Berkah Setelah Memulihkan Hutan

Tak ada lahan gundul sepanjang mata memandang. Pohon-pohon tumbuh rimbun di sisi jalan dan kampung-kampung, seolah menjadi pagar alami pelindung desa.

Anakalang, Ekorantt.com – Pagi itu, Senin, 13 Oktober 2025, perjalanan 45 menit dari Waibakul ke Desa Waimanu di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur disambut kicau burung dan sejuknya udara. Mobil pikap yang ditumpangi Ekora NTT melaju perlahan di jalan berbatu sirtu, diapit hamparan hijau pepohonan.

Tak ada lahan gundul sepanjang mata memandang. Pohon-pohon tumbuh rimbun di sisi jalan dan kampung-kampung, seolah menjadi pagar alami pelindung desa.

Dua puluh tahun lalu, Desa Waimanu di Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, dikenal sebagai salah satu kawasan dengan kerusakan hutan terparah. Hamparan lahannya tandus, bergelombang menjadi bukit dan lembah yang hanya ditumbuhi semak ilalang.

Minimnya tutupan pohon membuat kawasan itu rawan banjir ketika musim hujan tiba. Air langsung mengalir deras ke Sungai Matayangu, terus menuju Kecamatan Wanokaka di Kabupaten Sumba Barat hingga bermuara ke laut.

Sebaliknya, saat musim kemarau, ketersediaan air tanah menurun drastis. Kekeringan pun meluas, bahkan menjalar ke desa tetangga, Manurara.

Kondisi berubah saat warga mulai memulihkan hutan dengan menanam pohon di lahan-lahan mereka. Melalui program hutan keluarga atau hutan kemasyarakatan, warga mulai menanam pohon produktif seperti mahoni, jati, gamalina, dan jenis-jenis lokal lainnya.

Hutan di Desa Waimanu, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah (Foto: Lukas Rudolf/ Ekora NTT)

Kini, dua dekade berselang, wajah Waimanu telah berubah drastis. Desa berpenduduk 1.338 jiwa itu yang dulu gersang, kini hijau dipenuhi pepohonan.

“Di sepanjang jalan, kiri-kanan, di pelataran kampung, di kebun-kebun milik warga, telah tumbuh tegak aneka pohon sebagai bukti suksesnya perlindungan dan penanaman kembali pohon,” ujar Kepala Desa Waimanu, Obeb Lapu Pagegi, saat ditemui di kediamannya di Kampung Waigei.

Menurutnya, wilayah Desa Waimanu seluas 40 kilometer persegi dengan mata pencaharian utama warga sebagai petani.

Jika dahulu kawasan Desa Waimanu nyaris tidak memiliki hutan, kini kondisinya justru berbalik, luas hutan di wilayah ini telah bertambah secara signifikan.

“Pak lihat sendiri di padang, bukit dan kebun warga semua penuh dengan pohon, sudah besar lagi tinggi,” kata Obeb.

Kepala Desa Waimanu, Obed Lapu Pagegi (Foto: Lukas Rudolf/ Ekora NTT)

Yuliana Wanaria, salah satu tokoh perempuan di desa itu, berseloroh bahwa ruang untuk urusan daput kian sempit karena pekarangan penuh dengan pohon besar.

“Apa yang bisa kami dapat dari hutan hanya kayu. Untuk kebutuhan dapur kami semuanya pakai beli,” ujar Yuliana.

Ia pun berharap pemerintah memberi kelonggaran agar warga bisa menebang pohon di kebunnya sendiri, baik untuk dijual maupun membuka lahan kembali.

“Lihat ini kami punya rumah dari kayu semua, kapan dia rusak supaya kami tebang lagi. Sementara pohon makin besar. Ke mana kami bisa tanam lombok,” tanya Yuliana.

Tokoh perempuan Desa Waimanu, Yuliana Wanaria saat usia memberikan keterangan. (Foto: Lukas R. Lado/ Ekora NTT)

Pembagian Ruang Adat

Masyarakat Adat Waimanu sendiri memiliki pembagian ruang yang jelas. Pertama, rami biha (hutan keramat), merupakan areal hutan yang sakral. Di situ ada tempat ritual. Masyarakat bisa mengakses Rami Biha untuk berburu dengan jumlah secukupnya.

Rami biha menjadi tempat hidup berbagai jenis hewan, mulai dari burung, rusa, ular, hingga ayam hutan. Tumbuh di dalamnya tanaman keras, seperti mayela hingga aimara.

Kedua, rami (hutan). Warga adat bisa mengakses dan memanfaatkan ruang ini. Dapat pula dijadikan lokasi berburu dengan jumlah secukupnya.

Ketiga, marada (padang). Wilayah ini merupakan padang alang-alang, tempat di mana warga menggembalakan hewan ternak. Termasuk menjadi wilayah untuk berkebun dan bersawah.

Warga mengambil alang-alang di marada atap uma (rumah adat). Tumbuh berbagai jenis tumbuh di marada, seperti alang-alang, singkong, ubi jalar, jagung, keladi, patatas, lombok, terong, dan padi ladang.

Keempat, oma (kebun), tempat di mana masyarakat bisa berkebun. Berbagai jenis tumbuhan tumbuh di dalamnya seperti jagung, padi, keladi, ubi, sayur mayur, jati, mahoni, mangga, pisang, kemiri, kelapa, pinang, sirih, kopi, nangka, tembakau, pebaga, boja, nanas, rambutan, dan kakao (coklat).

Kelima, oma (ladang). Masyarakat memanfaatkan areal ini untuk berladang. Selain tumbuh padi sawah dan padi ladang, warga juga bisa melakukan budi daya ikan di situ.

Keenam, talaka (sawah), menjadi areal yang dipakai masyarakat untuk bertani padi. Ada dua jenis talaka yakni talaka mapaiwaingu (sawah basah/sawah irigasi) dan talaka tamaradena (sawah tadah hujan).

Talaka mapaingu hanya ditumbuhi padi, sedangkan talaka tamaradena bisa ditanami berbagai macam tumbuhan seperti padi ladang, kedelai, kacang-kacangan, lombok, dan sayur mayur.

Ketujuh, paraingu (pemukiman). Di sinilah warga adat menetap. Terdapat sejumlah paraingu di Wilayah Adat Waimanu yakni Padabar, Prairita, Praikomus, Mema Bana Ledu, Mema Praikamoka, Tana Lodu, Praikawlu, Galu Kajoru.

Kedelapan, tahuku (laut). Masyarakat menangkap ikan di tahuku. Jenis ikan yang ditangkap yakni ikan teri, ikan tenggiri, ikan kakap, dan sebagainya. Masyarakat juga mengambil kapur di tahuku untuk membuat campuran sirih pinang, garam, pasir laut, dan karang. 

Ketaatan Adat dan Kembalinya Air

Ketua Masyarakat Adat Waimanu, Umbu Ngailu Beku mengatakan, warga kini sangat patuh pada aturan perlindungan hutan. Bahkan untuk mengambil kayu mati pun, warga enggan masuk ke dalam hutan.

“Sekarang orang tidak lagi masuk hutan, sehingga pohon kayu, rotan dan tali-talian sudah sangat lebat dan rimbun,” kata Umbu, saat ditemui di rumahnya di Kampung Galu Kajouro.

Ketika hutan masih gundul, ia melanjutkan, debit air Sungai Matayangu menurun drastis. Warga Desa Waimanu hingga Manurara kekurangan air, bahkan berdampak pula pada lahan pertanian warga Kecamatan Wanokaka.

Ketua Masyarakat adat Desa Waimanu, Kecamatan Katikutana, Umbu Ngailu Beku. (Foto: Lukas Rudolf/ Ekora NTT)

Namun kini air kembali mengalir deras, berkat perubahan ekosistem dan juga pelaksanaan upacara adat “Paongu Uran”.

“Kalau dulu petani mau sebar benih itu paling cepat di bulan Januari. Tetapi sekarang benih sudah bisa disebar pada bulan Oktober atau kalau terlambat pada bulan November awal,” ujar Umbu.

Upacara Paongu Uran hanya dilakukan setelah kepala suku mencapai kesepakatan bersama. Ritual ini melibatkan penggunaan perlengkapan adat seperti periuk tanah, sirih pinang, ayam, beras, nasi, serta kawadha (emas murni yang digaruk di atas kapas).

Setelah semua lengkap, barulah rombongan turun ke mata air untuk melangsungkan upacara. Konon, tak lama setelah ritual dilakukan, hujan turun disertai guntur dan kilat.

Ritual ini juga memiliki aturan ketat. Semua ternak harus disingkirkan dari jalur rombongan. Jika ternak ditemukan, akan disembelih dan dibagikan ke warga. Begitu pula jika bertemu orang luar rombongan, pakaiannya akan disita dan baru boleh diambil setelah dua hari.

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img