Waibakul, Ekorantt.com – Masyarakat adat, kelompok masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, dan Pemerintah Kabupaten Sumba Tengah sepakat mendukung dan memperjuangkan sabana sebagai ekosistem esensial yang dilindungi oleh negara.
Kesepakatan bersama ini mencuat dalam diskusi publik tema “Tantangan Ekologis dan Masyarakat Adat di Tana Wai Kanena Loku Wai Kalala” di Sumba Tengah pada Selasa, 2 September 2025.
Kegiatan diskusi publik menjadi bagian dari kegiatan menuju Pekan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) ke-14 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, mengatakan, pemilihan Sumba sebagai lokasi kegiatan Pekan Nasional Lingkungan Hidup bukan tanpa alasan. Sumba, kata dia, merupakan tanah leluhur dan memiliki kekayaan budaya yang masih sangat kental.
“Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan yang matang, mencakup kekayaan budaya, kekuatan identitas lokal, serta kondisi lingkungan yang khas dan penting,” kata Umbu Wulang.
Selain itu, sabana Sumba menjadi salah satu sabana terbesar di Indonesia dan memiliki peran penting dalam penyerapan karbon serta menjaga keseimbangan ekosistem.
“Sabana Sumba akan kami dorong menjadi sabana esensial dalam konteks pelestarian dan perlindungan ekosistem tropis kering di Indonesia,” tegasnya.
Wakil Bupati Sumba Tengah, Marthinus Umbu Djoka mengatakan dirinya sudah lama terlibat dalam isu lingkungan, khususnya di bidang kehutanan. Ia menyoroti permasalahan yang dihadapi masyarakat adat dalam konteks pengelolaan taman nasional.
Banyak hak masyarakat adat yang diambil alih oleh taman nasional, kata dia. Karena itu, diharapkan pihak taman nasional melepaskan serta mengembalikan hak-hak masyarakat adat.
Marthinus juga menekankan pentingnya melestarikan bahasa ibu agar tidak punah dan tetap menjadi bagian dari identitas budaya lokal.
Edward Umbu Bolu sebagai pemateri pertama dalam diskusi publik itu, membahas isu perubahan iklim sebagai isu global yang berdampak besar terhadap lingkungan hidup.
Ia menjelaskan, aktivitas manusia seperti pertambangan dan penggunaan bahan bakar fosil telah memperparah efek rumah kaca, yang kemudian berkontribusi besar terhadap perubahan iklim.
“Perubahan iklim bukan sekadar fenomena cuaca, tapi menyentuh langsung kehidupan dan keseimbangan ekosistem. Kita harus mulai bertanggung jawab terhadap aktivitas yang menyebabkan kerusakan lingkungan,” ujar Edward.
Senada dengan itu, Debora Rambu Kasuatu, selaku pembicara kedua, menyampaikan bahwa ketika berbicara soal lingkungan hidup, berarti kita juga berbicara tentang tanah, wilayah, ekosistem, dan manusia, khususnya peran penting masyarakat adat sebagai penjaga lingkungan.
Namun demikian, ia mengkritik pihak yang keliru dalam menginterpretasikan definisi masyarakat adat, bahkan merasa malu mengakui identitas mereka.
Menurutnya, kerusakan lingkungan seperti pembakaran sabana dan hutan terjadi karena masyarakat mulai meninggalkan nilai-nilai tradisional.
“Obat-obatan tradisional kini dianggap tidak penting, karena kita pikir semuanya bisa digantikan oleh apotek,” tambahnya.
Deby menegaskan beberapa poin penting yakni perlu adanya pengakuan terhadap masyarakat adat. Lebih lanjut, pentingnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat. Lalu, melestarikan budaya dan adat lokal.
Sabana, menurutnya, adalah alasan orang Sumba bisa bertahan hidup. Kenapa? Sabana adalah salah satu penyerap karbon tertinggi yang menjaga kualitas udara dan iklim lokal.
Fredy Umbu Bewa Guty, pemateri ketiga, mengangkat tema tentang gerakan orang muda dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan mewujudkan keadilan antar-generasi.
Ia mengingatkan generasi sekarang adalah penerima warisan dari generasi sebelumnya. Mereka memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga dan meneruskan warisan lingkungan hidup kepada generasi yang akan datang.
“Kita sudah banyak menikmati apa yang ditinggalkan oleh generasi sebelumnya. Pertanyaannya sekarang adalah, apa yang bisa kita tinggalkan untuk generasi setelah kita?” tanya Fredy dengan penuh semangat.