Ruteng, Ekorantt.com – Ketika proyek panas bumi terus dipromosikan sebagai solusi kebutuhan energi, suara berbeda datang dari Koordinator JPIC SVD Ruteng, Pater Simon Suban Tukan, SVD.
Pater Simon menegaskan, pemenuhan kebutuhan listrik di Flores sebenarnya bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan lingkungan dan budaya lokal.
“Energi listrik kan banyak alternatif. Misalnya saya kasih contoh: kita butuh energi, dan misalnya energi dari atas ini (matahari) lebih banyak. Besar kan,” ujarnya ketika ditemui di Ruteng, Senin, 28 Juli 2025.
Menurut Pater Simon, teknologi solar saat ini sudah berkembang pesat dan mampu meminimalisasi dampak lingkungan. Meskipun penggunaan energi surya masih memerlukan komponen penghantar, kemajuan teknologi mulai mengatasi keterbatasan tersebut.
“Misalnya untuk penggunaan energi solar, energi matahari pun, dia masih butuh beberapa elemen lain yang untuk menghantar energi itu. Tapi itu sangat terbatas,” kata Pater Simon.
Ia menyebut China sebagai contoh negara yang sukses mengembangkan energi surya dengan metode baru yang efisien dan ramah lingkungan.
“Bahkan sekarang China dengan satu model yang baru, tidak membutuhkan lagi penghantar-penghantar lain. Di listrik, dari solar cell itu mereka bisa buat, dengan metode tertentu yang tidak merusak lingkungan mereka.”
Lebih jauh, ia menegaskan, China kini justru meninggalkan teknologi panas bumi karena dinilai merusak keseimbangan alam.
“China sangat getol dengan pengembangan energi baru-terbarukan, yang menggunakan matahari, bukan geotermal. Bukan dari perut bumi. Mereka tidak tertarik itu,” tuturnya.
“Jadi China tidak tertarik untuk membuat sumber energi itu melalui tanah bumi. Dari literatur yang kita baca itu begitu.”
Tak hanya mengandalkan skala besar, solusi energi listrik berbasis komunitas juga telah terbukti berhasil, khususnya di beberapa desa di Manggarai Timur.
“Jadi untuk membangun energi berbasis komunitas, dia tidak membutuhkan lahan yang banyak, dan area yang luas,” kata Pater Simon.
Namun, di tengah tawaran solusi alternatif ini, masyarakat justru menghadapi tekanan dari proyek panas bumi yang mengancam ruang hidup mereka.
Dari dokumen perusahaan yang diperoleh JPIC, ada indikasi rencana relokasi terhadap warga yang tinggal di wilayah proyek.
“Jadi mereka akan direlokasi. Istilah mereka itu direlokasi mandiri,” katanya.
Mengapa Proyek Panas Bumi Ditolak?
Penolakan terhadap proyek panas bumi bukan muncul tanpa dasar. Bagi Pater Simon, menyebut contoh penolakan geotermal Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, setidaknya ada tiga alasan utama, yakni faktor geografis, lingkungan, dan budaya.
“Jadi, gunung itu yang kemudian berdekatan pemukiman dan segala macamnya. Jadi itu salah satu alasan dari saya,” jelasnya, menyoroti bahaya topografi wilayah yang bergunung-gunung dan penuh jurang, sangat dekat dengan permukiman warga.
Dari sisi ekologis, proyek ini juga dianggap mengganggu keseimbangan alam dan kehidupan masyarakat.
Lebih dari itu, proyek ini dinilai berpotensi merusak falsafah budaya Manggarai, yaitu Lampek Lima: gendang one, lingko peang, natas labar, wae telu, dan compang dari.
Falsafah ini telah lama menjadi penuntun tata kelola hidup masyarakat adat.
“Jadi, kehadiran geotermal sudah tidak lagi menghargai siapa yang berhari-hari mengatur kehidupan di kampung, bagaimana pengelolaan tanah. Itu yang menyebabkan bahwa proyek itu mengganggu kehidupan mereka secara sosial dan budaya juga. Apalagi masyarakat kental dengan budaya Lampek Lima tadi.”
Kondisi ini diperparah oleh ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam yang terbatas, terutama air dan lahan.
“Apalagi lingkungan mereka yang terbatas itu, sumber-sumber kehidupan mereka yang terbatas,” tegasnya.
“Maksudnya proyek itu mengganggu sekali kehidupan mereka. Itu dasarnya mereka tolak.”
Meski tekanan kuat datang dari berbagai pihak pendukung proyek panas bumi, Pater Simon menegaskan, perjuangan masyarakat akan tetap dilakukan secara damai.
“Saya sudah dorong mereka [masyarakat] boleh berjuang tanpa kekerasan,” tegasnya.
Salah satu strategi yang kini digalakkan adalah mengoptimalkan potensi lokal, terutama lahan tidur.
Lahan-lahan tersebut bisa digunakan untuk menanam tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti kopi, cengkih, dan porang.
“Yang lain akhirnya gampang saja setuju. Tapi kalau lahannya ada isi di dalam kan pasti dia pikir-pikir. Kalau ada cengkihnya di dalam, ada kopinya, pasti dia pikir-pikir untuk menyerahkan lahannya. Orang gampang menyerahkan lahannya kepada pihak lain karena memang di dalam itu isinya,” jelas Pater Simon.
Di tengah meningkatnya harga porang, tambah dia, masyarakat melihat komoditas ini sebagai peluang baru untuk memperkuat ketahanan ekonomi sekaligus mempertahankan tanah warisan mereka.