Ruteng, Ekorantt.com – Komunitas Masyarakat Adat Poco Leok menggelar upacara bendera dalam rangka memperingati HUT ke-80 Republik Indonesia pada Minggu, 17 Agustus 2025. Upacara bendera itu berlangsung di halaman Kampung Mucu, Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Yang menarik, warga mengibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk simbolis penolakan terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu Unit 5 dan 6 yang rencananya akan dibangun di atas tanah ulayat mereka.
Komunitas adat Poco Leok terdiri dari 10 gendang, yaitu Mucu, Mocok, Mori, Nderu, Ncamar, Cako, Rebak, Tere, Jong, dan Lungar. Mereka merupakan kelompok masyarakat yang terdampak langsung dari rencana perluasan proyek energi bersih yang didanai Bank Pembangunan Jerman (KfW) dan dilaksanakan oleh PT PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Nusa Tenggara.
Seluruh peserta upacara tampak mengenakan pakaian putih yang dipadukan dengan kain songket khas Manggarai. Dalam suasana tersebut, warga juga menyampaikan pernyataan sikap penolakan mereka terhadap proyek yang dinilai mengancam ruang hidup dan keberlangsungan adat istiadat mereka.
“Kami menolak menyerahkan ruang hidup kami yakni kesatuan yang utuh kampung halaman, yang kami sebut lampek lima, antara lain: mbaru bate kaeng, uma bate duat, wae bate teku, natas bate labar dan compang bate takung,” ujar Milin Neter, salah satu pemuda Poco Leok dalam pembacaan pernyataan sikap.
Filosofi lampek lima ini merujuk pada lima unsur penting dalam kehidupan masyarakat adat: rumah adat (gendang), kebun komunal (lingko), mata air (wae teku), altar sesajian (compang), dan halaman (natas labar).
Milin menegaskan, masyarakat Poco Leok menilai kehadiran proyek PLTP Ulumbu justru menimbulkan ketegangan sosial di lingkungan mereka.
“Penetapan lokasi tanpa konsultasi publik hingga pengerahan aparat keamanan yang bagi kami bertendensi menciptakan ketakutan warga,” katanya.
Ia menyebutkan, proses perluasan proyek dilakukan secara paksa dan tidak transparan, termasuk melalui pendekatan diam-diam kepada pemilik lahan, penyebaran informasi yang tidak valid, serta sosialisasi yang tidak terbuka.
“Dalam seluruh masalah dan gejolak tersebut, pemerintah selalu menganggap suara penolakan warga hanya sebagai riak-riak kecil yang tidak berarti,” tambahnya.
Milin menilai anggapan itu sangat tidak adil dan merendahkan martabat warga adat.
“Kami warga Poco Leok yang secara turun temurun menetap di atas tanah ini memperoleh kehidupan dari hasil bumi dan tanah ini,” tegasnya.
Mereka mendesak agar seluruh aktivitas terkait proyek segera dihentikan oleh Pemerintah Republik Indonesia, PT PLN, dan Bank KfW Jerman. Termasuk di antaranya adalah sosialisasi, survei lokasi, penetapan lokasi, serta pengadaan lahan di Poco Leok.
Tuntutan Masyarakat Adat
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan, warga Poco Leok menyampaikan enam poin tuntutan utama: pertama, menghentikan seluruh aktivitas geotermal oleh PT PLN UIP Nusra, aparat keamanan, serta pemerintah daerah dan pusat di Poco Leok.
Kedua, menghentikan intimidasi, kriminalisasi, dan politik pecah belah terhadap warga.
Ketiga, menghentikan pendanaan proyek oleh Bank KfW Jerman. Keempat, mencabut keputusan Menteri ESDM tentang penetapan Flores sebagai Pulau Geotermal.
Kelima, menghentikan upaya sertifikasi tanah ulayat oleh pihak ATR/BPN. Keenam, membubarkan Tim Uji Petik bentukan Pemerintah Provinsi NTT.
Selain itu, warga juga menolak rencana diskusi publik yang akan digelar di Universitas Katolik Santu Paulus Ruteng. Mereka menilai forum tersebut sarat dengan agenda untuk meloloskan proyek PLTP Ulumbu.
“Kami juga secara tegas menolak rencana diskusi publik yang digagas di Universitas Katolik Santu Paulus Ruteng, karena agenda ini bagi kami sarat dengan kepentingan untuk meloloskan proyek geotermal di Poco Leok,” tegas Milin.
Warga menyatakan tidak akan berpartisipasi dalam bentuk apapun dari forum konsultasi publik.
“Kami menolak tanpa syarat, tanpa kompromi,” ujarnya.
Proyek PLTP Ulumbu Unit 5 dan 6 merupakan bagian dari investasi energi terbarukan sebesar sekitar 150 juta euro.
Proyek ini direncanakan untuk menambah kapasitas listrik sebesar 2×20 megawatt, melampaui kapasitas awal sebesar 10 MW yang telah beroperasi sejak 2012.
Namun, di balik ambisi pengembangan energi bersih ini, masyarakat adat Poco Leok tetap bersikukuh menolak karena dianggap mengancam tanah leluhur, kelestarian lingkungan, serta keberlanjutan hidup generasi mendatang.