Oleh: Heribertus Kamang*
Pendidikan Indonesia dalam dua dekade terakhir mengalami transformasi yang begitu dinamis, terutama dalam hal perubahan kurikulum. Mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013, Kurikulum Merdeka dan sekarang Deep Learning (katanya bukan kurikulum) yang mulai diimplementasikan secara bertahap.
Setiap perubahan ini membawa konsekuensi besar bagi para guru sebagai ujung tombak implementasi di lapangan. Ironisnya, di tengah gencarnya perubahan kurikulum tersebut, guru justru semakin terjebak dalam pusaran administrasi dan pelatihan yang tak kunjung usai.
Data menunjukkan bahwa rata-rata guru menghabiskan 30-40 persen waktu kerjanya untuk mengikuti berbagai pelatihan, workshop, dan kegiatan administratif terkait perubahan sistem pendidikan. Akibatnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk fokus pada kualitas pembelajaran di kelas menjadi terpotong drastis.
Permasalahan ini semakin kompleks ketika dilihat dari perspektif kesejahteraan guru. Meskipun telah ada program sertifikasi dan tunjangan profesi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penghasilan guru, terutama guru honorer dan GTT (Guru Tidak Tetap) bahkan GTY (Guru Tetap Yayasan), masih jauh dari harapan untuk hidup layak.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa rata-rata gaji guru honorer berkisar antara 500 ribu hingga 1,5 juta rupiah per bulan, sementara tuntutan profesi semakin berat dengan berbagai kewajiban administratif dan pengembangan kompetensi.
Dilema ini menciptakan situasi paradoks: di satu sisi, guru dituntut untuk terus mengikuti perkembangan kurikulum dan meningkatkan kompetensi melalui berbagai pelatihan, namun di sisi lain, waktu untuk fokus pada esensi utama profesi mereka yaitu mengajar dan mendidik siswa justru semakin terbatas. Banyak guru yang kemudian terpaksa mencari penghasilan tambahan atau terjebak dalam rutinitas administratif yang mengalihkan perhatian dari pembelajaran berkualitas.
Kondisi ini diperparah oleh ekspektasi masyarakat yang tinggi terhadap guru. Guru tidak hanya diharapkan mampu mentransfer pengetahuan, tetapi juga berperan sebagai pendidik karakter, motivator, bahkan kadang pengganti peran orang tua. Sementara itu, apresiasi terhadap profesi guru, baik dari segi finansial maupun sosial, belum sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab yang dipikul.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: bagaimana guru dapat memberikan pembelajaran berkualitas jika mereka terus-menerus disibukkan dengan perubahan sistem yang tidak memberikan waktu adaptasi yang cukup? Kapan guru dapat benar-benar fokus pada pembelajaran yang bermakna bagi siswa?
Situasi ini memerlukan refleksi mendalam tentang arah kebijakan pendidikan Indonesia. Perubahan kurikulum yang terlalu frekuen tanpa mempertimbangkan kesiapan dan kesejahteraan guru justru dapat kontraproduktif terhadap tujuan peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri.
Dilema Guru di Era Perubahan
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia seperti sedang mengejar ketertinggalan dengan sangat tergesa-gesa. Kurikulum berganti, sistem pembelajaran berubah, platform digital bermunculan. Semua perubahan ini memang baik untuk kemajuan pendidikan, tapi sayangnya implementasinya sering kali membuat guru kewalahan.
Bayangkan saja: di satu sisi kami (guru) harus mempersiapkan materi pembelajaran yang berkualitas untuk siswa, mengoreksi tugas, memberikan bimbingan personal, dan menghadapi berbagai karakter siswa yang unik. Di sisi lain, kami juga harus mengikuti berbagai pelatihan kurikulum baru, workshop sistem pembelajaran, seminar teknologi pendidikan, dan masih banyak lagi.
Akibatnya? Waktu yang seharusnya digunakan untuk mempersiapkan pembelajaran berkualitas malah tersita untuk mempelajari hal-hal teknis yang sebenarnya bisa dipelajari secara bertahap. Siswa yang seharusnya mendapat perhatian penuh dari guru, malah “berbagi” perhatian dengan tuntutan administratif dan pelatihan yang tak ada habisnya.
Fenomena “Menteri Cari Sensasi”
Setiap pergantian menteri pendidikan sepertinya selalu diikuti dengan perubahan kurikulum atau kebijakan baru. Hal ini menciptakan pola di mana para pejabat berlomba-lomba menciptakan “warisan” atau “signature program” untuk menunjukkan eksistensi mereka.
Guru-guru di lapangan menjadi korban dari ambisi politik tersebut. Fenomena ini bukan lagi sekadar perubahan kebijakan, melainkan telah menjadi pola yang meresahkan dan merugikan seluruh komponen pendidikan, terutama guru yang berada di garis depan.
Parahnya lagi pola ini menunjukkan adanya kecenderungan mencari “sensasi” dan pengakuan. Setiap menteri ingin dikenang sebagai sosok yang membawa perubahan revolusioner dalam dunia pendidikan. Namun, yang sering terlupakan adalah bahwa pendidikan bukanlah eksperimen yang dapat diubah-ubah sesuka hati.
Ketika Passion Bertemu Realita Ekonomi
Jujur saja, sebagai guru, saya tidak pernah memilih profesi ini karena ingin kaya mendadak. Saya tahu dari awal bahwa menjadi guru bukanlah jalan menuju kemewahan materi. Tapi bukan berarti kami tidak berhak mendapat penghargaan yang layak atas kerja keras yang kami lakukan.
Gaji guru (honor) yang masih jauh dari kata ideal menjadi beban tersendiri, terutama ketika tuntutan pekerjaan semakin banyak. Kami diminta untuk terus berinovasi, mengikuti perkembangan teknologi, bahkan diminta untuk menjadi content creator untuk pembelajaran serta media pembelajaran.
Semua itu membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya tambahan yang tidak sedikit. Bukan berarti kami menolak untuk berkembang atau belajar hal baru. Masalahnya adalah ketika semua tuntutan ini datang bersamaan tanpa diimbangi dengan apresiasi yang setimpal, rasanya seperti berlari di treadmill lelah tapi tidak sampai tujuan.
Butuh Dukungan
Guru sering disebut sebagai garda terdepan pendidikan Indonesia. Gelar ini memang terdengar mulia, tapi apakah perlakuan terhadap kami sudah sesuai dengan gelar tersebut?
Setiap kali ada masalah dalam dunia pendidikan, guru yang pertama kali disalahkan. Nilai siswa turun? Salah guru. Siswa tidak berkarakter? Salah guru. Teknologi tidak terintegrasi dengan baik? Salah guru juga.
Padahal, kami hanya salah satu komponen dalam sistem pendidikan yang sangat kompleks. Yang kami butuhkan sebenarnya sederhana: waktu yang cukup untuk fokus mengajar, dukungan sistem yang memadai, dan penghargaan yang layak atas dedikasi kami. Bukan tuntutan yang terus bertambah tanpa ada kejelasan prioritas.
Saya tidak menolak perubahan dalam dunia pendidikan. Justru saya mendukung penuh upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Yang saya harapkan adalah perubahan yang lebih terstruktur dan mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan.
Berikan guru waktu untuk benar-benar memahami dan mengimplementasikan satu sistem sebelum memperkenalkan sistem yang baru. Berikan kami pelatihan yang berkualitas, bukan sekadar formalitas. Dan yang paling penting, hargai kami sebagai profesi yang mulia dengan kompensasi yang layak.
Guru yang sejahtera secara mental dan finansial akan lebih fokus pada pembelajaran. Guru yang tidak dibebani dengan tuntutan administratif berlebihan akan punya lebih banyak energi untuk berinovasi dalam mengajar.
Dan pada akhirnya, siswa-siswa kitalah yang akan merasakan manfaatnya. Menjadi guru di era perubahan memang tidak mudah. Tapi kami tetap di sini, tetap berdiri di depan kelas, tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk siswa-siswa kami. Yang kami minta hanya kesempatan untuk benar-benar fokus pada apa yang kami cintai: mengajar dan mendidik generasi penerus bangsa.
*Guru SMAS K St. Arnoldus Mukun













