Prekariat Bergerak, Reformasi Dipanggil Ulang

Oleh: Helga Maria Evarista Gero*

Akhir Agustus 2025, Jakarta kembali memanas. Jalan-jalan utama yang biasanya penuh deru kendaraan berubah menjadi arena perlawanan. Ribuan orang—mahasiswa, buruh, pengemudi ojek online, guru honorer, hingga masyarakat biasa—turun ke jalan. Mereka membawa spanduk, poster, dan suara lantang yang bergaung dari 25 Agustus hingga 1 September. Di balik keramaian itu, ada satu kata kunci yang menjadi benang merah: prekariat.

Prekariat: Hidup di Ujung Tali

Istilah prekariat mungkin terdengar akademis, tapi kenyataannya dekat sekali dengan hidup kita. Prekariat gabungan dari “precarious” dan “proletariat” adalah etiket bagi mereka yang menggantungkan hidupnya pada kondisi kerja tidak menentu, tanpa jaminan sosial, dan penuh tekanan ekonomi sebab upah yang sering kali hanya cukup untuk hidup hari ini.

Siapa mereka? Lihatlah guru honorer atau tenaga lepas sekolah yang sudah puluhan tahun mengajar tapi tak kunjung diangkat, buruh pabrik yang kontraknya diputus sepihak, atau pengemudi ojol yang setiap hari berpacu dengan algoritma aplikasi atau arus ekonomi gig. Mereka bekerja keras, tapi tetap sulit naik kelas. Itulah wajah nyata prekariat di Indonesia.

Dari Amarah menjadi Agenda Bersama

Gelombang protes dimulai pada 25 Agustus. Massa mahasiswa dan pelajar memicu perhatian publik dengan sembilan tuntutan keras: dari pembubaran DPR, pembatalan proyek penulisan ulang sejarah yang kontroversial, hingga penolakan kenaikan tunjangan rumah anggota DPR sebesar Rp50 juta per bulan. Sembilan tuntutan ini memang terdengar politis, tetapi intinya jelas: publik muak dengan ketidakadilan distribusi kesejahteraan.

Tiga hari kemudian, giliran buruh yang turun ke jalan pada 28 Agustus. Mereka menuntut hal yang lebih konkret: hapus sistem outsourcing, tolak upah murah, naikkan upah minimum provinsi 2026 sebesar 8,5–10,5 persen, hentikan PHK massal, dan sahkan RUU Ketenagakerjaan baru tanpa embel-embel omnibus law. Suara buruh ini adalah terjemahan gamblang dari jeritan prekariat: hidup layak bukanlah kemewahan, melainkan hak.
Menariknya, protes ini tidak berhenti di satu titik. Pada 1 September, gelombang massa semakin besar, melahirkan “17+8 Tuntutan Rakyat”. Ada 17 tuntutan jangka pendek yang mesti dijawab segera: hentikan kekerasan aparat, bebaskan demonstran, selesaikan kasus korban luka, hingga buka dialog dengan serikat buruh.

Sementara delapan tuntutan jangka panjang menyoroti hal-hal fundamental: reformasi DPR, pembenahan partai politik, revisi sistem perpajakan, penguatan KPK, dan reformasi Polri.

Kombinasi ini unik. Dari tuntutan ekonomi hingga politik, dari persoalan roti sehari-hari hingga arah demokrasi. Semua mengalir dari satu sumber: kekecewaan kolektif. Kelompok prekariat, yang selama ini berada di pinggiran, kini berada di tengah panggung.

Prekariat dan Demokrasi Jalanan

Ada hal menarik dari fenomena ini. Prekariat biasanya dianggap lemah, pasif, atau tercerai-berai. Tapi demonstrasi Agustus–September 2025 menunjukkan hal sebaliknya. Mereka bukan lagi sekadar korban keadaan, melainkan aktor yang aktif menuntut perubahan.
Bayangkan seorang pengemudi ojol yang sehari-hari bekerja 12 jam, tiba-tiba memilih meninggalkan order demi berdiri di jalan bersama mahasiswa. Atau seorang buruh yang rela kehilangan upah harian karena yakin suara kolektif lebih bernilai. Inilah demokrasi jalanan: ketika mereka yang terpinggirkan berani mengambil peran dalam menentukan arah bangsa.

Politik Kemewahan vs. Politik Kehidupan

Kontras makin terasa ketika kita membandingkan tuntutan prekariat dengan kenyataan elite. Di saat rakyat meminta upah layak, wakil rakyat justru sibuk memperjuangkan kenaikan tunjangan. Saat buruh cemas soal PHK massal, elite politik sibuk memoles proyek sejarah dan drama di parlemen.

Di titik inilah demonstrasi menjadi cermin: politik yang dijalankan selama ini lebih sering menjadi politik kemewahan, bukan politik kehidupan. Dan suara prekariat adalah panggilan keras agar arah politik kembali ke akar: menjamin kehidupan yang layak bagi semua, bukan hanya segelintir.

Jalan Panjang Reformasi

Apakah demonstrasi ini akan mengubah kebijakan? Itu pertanyaan besar. Sejarah menunjukkan, protes jalanan bisa menjadi titik balik, tetapi juga bisa dilupakan begitu saja. Namun satu hal yang jelas: suara prekariat kini sudah tak bisa diabaikan.

“17+8 Tuntutan Rakyat” bukan sekadar daftar aspirasi, melainkan kontrak sosial baru yang digemakan dari jalanan. Ia menandai bahwa demokrasi tidak hanya hidup di ruang sidang parlemen, melainkan juga di suara ribuan orang yang rela berdesakan di bawah terik matahari dan gas air mata.

Harapan yang Tak Boleh Padam

Prekariat mungkin lahir dari ketidakpastian, tetapi mereka kini membawa kepastian: bahwa masa depan demokrasi Indonesia harus lebih inklusif. Mereka menuntut pekerjaan yang layak, kebijakan yang adil, dan sistem politik yang transparan.


Kalau pemerintah dan DPR benar-benar mendengar, ini bisa menjadi momentum reformasi besar-besaran. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa pada Agustus–September 2025, suara prekariat sudah berbicara dan sekali suara itu keluar, sulit untuk dipadamkan.
Seperti kata seorang demonstran yang sempat diwawancarai di tengah kerumunan dan tertangkap dalam live TikTok saat itu: “Kami bukan minta hidup mewah, kami cuma minta hidup yang manusiawi.”
Itulah inti tuntutan prekariat. Sederhana, tapi justru di situlah letak revolusinya.

*Penulis adalah Dosen Fisip Universitas Nusa Cendana Kupang

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img