Maumere, Ekorantt.com – “Makanan sekarang banyak yang instan. Gampang pula mendapatkannya di pasaran. Beda di masa dulu, makanan serba alami tanpa zat kimia dan melalui proses yang lama untuk sampai dihidangkan ke meja makan karena harus dimasak.”
Demikian pernyataan Tetua adat Komunitas Waimanu, Umbu Manukona kepada jurnalis masyarakat adat, Umbu Remu pada Senin, 8 September 2025. Manukona tak menampik adanya pergeseran pola konsumsi warga di wilayahnya.
Pergeseran pola konsumsi, Manukona bilang, terjadi sekitar 20 tahun terakhir. Di masa lalu, warga mengonsumsi pangan yang berasal dari ladang, sungai, dan hutan. Sebagian besar pangan merupakan hasil dari alam sekitar, dekat dengan warga.
“Buah-buahan dan umbi-umbian kita bisa dapat di hutan, mudah ditemukan,” kata Manukona.
Kini sudah berubah. Hadirnya kios-kios sembako hingga ke pelosok ikut membawa makanan-makanan yang serba instan. Warga tergiur membeli dan mengonsumsinya. Lantas lidah warga sudah terbiasa dengan produk-produk makanan dari luar.
Menurut Manukona, munculnya varian penyakit sekarang ini diakibatkan bergesernya pola konsumsi ke arah serba instan dan penuh pengawet kimia. Dulu, orang hanya mengalami batuk, pilek, dan demam. Tapi sekarang, muncul penyakit diabetes, kolesterol, asam urat, dan lain-lain.
Program swasembada beras yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto turut membentuk pola konsumsi warga di Waimanu yang mengerucut pada satu pangan saja: beras dari padi. Aneka pangan yang lain disingkirkan dari meja makan.
Kebijakan yang salah itu diperparah oleh cuaca yang tidak menentu. Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa melaporkan, suhu rata-rata global setahun terakhir (Mei 2023-April 2024) menjadi yang terpanas sepanjang sejarah, yakni 0,73 derajat celsius lebih panas dari rata-rata suhu tahun 1991-2020, dan 1,61 derajat celsius lebih tinggi dari rata-rata suhu sepanjang tahun 1850-1990. Peningkatan suhu bumi mengakibatkan kekeringan, gagal panen, dan ancaman kelaparan karena kelangkaan pangan.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan, krisis iklim global menjadi salah satu penyumbang krisis pangan besar-besaran di tingkat global, di samping faktor peperangan, konflik, dan wabah penyakit.
“Lebih dari seperempat miliar orang kini menghadapi kelaparan tingkat akut, dan beberapa di antaranya berada di ambang kelaparan,” tulis Guteres dalam Global Report on Food Crisis 2023.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2023 mengeluarkan laporan berjudul “Climate Change 2023. Synthesis Report. A Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change”. IPCC menulis, dalam amatan mereka sekitar 3,3 hingga 3,6 miliar orang hidup dalam situasi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.
Dampak-dampak berupa kerawanan pangan serta berkurangnya ketahanan air menimpa terutama oleh masyarakat negara berkembang seperti di Afrika, Asia, serta Amerika Tengah. Di sisi lain, ancaman terhadap keanekaragaman hayati pun masuk dalam kategori sangat tinggi.
Arnold, salah seorang pemuda adat Waimanu, mengaku sekarang ini perubahan cuaca di kampungnya tidak menentu. Batasan antara musim kemarau dan musim hujan sudah tidak jelas. Musim kemarau sering terjadi berkepanjangan. Atau sebaliknya, hujan tetap turun di puncak musim kemarau.
Cuaca yang tak menentu, Arnold menuturkan, berpengaruh ke pola hidup masyarakat di kampungnya. Aktivis petani berubah. Masa tanam bergeser. Masa panen, entah kapan terjadi.

Keanekaragaman Pangan, Ke mana?
Wilayah adat Waimanu yang membentang 4.254,10 hektar sesungguhnya menyimpan keanekaragaman pangan yang berlimpah. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mendata ratusan jenis pangan yang ada di sana.
Sumber karbohidrat tidak hanya padi, tapi ada jagung, ubi keladi, dan ubi jalar. Sementara buah-buahan sangat kaya, mulai dari nanas, rambutan, nangka hingga pisang. Ada pula tanaman perkebunan, seperti kakao dan kopi. Sumber protein pun tersedia dalam berbagai jenis kacang-kacangan.
Yang mencolok dari data Badan Registrasi Wilayah Adat, tercatat belasan tanaman yang menjadi sumber kesehatan dan kecantikan. Kulit pohon kabul, misalnya, dipercaya menyembuhkan berbagai macam penyakit dan dapat membuat orang menjadi kebal. Pohon ini juga dipercaya hanya tumbuh di Waimanu.
Beriktunya, huhu manu dan robom, tanaman lokal penyembuh bisul. Binahong, tanaman obat batuk. Noma Damo (daun damar), tanaman yang dapat menyembuhkan batuk dan demam.
Klorokuin, diyakini menyembuhkan pegal-pegal, malaria, hingga asam urat. Daun pepaya, merupakan tanaman lokal yang dipercaya dapat menyembuhkan malaria. Daun peri hutan, dipercaya menyembuhkan batuk dan malaria. Sedangkan ta lino dan kulit kapok hutan, merupakan tanaman penambah darah.
Selanjutnya, kulit beringin dan ta dalangati, merupakan tanaman lokal yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit gatal. Pucuk jambu biji, dapat menyembuhkan sakit perut. Daun sirih hutan, tanaman obat berbagai macam penyakit seperti sakit gigi, gatal, keputihan pada wanita, dan untuk penyakit dalam. Daun damar, tanaman lokal yang dipercaya dapat menghilangkan flek hitam di wajah.
Merawat Alam, Menjaga Sumber Pangan
Semua elemen dalam masyarakat adat memiliki kesadaran bersama untuk menjaga alam. Arnold sadar bahwa dengan merawat alam, sumber pangan di kampungnya tetap terjaga. Walaupun ada segelintir orang yang merusak alam untuk kepentingan pribadi.
“Untungnya, masyarakat adat memiliki tradisi yang tidak berubah dan pengelolaannya terstruktur sehingga zona pemanfaatannya menjadi terjaga,” tutur Arnold.
Hutan di wilayah adat Waimanu tetap terjaga kelestarian hingga kini, kata Arnold. Warga menjaga hutan dan isinya sebaik mungkin dengan aturan larangan yang ketat.
Warga adat, Arnold melanjutkan, membagi wilayah sesuai dengan kriteria, manfaat, dan pengelolaannya masing-masing. Dengan begitu keanekaragaman hayati (pangan) di hutan tetap terjaga.
“Ini merupakan komitmen Masyarakat Adat Waimanu dalam menjaga, melindungi, melestarikan, dan mengelola sumber daya alam dan seisinya,” kata Arnold.
“Tata kelola ini merupakan tradisi yang diwariskan lintas generasi dan menjadi komitmen bersama untuk menjaga, melindungi, serta melestarikan alam yang menjadi sumber kehidupan mereka,” pungkasnya.