikan pihak ketiga dan saling menguntungkan. Agar kehadiran pabrik ICS dapat dirasakan manfaatnya. Baik bagi masyarakat maupun bagi daerah,” tutup Yuven.













